Saya ingin mengucapkan selamat kepada para pemain Bhayangkara FC. Ya, hanya khusus kepada para pemain, atas keberhasilan mereka, atas kerja keras “di atas lapangan” demi merengkuh gelar juara Liga 1. Bhayangkara FC selangkah lagi menjadi juara Liga 1! Sebuah pencapaian yang akan mereka rayakan. Pencapaian dengan iringan bau anyir!
Musim ini, “di atas lapangan”, Bhayangkara menunjukkan cara bermain yang cukup menyenangkan untuk ditonton. Modern, adalah salah satu kata yang tepat untuk menggambarkan penampilan mereka. Berkomposisikan deretan pemain muda potensial dan pemain asing berkualitas, Bhayangkara cukup sulit dihentikan.
Namun, sepak bola memang bukan hanya aksi selama 90 menit “di atas lapangan” saja. Sepak bola adalah tentang narasi yang panjang, tentang berbagai kejadian di sekitar sebuah pertandingan yang tersaji. Kegembiraan, kesedihan, luapan emosi. Adalah tema-tema yang menarik untuk terus diperbincangkan.
Tak hanya luapan emosi, sepak bola juga menyajikan sisi gelap, sisi yang membuat sepak bola itu sendiri menjadi hal yang mengganggu bagi para penikmatnya. Misalnya ketika sebuah tim menjadi juara berbekal kekuatan gelap di belakang layar. Kekuatan yang begitu kelam, hingga bisa memengaruhi, mengubah hasil pertandingan.
Gelar juara Bhayangkara akan selalu dibicarakan dengan sampiran sisi gelap itu. Tak butuh lingkar otak yang luas untuk menyadari bahwa ada yang salah dari proses Bhayangkara mengangkangi hampir semua tim di Liga 1. “Di atas lapangan” Bhayangkara begitu menawan, namun atas aksi di balik layar, mereka akan dicibir, bisa jadi untuk selamanya.
Satu minggu terakhir, kuasa gelap itu sangat terasa, terutama ketika Komdis PSSI menghukum Mitra Kukar. Atas aksi memainkan pemain ilegal, Mitra Kukar dinyatakan kalah walk-out (WO), kalah 0-3 atas Bhayangkara. Pertandingan kedua klub sendiri berakhir dengan skor sama kuat 1-1. Berlandaskan hukuman dari Komdis PSSI, Bhayangkara mendapatkan hadiah dua poin.
Hukuman ini terasa sangat ganjil. Salah satu alasannya adalah Mitra Kukar tidak mendapatkan kesempatan untuk mengajukan banding. Tanpa proses banding, hukuman langsung bulat dijatuhkan, dan Bhayangkara langsung disusui dengan poin tambahan. Selain dinyatakan kalah WO, Naga Mekes juga harus membayar denda hingga 100 juta rupiah. Pedih.
Ardy Nurhadi Shufi, pimred Pandit Football mengungkapan sesuatu yang menarik dalam tulisannya yang diunggah pada tanggal 8 November 2017. Saya kutip secara penuh:
“Mitra Kukar memang hendak mengajukan banding, tapi ini dilakukan setelah putusan dijatuhkan. Bahkan perlu diketahui juga Mitra Kukar merasa tidak menerima putusan sidang Komdis tersebut, yang seharusnya ini bisa menjadi pertimbangan lain bagi hukuman yang layak untuk diterima Mitra Kukar.”
“Bisa saja hukuman pada Mitra Kukar bukan kalah 3-0 dan denda. Bahkan dalam regulasi FA Inggris pasal 6 ayat 9, ada opsi untuk mengulang pertandingan. Di FA pun tidak ada hukuman kalah 3-0 seperti yang diterima Mitra Kukar, yang ada hanya pengurangan poin, maksimal sampai 12 poin…”
Dari kutipan tersebut, bisa dipahami dengan sangat mudah bahwa hukuman bagi Mitra Kukar seharusnya tidak menguntungkan Bhayangkara secara langsung. Tidak ada pemberian poin tambahan bagi Bhayangkara!
Keganjilan juga terasa di sekitar Stadion Gelora Bangkalan, tempat pertandingan Madura United menjamu Bhayangkara. Madura United sendiri tengah berada dalam masa hukuman yaitu pertandingan tanpa penonton. Oleh sebab itu, para pendukung Madura United berinisiatif mengadakan acara nonton bareng di halaman stadion.
Perlu diketahui, tidak ada larangan menggelar acara nonton bareng di halaman stadion. Namun apa daya, sehari sebelum pertandingan, pendukung Madura United dilarang menggelar nonton bareng oleh aparat keamanan. Seperti yang disampaikan akun Twitter salah satu basis suporter Madura United, @KConk1Dhere, berikut ini:
Satu keganjilan yang juga terasa adalah ketika begitu banyak aparat kepolisian yang masuk ke dalam stadion, bahkan untuk duduk di tribun. Apakah pertandingan antara Madura United melawan Bhayangkara termasuk pertandingan dengan risiko tinggi?
Lebih “berbahaya” mana jika dibandingkan dengan ketika Barcelona menggelar pertandingan tertutup karena masaah Referendum Catalonia? Ketika Barcelona bertandingan, bahkan tak ada aparat keamanan yang duduk berjajar dengan rapi di tribun.
Segala keganjilan ini membuat piala yang kelak diterima Bhayangkara berbau anyir, amis yang menyengat. Faedah apa yang akan Bhayangkara dapatkan dari juara dengan cara seperti ini?
Sekali lagi, “di atas lapangan”, Evan Dimas, Paulo Sergio, hingga Ilija Spasojevic memang bermain apik. Tapi di luar lapangan, bau anyir tercium membuat tak enak.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen