Selang 2004-2012, tim nasional Italia punya seorang gelandang genius yang kemampuannya diakui oleh dunia bernama Andrea Pirlo. Larinya tidak cepat, pergerakannya terkesan biasa-biasa saja.
Namun jangan sekali-kali memandang itu dengan sebelah mata sebab akurasi umpan, visi bermain, dan teknik olah bola dari pria yang akrab dengan rambut gondrong semasa bermain ini benar-benar bak dewa.
Kedua kakinya sanggup melepas sebuah umpan-umpan cantik yang membelalakkan mata lantaran mendarat tepat di kaki para penyerang sehingga mereka tinggal menceploskan bola ke jala lawan dengan begitu mudahnya. Bersama Pirlo, konon segalanya bisa berjalan dengan lebih mudah bagi Gli Azzurri.
Namun selayaknya manusia biasa yang umurnya bertambah tua, masa keemasan seorang Pirlo pastilah datang. Tungkainya tetap mampu menghasilkan umpan-umpan manja yang digemari seluruh rekannya. Visi bermainnya masih bisa membantu timnya untuk melakukan sesuatu yang menarik di atas lapangan guna memetik kemenangan. Tapi tenaga, daya tahan tubuh, dan kekuatan fisik Pirlo dalam kurun lima musim terakhir, tak lagi sama dengan satu dekade silam.
Seiring dengan senjakala karier dari pria berjuluk L’Architetto (Sang Arsitek) tersebut, Italia ketiban rejeki dengan kemunculan seorang pemain muda yang kemampuannya dinilai setara yaitu Marco Verratti.
Sebagai produk asli dari akademi Pescara Calcio, nama Verratti mulai naik daun saat membela I Delfino pada musim 2011/2012 di ajang Serie B. Di bawah asuhan pelatih nyentrik, Zdenek Zeman, Verratti dimainkan sebagai deep-lying playmaker dalam skema favoritnya, 4-3-3.
Hasilnya? Fantastis!
Pescara yang ketika itu juga diperkuat oleh Ciro Immobile dan Lorenzo Insigne, akhirnya berhasil promosi ke Serie A usai mengukuhkan diri sebagai jawara Serie B. Berkat penampilan ciamik yang Verratti tunjukkan kala itu, sejumlah klub ternama pun meminati jasanya.
Beruntung bagi tim kaya baru dari Prancis, Paris Saint-Germain (PSG), mereka jadi pihak yang sukses mengamankan tanda tangan Verratti di musim panas 2012. Dana sebesar 12 juta euro menjadi nominal yang digelontorkan manajemen Les Parisiens ketika itu. Sebuah harga miring yang tentu bikin cemburu klub-klub lain yang menginginkan Verratti.
Baca juga: Marco Verratti: Pewaris Xavi Hernandez?
Bareng PSG, kemampuan Verratti terus mengalami progresi, dalam arahan pelatih manapun yang menukangi mereka dalam kurun lima musim terakhir. Kemampuannya sebagai pengendali permainan PSG seperti yang Pirlo lakukan di tim-tim yang ia bela, direplikasi secara paripurna oleh Verratti.
Sejumlah gelar bergengsi, mulai dari empat titel Ligue 1, tiga Piala Prancis, empat Piala Prancis sampai lima Trophee des Champions sukses disumbangkan Verratti untuk klub yang dimiliki oleh Oryx Qatar Sports Investment (QSi) itu.
Dalam kurun enam musim (termasuk 2017/2018), Verratti telah bermain pada 213 pertandingan yang dilakoni PSG di seluruh kompetisi serta menyumbang 7 gol dan 37 asis. Menilik torehan asisnya, jumlah itu terhitung sangat luar biasa, bukan?
Dengan performa konsisten yang ditunjukkannya saat membela PSG, wajar bila kemudian masyarakat Italia berharap Verratti bisa melakukan hal yang sama saat berseragam Gli Azzurri. Tapi nahas, hingga mengenyam 23 caps dan 1 gol, performa Verratti belum memberi dampak signifikan untuk timnas Italia (bukan dalam koridor raihan gelar semata).
Pada debutnya di turnamen internasional bertajuk Piala Dunia 2014 kemarin, Verratti tak mendapat cukup banyak kesempatan bermain dari allenatore Italia ketika itu, Cesare Prandelli. Maklum saja, ketika itu Pirlo masih bercokol dalam skuat sehingga menggeser posisi L’Architetto adalah persoalan mustahil, kecuali yang bersangkutan terkena cedera atau akumulasi kartu.
Di saat Pirlo memastikan diri pensiun dari timnas, nyatanya Verratti masih tetap kesulitan untuk melanjutkan tongkat estafet yang diserahkan kepadanya. Padahal, asa pendukung setia timnas Italia terhadapnya sudah begitu besar.
Pada ajang Piala Eropa 2016 yang dihelat di Prancis, Verratti bahkan tidak dibawa oleh pelatih yang menjadi suksesor Prandelli, Antonio Conte. Cedera yang membebat sang pemain kala itu memaksa Conte untuk mencoret nama Verratti dari daftar pemain yang bisa dibawa bertempur di Negeri Anggur.
Di usianya yang baru menginjak 25 tahun pada hari ini, Verratti memang tergolong sebagai pemain yang rentan cedera. Hampir di setiap musim, dirinya mesti berakrab ria dengan meja perawatan akibat gangguan fisik. Baik cedera otot, cedera lutut, sampai cedera pangkal paha.
Realita macam itu pula yang membuat Verratti akhirnya sulit tampil maksimal, utamanya saat berseragam timnas Italia. Apalagi bayang-bayang kejayaan sosok Pirlo juga masih membekas di dalam memori publik sehingga mereka seringkali ‘memaksa’ Verratti untuk bisa menyamai performa seniornya itu.
Sialnya, Verratti tak punya banyak waktu buat terus menghindar dari harapan dan tuntutan macam itu. Mau tidak mau, Verratti kudu bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Pirlo secepat mungkin dengan tampil konsisten bagi Gli Azzurri, bukan hanya untuk PSG.
Pemain berpostur 165 sentimeter ini harus bisa menunjukkan kepada publik jika Verratti adalah Verratti, sosok yang punya kemampuan apik dan dapat menjadi konduktor permainan Gli Azzurri di masa kini dan masa yang akan datang.
Tak harus buru-buru membawa Italia juara di Piala Dunia 2018 atau Piala Eropa 2020, sebab Verratti bisa melakukannya setahap demi setahap demi kontinuitas serta stabilitas permainan Gli Azzurri yang ada dalam kendalinya. Sebab itulah satu-satunya cara yang bisa membuat Verratti lepas dari bayang-bayang seorang Andrea Pirlo dan mematenkan namanya sebagai salah satu gelandang terbaik di muka Bumi.
Buon compleanno, Marco.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional