Sewaktu diresmikan sebagai rekrutan anyar saja, namanya sudah dipandang sebelah mata. Di tengah gelombang besar kedatangan pemain-pemain mahal, ia hanya terlihat bagaikan Toyota Starlet di antara barisan Toyota Alphard. Namun, hingga saat ini Fabio Borini justru menjadi salah satu pemain yang paling stabil performanya di AC Milan.
Borini adalah anomali. Tolok ukur kesuksesan seorang penyerang adalah gol, tapi Borini sangat buruk dalam hal ini. Bahkan jika kriteria diturunkan menjadi pemain yang lihai mengacak-acak pertahanan lawan, Borini juga tidak terlalu baik melakukannya.
Lalu mengapa Borini bisa terus mendapat tempat di skuat inti Milan musim ini? Menurut saya, kemauan beradaptasi dan kerja keras menjadi kuncinya.
Kemauan, bukan kemampuan. Ketika tugas utamanya sebagai pendulang gol gagal ia tuntaskan, Borini dengan lapang dada menerima posisinya digeser, dengan legowo mempelajari posisi barunya. Tidak hanya sekali dua kali, karena musim ini ia tercatat telah beroperasi di empat posisi berbeda!
Baca juga: Kesempatan Kedua Fabio Borini
Selain penyerang sayap kiri yang dimainkannya di awal musim, Borini juga pernah ditempatkan sebagai bek sayap kanan dan kiri, serta gelandang kanan. Bek sayap menjadi posisi yang paling banyak ditempatinya setelah penyerang, yaitu tiga kali di setiap sisi, sedangkan gelandang kanan baru dilakoninya sekali.
Bermain di banyak posisi seperti yang dilakukan Borini tidak mudah. Dibutuhkan intelegensi tinggi untuk cepat beradaptasi juga memahami instruksi pelatih, dan… siapa sangka Borini bisa melakukannya!
Memang hasilnya tidak melulu memuaskan, seperti ketika kalah 0-2 dari Juventus misalnya. Namun, Borini juga tidak jarang bermain impresif, contohnya saat menang 2-0 di kandang Sassuolo pekan lalu, dan membuat dua asis ke gawang Rijeka di matchday kedua Liga Europa.
Anda (lagi-lagi) boleh meremehkannya karena ia bermain bagus hanya saat melawan tim-tim lemah, tapi jika dicermati lebih lanjut, ada kemajuan pesat yang dilakukannya di dua pertandingan itu.
Saat melawan Rijeka, itu merupakan kali pertama Borini memerankan posisi bek sayap kiri di Milan. Lalu ketika menghadapi Sassuolo, pemain berusia 26 tahun ini terlihat semakin matang dengan peran barunya. Borini mau beradaptasi, dan Borini layak mendapat apresiasi.
Antara solusi dan teka-teki
Mulai nyamannya Borini di posisi barunya seakan menjadi berkah bagi Milan. Di saat stok bek kanan I Rossoneri menipis akibat cederanya Andrea Conti dan Davide Calabria, ditambah dengan inkonsistensi Ignazio Abate dan Luca Antonelli, Borini bisa menjadi solusi.
Selain itu, dengan difokuskannya Borini untuk posisi selain penyerang, kesempatan bagi André Silva dan Patrick Cutrone untuk kembali ke tim utama semakin terbuka. Namun, perubahan posisi Borini yang dilakukan semata-mata karena the power of kepepet, bisa menimbulkan tanda tanya mengenai masa depannya.
Apakah hingga sisa musim ini Borini akan tetap bermain sebagai bek sayap dan bersaing dengan para pemain yang berposisi asli di area tersebut ketika mereka sudah pulih dari cedera, atau harus kembali menerima kenyataan pahit sebagai penyerang mandul yang diolok-olok setiap pekannya?
Sebuah misteri yang sulit dipecahkan, seperti teka-teki silang Cak Lontong. Namun, Borini sangat layak diapresiasi karena ia mau menjadi apa yang diinginkan dan dibutuhkan pelatih, walau tak bisa menjadi apa yang diimpikan Milanisti sebagai penyerang juragan gol.
Fabio Borini adalah selimut hati I Rossoneri. Ia menjadi penghangat bagi Setan Merah dari Italia, ketika harapan untuk menembus zona Liga Champions semakin membeku dan licin untuk digenggam.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.