Dalam empat hari saja, nama Virgil van Dijk menghisi berbagai wajah halaman pertama media-media di Eropa. Liverpool disebut mendapatkan izin dari Southampton untuk melakukan pendekatan, dilanjutkan Barcelona yang juga tertarik, lalu Manchester City yang menaruh minat. Berapa harga jual van Dijk? Konon ada di antara 60 hingga 70 juta paun. Terlampau mahal? Murah?
Salah satu prinsip ekonomi, yang juga berlaku di kehidupan lapangan hijau adalah, harga suatu barang akan naik, ketika peminat bertambah sementara ketersediaan barang terbatas. Maaf jika membandingkan pesepak bola seperti “barang”. Namun begitulah kenyataannya, ketika manusia memang menjadi komoditi. Dari yang sekadar bahasa pemanis, menjadi kebenaran dalam kenyataannya.
Mengapa harga van Dijk begitu mahal?
Pertama, karena ketersediaan “barang” dengan spesifikasi seperti bek asal Belanda itu. Ia adalah sosok “bek tengah modern”. Terminologi ini merujuk kepada bek tengah, yang andal mengumpan bola, nyaman menguasai bola, dan terlibat sangat aktif dalam proses timnya membangun serangan. Tak hanya sekadar mengumpan, bek tengah modern juga harus punya kesadaran akan ruang, melihat posisi rekan, dan membaca arah serangan yang ingin dicapai timnya. Ia seperti playmaker yang bermain di belakang.
Sedikit kegelisahan penulis, terminologi “bek tengah modern” inipun sebetulnya rancu. Jika van Dijk adalah bek tengah modern, maka bukankah Franz Beckenbauer juga bisa disebut demikian? Mau merujuk apa istilah ini? Saat ini, kita bersepakat bahwa bek yang fasih membangun serangan dari bawah disebut bek tengah modern.
Saya curiga, kata “modern” pun dilekatkan karena perubahan cara bermain, terutama di Liga Primer Inggris, dari sepak bola direct, menjadi positional play. Cara bermain yang demikian kita akrabi dengan istilah “sepak bola modern”. Dari situlah, istilah “bek tengah modern” muncul. Sama halnya dengan istilah “bek sayap modern”. Istilah kemampuan pemain mengikuti perkembangan sepak bola, masuk akal bukan? Dan, ketersediaan bek dengan spesifikasi seperti ini di bursa transfer begitu terbatas.
Betul, ketersediaan di bursa transfer, artinya klub peminat punya kemungkinan bisa mendapatkan tanda tangannya. Jika hanya merujuk kepada “jumlah bek tengah modern” saja, tentunya jumlahnya sudah banyak. Namun, tak semuanya bisa ditawar, apalagi dilepas. Maka, kemampuan, ditambah ketersediaannya di bursa transfer, membuat harga van Dijk melonjak.
Dengan rumusan masalah yang sama, kita dibuat harus memaafkan apabila bek Ajax Amsterdam, Matthijs de Ligt, yang masih berusia 18 tahun, punya banderol menyentuh 50 juta euro. Usia muda dan kemampuan yang “modern”, menjadikan Matthijs de Ligt sebagai komoditi masa depan. Ia menjadi investasi yang berharga.
Baca juga: Ketika Nama Matthijs De Ligt Bergaung di Seantero Eropa
Sebagai contoh lain, Davinson Sanchez diboyong Tottenham Hotspur dari Ajax dengan harga sekitar 35-40 juta paun. Dan yang mengawali kegilaan harga bek tengah modern, John Stones, dibeli Manchester City dari Eveton dengan nilai transfer mencapai 50 juta paun, yang membuatnya menjadi salah satu bek termahal di dunia.
Virgil van Dijk sudah masuk usia emas, 26 tahun. Sebagai bek tengah modern, ia unggul pengalaman dibandingkan Stones saat bergabung dengan City, atau De Ligt yang saat ini masih berseragam Ajax. Untuk mendapatkan gambaran yang paling jelas soal kemampuan van Dijk, silakan simak video di bawah ini:
https://www.youtube.com/watch?v=4ng5Nb4Cdk0
Sejauh ini, kita sudah mendapatkan tiga alasan mahalnya harga van Dijk, yaitu soal kemampuan, ketersediaan dirinya di bursa transfer, dan faktor usia muda. Nah, selain ketiga alasan tersebut, masih ada dua faktor lagi yang melambungkan harga jual van Dijk.
Pertama, klub pemilik yang belum membutuhkan dana besar. Pemilik van Dijk adalah Southampton. Bukan tim besar di Inggris, namun juga bukan tim medioker. Skuat mereka cukup baik dan di atas kertas, layak masuk 10 besar. Oleh sebab itu, jika memang tak membutuhkan investasi dalam jumlah besar, penjualan pemain kunci jelas akan dihindari.
Van Dijk adalah pemain kunci dan Southampton punya segala alasan untuk mempertahankannya. Namun, lantaran si pemain sendiri ingin hengkang dan ada peminat serius, Southampton bisa bermanuver dengan menaikkan nilai jual. Maka jadilah, masuk akal, apabila Southampton berusaha mendapatkan pemasukan sebesar mungkin dari pemain kuncinya.
Faktor kedua adalah para peminat. Liverpool adalah yang paling antusias mendapatkan tanda tangan pemain dengan tinggi badan mencapai 193 sentimeter tersebut. Sudah sejak musim panas yang lalu mereka menyatakan cintanya. Sempat digertak oleh Soton, Liverpool mundur teratur. Dan di akhir Desember 2017, The Reds konon mendapatkan lampu hijau setelah menyepakati nilai transfer van Dijk hingga 70 juta paun.
Peminat kedua adalah Barcelona, yang membutuhkan bek tengah baru. Javier Mascherano akan hengkang, Samuel Umtiti cedera hingga Februari 2018, dan Thomas Vermaelen rentan cedera. Bek tengah baru jelas dibutuhkan. Peminat ketiga adalah Manchester City, yang masih mencari bentuk terbaik di lini pertahanan setelah Vincent Kompany dan Eliaquim Mangala tak selalu konsisten.
Benang merah dri ketiga peminat adalah kemampuan finansial. Faktor ini berpengaruh lantaran klub pemilik paham bahwa karena kebutuhan yang mendesak, harga berapa saja yang dipatok akan “dianggap masuk akal” karena pada dasarnya dana belanja tersedia.
Jadi, kesimpulan apa yang bisa kita terima bersama?
Dari sisi kemampuan, ketersediaan di bursa transfer, usia emas, pemilik yang belum butuh dana besar, dan kekuatan finansial para konsumen, harga jual van Dijk bisa dianggap masuk akal.
Satu catatan penting: Satu atau dua tahun lagi, harga “bek modern” akan semakin mahal apabila menggunakan dasar pemikiran yang sama. Perkembangan “sepak bola modern” membutuhkan semua pemain untuk bisa terlibat dalam tiga proses sepak bola, yaitu bertahan, transisi, dan menyerang.
Maka masuk akal, apabila kelak harga bek akan sama mahalnya seperti penyerang sayap. Harga Matthijs de Ligt lima tahun lagi bisa sama mahalnya seperti harga Neymar ketika dibeli Paris Saint-Germain. Bisa saja terjadi.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen