Pada Jumat malam (22/12) bertempat di Hotel Mulia, Senayan, PSSI menggelar malam penghargaan Liga 1 Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada para pihak yang telah menyemarakkan pertandingan-pertandingan sepanjang musim di Go-Jek Traveloka Liga 1.
Malam itu turut hadir Letnan Jenderal Edy Rahmayadi dengan kapasitas beliau sebagai Ketua Umum PSSI. Dalam sambutannya, Pangkostrad ini menyindir pemain yang akan merumput ke luar Indonesia. Kita tahu sebenarnya sambutan ini adalah lanjutan dari komentar beliau terhadap Evan Dimas dan Ilham Udin yang dikontrak klub asal Malaysia, Selangor FA.
Dalam komentar itu, Edy mempertanyakan nasionalisme kedua pemain. Edy khawatir dengan bergabungnya dua penggawa Timnas Garuda ke klub Malaysia, permainan mereka akan dibaca oleh Malaysia.
Alih-alih mengklarifikasi komentar mati nalar tersebut, Jumat malam kemarin, Edy kembali berulah. Di depan para hadirin, Ketua Umum PSSI yang resmi dilantik November 2016 lalu itu, malah memperkuat argumentasi sebelumnya. Dikutip dari laman CNN Indonesia, Edy berkata, “Jangan ada (pemain) yang keluar dari Indonesia, yang keluar Indonesia saya coret dari PSSI. Siapapun, kalau negara memanggil, tak boleh menolak. Kalau menolak, berarti pengkhianat bangsa.”
Lebih lanjut, Edy memaparkan hasil risetnya berupa perbandingan jumlah penduduk di suatu negara dengan jumlah pemain sepak bolanya. Dikatakan, Indonesia saat ini kekurangan stok pemain. Menurut pemahamannya, kehadiran pemain naturalisasi mengindikasikan bahwa Indonesia sedang kekurangan pemain sepak bola. Lantas, dia dengan mantap memberikan solusi dengan cara mengisolasi pemain Indonesia agar tidak keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Logika ini jelas keliru, sebab jika diterapkan secara linier pada negara Brasil, mayoritas pemain dalam skuat tim Samba bermain di luar liga profesional Brasil. Namun apakah rimnas Brasil serta merta menjadi buruk dan permainannya menjadi mudah dibaca lawan? Berdasarkan peringkat FIFA terbaru, Brasil berada di urutan ke-2 dari sekian ratus anggota FIFA. Jadi, asumsi Pak Ketua bolehlah kita anggap menyesatkan.
Pernyataan kontroversial berikutnya yakni tentang larangan bermain ke luar Indonesia. Hal ini sungguh disayangkan, mengingat dirinya tampil di hadapan publik sebagai representasi dari organisasi PSSI. Sehingga, dalam berkomunikasi, ia harus ekstra hati-hati karena segala yang terucap akan dikonsumsi publik sebagai sikap PSSI. Dalam mekanisme organisasi yang baik, sebelum Ketua atau perwakilannya melakukan sambutan, isi pidato atau sambutan sudah harus mendapat persetujuan dari tim komunikasi publik atau mereka yang bertanggung jawab di divisi hubungan masyarakat (humas).
Hal ini yang tidak terlihat pada malam itu. Pernyataan kontroversial Edy menimbulkan stigma negatif tidak hanya kepada Edy, juga kepada PSSI selaku lembaga. Hal ini secara otomatis akan memengaruhi nama baik PSSI. Bukan tidak mungkin, media-media baik nasional maupun internasional akan melihat PSSI sebagai organisasi intoleran yang membatasi hak asasi para pemainnya.
Wajib sama-sama kita ketahui, nama seorang Edy Rahmayadi jelas kalah besar jika dibandingkan dengan nama PSSI. Edy hanyalah Ketua Umum yang sewaktu-waktu jabatan itu akan berpindah tangan. Tetapi, PSSI hanya ada satu di dunia. Dalam pergaulan di dunia internasional, FIFA tentu akan melihat PSSI, bukan melihat Edy.
Bias opini seperti itu semestinya tak terjadi apabila tim komunikasi publik PSSI bekerja secara profesional. Peristiwa ini mengingatkan saya akan sambutan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang menyebut kata “pribumi”. Meski tim komunikasi publik Gubernur mengklaim isi sambutan tersebut tidak memuat kata “pribumi”, namun Anies sepertinya merasa perlu untuk mengucapkannya. Alhasil, pernyataan itu direspons negatif oleh sebagian masyarakat. Inilah yang perlu menjadi perhatian PSSI ke depan. Meskipun dipimpin oleh militer, namun bukan berarti corak organisasi PSSI serta merta menjadi loreng.
Larangan terhadap para pemain untuk ke luar negeri, menurut hemat saya, sudah berada pada tahap berbahaya. Pernyataan ini punya dampak yang sangat luas. Pemain tentu menjadi ketakutan dan merasa terancam. Terlebih, pernyataan ini bertentangan dengan konstitusi.
Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, MEMILIH PEKERJAAN, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan MENINGGALKANNYA, SERTA BERHAK KEMBALI.” Saya merasa perlu mencetak tebal dan menulisnya dengan huruf besar kata-kata tersebut karena itulah yang bertentangan dengan pernyataan Edy pada Jumat malam.
Memilih pekerjaan adalah salah satu hak asasi manusia. Adapun hak itu merupakan hak yang melekat pada seseorang dan pihak lain tidak boleh merampasnya. Atlet manapun di dunia tentu berhak memilih hendak berkarier di mana saja, kapan saja. Jika merasa perlu ke luar negeri untuk mengasah diri, maka pergilah. Kepergian itu nyatanya dijamin di dalam konstitusi negara dan prinsip hak asasi manusia universal.
Implementasi hak asasi manusia sering dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat peradaban, tingkat demokrasi, dan tingkat kemajuan suatu negara. Jadi, sangat wajar apabila seluruh warga negara dibuat kesal oleh sambutan Ketua Umum PSSI. Pernyataan itu memberikan isyarat bahwa Republik Indonesia sedang mengalami kemunduran, khususnya dalam berlogika, dan itu tampak di tubuh PSSI.
Author: Agung Putranto Wibowo (@agungbowo26)