Sejarah mencatat bahwa peradaban manusia acap terlalui lewat revolusi. Revolusi adalah suatu keniscayaan sejarah. Sesuatu yang berjalan ajek akan menghadapi rintangan. Revolusi identik dengan suatu peristiwa perubahan sosial yang berlangsung cepat, dan seringkali mendadak. Fenomena revolusi juga sering dikaitkan dengan pertumpahan darah.
Meski begitu, ada pula revolusi yang tidak berhubungan dengan pergantian kekuasaan. Revolusi jenis ini bahkan memengaruhi kehidupan manusia modern, misalnya saja, revolusi industri di Inggris. Inilah yang kemudian mengubah moda produksi masyarakat secara drastis yang mensyaratkan sistem pembagian kerja.
Kemarin hari, saya telat membuka kotak masuk surat elektronik saya. Sebelum waktu berganti menjadi Senin, saya membaca satu per satu surel yang kebanyakan berasal dari subskripsi berbagai situsweb. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah surel dari majalah New Yorker. Isinya khusus membagikan link artikel di situsweb mereka yang berkenaan dengan ketimpangan sosial di Amerika.
Isu ini memang telah menjadi perhatian banyak kalangan. Sejak terbitnya Capital in the Twenty First Century (2013) karangan Thomas Piketty, kosakata ketimpangan atau inequalities menjadi perbincangan publik. Sepak bola pun turut membicarakannya.
Februari 2015, di laga antara Arsenal versus Crystal Palace, suporter The Eagles membentangkan spanduk raksasa bergambar babi sedang menyantap berlembar uang. Gambar tersebut juga dilengkapi dengan tulisan, “£5 billion in the trough, yet supporters still exploited. Share the wealth, pigs.”
Mereka mengkritisi nilai kontrak hak siar yang didapat klub-klub Liga Primer yang setinggi langit, namun pemanfaatannya lebih banyak digunakan untuk kepentingan para bos dan membayar gaji pemain yang menjulang. Suporter diperas lewat mahalnya harga tiket menonton di stadion.
Selain mereka, ada banyak kolektif suporter serupa di Inggris yang sanggup menjadi pressure group di tengah melemahnya peran suporter dalam pengambilan keputusan klub. Di London, kita bisa melihat bagaimana kapital telah meminggirkan warganya. Para investor dari Arab dan Rusia berbondong-bondong merebut ruang-ruang yang ada sehingga menimbulkan gentrifikasi.
Dalam suasana seperti ini, saya tanpa sengaja menemukan satu klub yang paham dan perhatian dengan isu ketimpangan. Tidak hanya itu, mereka menganggap sepak bola bukan hanya olahraga profesional yang menjadi sarana hiburan di akhir pekan. Mereka bahu membahu bersama warga setempat untuk memberdayakan lingkungan tempat klub tersebut bernaung.
Klub tidak menciptakan sekat dengan warga, mereka justru berakar dengan situasi di sekitar. Hal ini lantas berimbas pada semaraknya partisipasi kedua belah pihak di berbagai bidang.
Klub tersebut bernama Lewes Community Football Club (CFC). Lewes berada di Sussex Timur dan berdiri sejak 1885.
***
Penduduk Lewes akrab dengan revolusi. Di sinilah festival bonfire diselenggarakan dengan antusiasme tinggi, bahkan dianggap sebagai pusatnya. Festival ini memperingati matinya martir kesohor Guy Fawkes yang gagal meledakkan gedung parlemen dalam upaya membunuh Raja James I.
Bonfire night di Lewes yang dihelat tiap 5 November ini juga memperingati kematian 17 martir beragama Protestan yang menjadi korban keganasan Ratu Mary I. Yang mulia Ratu beragama Katolik dan mereka yang bersebarangan (beragama Protestan) dianggap kafir sehingga keluarlah kebijakan untuk membunuh mereka. Peristiwa ini dinamakan “Persekusi Mary” dan terjadi di abad ke-16.
Lewes yang hanya berpenduduk 17.000-an ini juga menjadi kota yang pernah ditinggali seorang revolusioner legendaris: Thomas Paine. Paine berperan penting dalam Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika. Penduduk Lewes, dengan bangga menyebut bahwa di kota mereka inilah, jiwa dan pemikiran radikal Paine terasah.
Dengan latar belakang itulah (ketimpangan sosial ekstrem dan akar revolusi di kotanya), Lewes FC mereformasi diri. Lewes menjadi satu dari segelintir klub di Inggris yang sistem kepemilikkannya berbasis fan share seratus persen.
Metode ini membuat klub bertanggung jawab terhadap para pemegang ‘saham’. Tetapi, guna melindungi diri dari kerakusan satu pihak, mereka yang berminat membeli hanya dibatasi satu lembar saham. Investasi ini juga bukan merupakan investasi yang nantinya dapat diuangkan.
Sekilas, model seperti ini tampak tidak menarik. Siapa, sih, Lewes CFC? Apa prestasi mereka? Buat apa saya berinvestasi bila klub hanya bermain di divisi kedelapan dari piramida sepak bola Inggris?
Pandangan semacam itu relatif wajar. Negara mereka adalah salah satu kiblat sepak bola. Tetapi, Inggris adalah negara dengan antusiasme sepak bola tinggi. Fenomena sepak bola non-liga (mereka yang berlaga di bawah empat kasta utama) berkembang dengan marak. Meski tidak pernah berprestasi, klub yang dijulukki The Rooks ini memiliki riwayat panjang. Mereka berdiri sejak dua abad yang lampau.
Demi menarik minat warga, Lewes akhirnya menggunakan cara-cara kreatif demi menyebarkan propagandanya. Dalam mengundang orang untuk menjadi anggota, mereka menggunakan jargon, “Bergabunglah bersama revolusi kami.” Harga yang dipatok pun tak terlampau mahal: 30 paun per tahun.
Dengan menjadi anggota mereka, Anda memiliki banyak kemudahan. Salah satu program yang menurut saya keren adalah dengan kartu anggota Lewes FC, Anda bisa mendapatkan diskon 10% di lebih dari 50 gerai yang ada di kawasan Lewes.
Di salah satu video promosi, mereka menampilkan suatu tayangan di mana dua orang ‘peserta’ diberi sejumlah uang untuk berbelanja menggunakan kartu anggota. Gerai yang bekerja sama dengan klub, selain banyak, juga bervariasi. Mulai dari toko busana vintage, kafe, toko gadget, hingga gerai artisan seperti kerajinan lilin.
Kita tak familiar dengan toko-toko di video tersebut. Mereka memang sengaja menjadikan toko-toko lokal sebagai mitra klub sehingga semua pihak menjadi merasa berakar dengan kota yang mereka tinggali. Revolusi ini, selain menyenangkan, juga terkesan indah.
Kreatifitas Lewes yang lain bisa Anda lihat di situsweb resmi mereka, http://lewesfc.com. Mereka menjadikan laman situsweb begitu menarik. Salah satu yang menjadi perhatian saya adalah menu ‘posters’ yang memajang poster-poster pertandingan.
Amboi, saya yang tidak begitu mengerti seni rupa kontemporer langsung kepincut. Para desainer memadukan sepak bola dengan budaya pop, sehingga tidak terkesan kaku. Di satu poster yang mewartakan laga persahabatan, mereka menyulap poster serial TV Friends (dengan air mancur ikoniknya itu) dengan memodifikasi tulisan “Friends” menjadi “Friendlies”. Anda yang menggemari musik pasti akan familiar dengan poster-poster mereka.
Ternyata poster menjadi salah satu sarana memikat publik. Meski bisa diunduh dalam resolusi besar, poster-poster tersebut dimuat menarik agar kita tertarik menjadi bagian dari mereka (baca: menjadi anggota). Poster-poster yang ada juga mawas dengan isu-isu sosial seperti imigrasi, refugee, atau LGBT.
Selain harga tiket yang murah, klub yang bermarkas di The Dripping Pan ini menggratiskan tiket bagi anak-anak. Di kesempatan tertentu, seperti hari Valentine, mereka membagikan cokelat gratis kepada mereka yang datang ke stadion dengan pasangannya. Pada hari ibu, mereka menggratiskan ibu para suporter untuk menonton. Selain itu, ada pula kompetisi adu penalti bagi para ibu yang hadir.
Mereka tak ingin para pemain berjarak dengan suporter. Beberapa cara yang mereka lakukan agar mendekatkan diri adalah dengan skema sponsor pemain. Katakanlah pemain favorit Anda si Budi. Anda bisa menjadi sponsor Budi di satu pertandingan. Karena Anda telah membayar sejumlah uang, nama Anda akan tertera di match programme klub (di bawah susunan line-up skuat).
Ada pula program perayaan ulangtahun khusus anak-anak di mana mereka merayakannya di markas latihan, sambil dihadiri oleh para pemain. Program-program yang berhubungan dengan komunitas (masyarakat kota) mereka jalankan dan sosialisasikan dengan saksama. Sekali lagi saya tegaskan, revolusi sepak bola ala Lewes CFC adalah sesuatu yang menyenangkan, sekaligus akrab.
Gila, bukan?!
Program sepak bola akar rumput yang dikampanyekan FIFA, Lewes jalankan dengan baik, tanpa ingar bingar ataupun media coverage. Jika Anda mencermati laman pemain di situs mereka, daftar pemain laki-laki ditulis sejajar denggan daftar skuat perempuan mereka. Mereka juga memajang tiap match programme di situs yang dapat kita unduh.
Pihak klub mengaku banyak terinspirasi dari FC United of Manchester. Mereka menganggap sepak bola bisa juga dijalankan dengan metode inklusif. Semakin banyak partisipasi dari warga sekitar, maka semakin baik. Perusahaan-perusahaan yang mensponsori Lewes pun, kecuali apparel, berdomisili di kota yang sama.
***
Pada 2012 silam, klub Spanyol Real Oviedo berada di ambang kehancuran. Mereka terancam dilikuidasi oleh otoritas sepak bola karena kesalahan dalam mengurus finansial klub.
Beruntung, Real Oviedo adalah klub yang membesarkan Santi Cazorla, Juan Mata dan Michu. Ditambah publikasi masif dari jurnalis kenamaan Sid Lowe, penggila bola dari seantero dunia bahu membahu menyelamatkan Oviedo dengan cara membeli saham klub agar modal dapat diputar demi membereskan kekacauan keuangan yang ada.
Hal yang sama juga hampir terjadi pada Lewes. Revolusi ini baru mereka jalankan pada 2010 silam. Kolektif suporter yang menamakan diri mereka Rooks125 ini berusaha keras menyelamatkan klub pujaan dari kebangkrutan, lalu menetapkan model fan-ownership ini.
Secara resmi, model ini mereka sebut ‘a mass-ownership Community Benefit Society’ sehingga nama klub berganti menjadi Lewes Community Football Club. Simak saja, penekanan ada pada ikatan sosial paling fundamental, masyarakat.
Di balik ingar bingarnya, Lewes CFC telah membuktikan pada kita bahwa sepak bola bisa menjadi medium yang bersifat berakar dengan realitas. Fungsi sepak bola sebagai hiburan tetap ada, tetapi tidak menghiraukan suporter yang sering disebut sebagai pemain ke-12.
Di situswebnya, mereka memiliki manifesto keren macam begini:
“Most soccer clubs are privately owned, with wealthy investors ploughing investments in with their own cash. We do things differently, because this is unsustainable.
Lewes FC is run by the people, of the people, and for the people. This is our declaration of football independence – which means you (yes YOU!) can be an owner of our club.”
Inilah deklarasi kemerdekaan sepak bola kami.
Viva la revolución!
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com