Satu minggu terakhir, sedang ramai perbicangan soal harga tiket yang ditetapkan manajemen PSS Sleman untuk laga persahabatan tim Elang Jawa melawan Bali United. Dua kolektif suporter PSS, Brigata Curva Sud dan Sepakbola Sleman, turut mengomentari ihwal harga tiket yang dinilai sedikit mahal ini lewat cuitannya masing-masing di Twitter.
Setelah sekian lama tidak bercuit. Pertama, itu harga tiket apa harga cabe kok mahal?
— SlemanFootball (@SepakbolaSleman) March 15, 2017
Tiket mahal karena ada dorprize. Ya ampun. Lebih rela beli mahal asal buat hal positif. Misal buat riset & sistem yg well.
— SlemanFootball (@SepakbolaSleman) March 17, 2017
Pertandingan juga bukan sirkus yang hadirin bisa tuntut pagelarannya menghibur, atraktif, dan menarik ?
Ini sepakbola.— Brigata Curva Sud (@BCSxPSS_1976) March 15, 2017
Admin 7 sih kuat-kuat aja bayar 1 pertandingan segitu. Cuma hubungan suporter dab klub kan bukan jual-beli, jadi yhaaaaa….kalem dulu
— Brigata Curva Sud (@BCSxPSS_1976) March 15, 2017
Lhoh tak kira ini bukan tentang mampu gak mampu dan nominal berapa, tak kira protes kali ini tentang kamu komoditi dan saya pembelinya kan? https://t.co/SMRzcXJ0hr
— Brigata Curva Sud (@BCSxPSS_1976) March 15, 2017
Editor Football Tribe Indonesia, Isidorus Rio, telah menerangkan bahwa perkara ini adalah sesuatu yang ironis. Mengapa? Karena salah satu permasalahan utama sepak bola Indonesia adalah bagaimana beberapa klub sedikit kepayahan mendatangkan penonton ke stadion. Sementara, faksi-faksi suporter Elang Jawa telah berhasil membangun tradisi yang kuat serta matang guna menjawab masalah itu.
Mana kala permainan timnya belum terlalu menonjol, Brigata Curva Sud (BCS) telah berkali-kali membuat mata kita terbelalak. Saya pernah tinggal di Jogja empat tahun yang lalu. Saya sedikit tahu beberapa propaganda mereka, bahwa kolektif suporter tidak hanya memikiirkan keramaian di dalam stadion, tapi juga mau budaya membeli tiket, membeli atribut resmi, dan lain sebagainya.
Urusan soal tiket ini memang perkara penting. Dalam tulisannya di Football Fandom (19/2), Sirajudin Hasbi menulis bahwa nominal rupiah yang digelontorkan perusahaan sponsor hanya mencukupi 10-15% dana operasional yang harus dikeluarkan klub di satu musim kompetisi.
Seperti di Eropa, klub-klub Indonesia memang memiliki wewenang penuh dalam mematok harga tiket menonton di stadion. PSS sendiri telah memberi pernyataan mengenai harga tiket ini. Di satu sisi, PSS telah dengan optimal memanfaatkan situs resmi klub sebagai wadah informasi kepada publik.
Kegelisahan Rio turut menghampiri saya. Di suatu pertandingan persahabatan, suporter dituntut untuk menggelontorkan nominal yang sama dengan pertandingan resmi. Padahal sepak terjang suporter Sleman telah membuat nama PSS dilirik penggila bola nasional. Bahkan Copa 90 menobatkan BCS sebagai salah satu ultras terbaik di Asia. Apakah PSS mulai mengikuti langkah tim Liga Primer Inggris dengan menyamakan suporter layaknya konsumen?
Jika paradigma itu yang diambil, saya khawatir seperti itu pula suporter memandang diri mereka. Seorang konsumen diperkenankan untuk mengadukan suatu produk ke lembaga berwenang. Seorang suporter paling-paling hanya memaki ketika timnya mengalami kekalahan. Jika memandang dirinya sebagai konsumen, apa PSS siap menghadapi keluhan suporter tiap menyudahi laga dengan kekalahan?
Ini sepak bola, bukan susu instan basi yang Anda temukan di supermarket.
Di sisi lain, peristiwa ini sudah seharusnya menjadi pelajaran bagi pihak manajemen PSS. Di kemudian hari, mereka bisa mengantisipasinya dengan, misalnya, mengadakan riset kecil seperti mendedah demografi suporter.
Saya yakini ini penting. Dengan mengetahui demografi suporter suatu klub, manajemen bisa mengambil banyak hikmah dari hasil riset itu. Apakah stadion mereka telah cukup memadai di mata suporter? Apakah proporsi suporter wanita dan anak-anak telah cukup banyak? Berapa nilai median pendapatan bulanan suporter mereka? Pertanyaan terakhir tentu bisa menjadi pandu bagi manajemen untuk menetapkan harga tiket.
Perdebatan, baik yang terjadi di dunia nyata atau ruang maya, harus disikapi dengan hati dingin. Saya senang melihat perdebatan yang ada karena itu bisa mewarnai wacana sepak bola nasional yang saling melengkapi, mengayomi, dan menghidupi. Kritik tidak harus dihadapi dengan alis terangkat.
Stadion, suporter, serta sponsor adalah perangkat krusial dalam industri sepak bola. Bersama Persib, PSS telah menjadi klub yang menyenangkan untuk disimak belakangan ini. Mereka bisa menjadi contoh soal bagaimana seharusnya sepak bola dikelola, di tengah jagat sepak bola tanah air yang masih tertatih mengejar ketertinggalan.
Di Eropa, untuk mendatangkan suporter yang lebih banyak dan beragam, klub memotong harga tiket untuk laga persahabatan, atau laga tim junior. Ada pula potongan harga untuk penonton anak-anak dan perempuan. Suatu tim antah berantah, Lewes FC, memotong harga tiket di hari-hari tertentu seperti Hari Ibu atau Hari Perempuan.
Jika klub telah sanggup membuat stadion sebagai tempat yang accessible, mengharap revenue dari tiket menonton bisa lebih dioptimalkan. Di Jepang, untuk menyebut contoh lain, matchday telah menjelma menjadi wahana hiburan atraktif yang tidak hanya menampilkan sepak bola.
Sumber pendapatan klub, selain sponsor dan tiket, juga didapat dari kontrak hak siar televisi. Jika sepak bola Indonesia telah menjadi hiburan yang menarik dan stabil, menggaji pemain tepat waktu bukan lagi menjadi kendala yang kerap menghantui.
Kita baru saja mendengar bahwa GO-JEK telah resmi menjadi sponsor Liga Indonesia. Status perusahaannya yang inovatif dan menarik secara bisnis telah menjadi bukti bahwa sepak bola masih diperhitungkan kalangan bisnis untuk mendongkrak produknya. Ini menjadi sinyal bagi segenap pihak: mampukah sepak bola dijalankan dengan profesional dan ajek? Maksud saya, jangan ada lagi kesimpangsiuran mengenai jadwal kompetisi.
PSS Sleman telah diberkahi basis suporter yang tidak hanya atraktif dalam mendukung, tapi juga loyal dan memaknai hubungan antara suporter dan klub dengan baik. Jangan sampai modal berharga yang jarang dimiliki klub-klub lain ini mereka acuhkan.
Di balik itu semua, saya berbahagia melihat peristiwa yang ada. Suporter telah menjadi pressure group yang memaknai dukungan lewat cara yang cerdas dan bentuk kepedulian tinggi. Silakan Anda lihat situsweb BCS dan Sepakbola Sleman. Dari situ Anda bisa menilai bahwa saya sedang tidak berlebihan. Dialog antarsuporter perlu dilakukan, dan kita tengah hidup di era keterbukaan informasi. Mendukung klub bukanlah perkara datang ke stadion belaka. Setiap kebijakan yang dikeluarkan manajemen perlu disimak dan dianalisis para suporter.
Saya berharap ini menjadi contoh bagi klub-klub sepak bola yang lain. Bagaimana mungkin mereka bisa mendatangkan penonton ke stadion bila penampilan situs resmi tak menarik? Sudah begitu, permainan tim dan pengelolaan manajemen amburadul pula.
Semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita semua. Majulah sepak bola Indonesia!
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com