Kinerja Watford di awal Liga Primer Inggris musim ini terhitung menakjubkan. Diekspektasikan untuk berkutat di papan bawah, The Hornets hingga tulisan ini dibuat berhasil duduk di peringkat lima klasemen. Watford berhasil mengumpulkan 15 poin dari sembilan laga yang telah mereka lakoni, dengan rincian empat menang, tiga seri, dan dua kalah.
Secara impresif, Richarlison dan kolega berhasil menahan imbang Liverpool di laga pembuka Liga Primer Inggris musim ini dengan skor 3-3 dan mengalahkan Arsenal di gameweek pekan lalu dengan skor 2-1. Kesuksesan tim yang dimiliki keluarga Pozzo ini didukung oleh banyak faktor, namun alasan utama yang menjadi penyebab hebatnya Watford di awal musim ini adalah manajer mereka, Marco Silva.
Marco Silva baru menangani Watford di awal musim ini setelah musim lalu tidak mampu menyelamatkan Hull City dari jeratan degradasi. Meskipun gagal menjadi juru selamat, Hull asuhan Silva menunjukkan tanda-tanda yang lebih positif ketimbang sebelum kehadirannya. Silva berhasil membawa The Tigers mengalahkan klub sekelas Manchester United di leg pertama semifinal Piala EFL dengan skor 2-1, meski harus kalah agregat sehingga gagal lolos ke final.
Tak hanya itu, Silva juga mampu memberikan empat kemenangan kandang di awal kepelatihannya bersama Hull, termasuk mengalahkan Liverpool dengan skor 2-0. Silva ‘setidaknya’ berhasil membawa Hull finis di peringkat 18, mengingat waktu yang diberikan kepadanya juga tidak banyak dengan materi pemain yang juga seadanya.
Di akhir musim, ia memutuskan untuk berhenti, lalu kemudian direkrut oleh Watford yang finis satu peringkat di atas Hull. Lalu, sebenarnya, siapakah sosok pembuat keajaiban ini?
Baca juga: Yang Membuat Watford Melesat di Pekan Awal Liga Primer Inggris
Marco Silva lahir di ibu kota Portugal, Lisbon, 12 Juli 1977. Ya, benar, saat ini ia masih berusia 40 tahun, usia yang relatif muda untuk seorang manajer tim sepak bola. Sebelum menekuni level manajerial, Silva terkenal sebagai seorang bek kanan yang cukup ternama di Portugal.
Ia memang tak pernah benar-benar menjadi pemain top, bahkan masuk ke timnas Portugal pun tak pernah. Namun, bagi pendukung Estoril, salah satu klub di Portugal, Silva adalah sosok yang menjadi idola. Sayang, karier sepak bolanya sebagai pemain tak berlangsung lama dan ia harus pensiun di usia 34 tahun.
Estoril juga menjadi klub pertama dalam karier manajerial Silva di musim 2011/2012. Ia tak serta-merta langsung diangkat menjadi manajer, melainkan menjadi direktur olahraga terlebih dahulu, namun tak berapa lama setelah liga dimulai, ia berganti jabatan menjadi manajer.
Silva langsung membuktikan diri bahwa ia memiliki bakat sebagai seorang manajer. Ia berhasil membawa Estoril promosi ke kasta tertinggi Liga Portugal dan didapuk menjadi Manager of the Year di akhir musim. Di musim pertamanya di Liga Super Portugal, Silva berhasil membawa Estoril finis di peringkat lima, sekaligus masuk ke kualifikasi Liga Europa meski tak lolos pada akhirnya ke fase grup. Catatan impresif pelatih muda ini membuatnya direkrut oleh klub yang lebih besar sekaligus bertempat di kota kelahirannya, Sporting Lisbon, di tahun 2014.
Silva ditunjuk menjadi pengganti dari Leonardo Jardim yang hengkang ke AS Monaco. Sayangnya,kebersamaan Silva bersama klub yang membesarkan Cristiano Ronaldo tersebut hanya bertahan selama satu musim. Ia dipecat di akhir musim karena alasan yang terhitung konyol, yaitu karena ia tidak mengenakan setelan jas resmi klub dalam laga Piala Portugal melawan Vizela. Namun, manajer yang mengawali karier bermain di Belenenses ini mampu menyumbangkan trofi Piala Portugal di akhir musim.
Silva pun memutuskan hijrah ke Yunani untuk menukangi salah satu klub besar di negeri seribu dewa tersebut, Olympiakos, di tahun 2015. Lagi-lagi, ia menciptakan rekor bersama Olympiakos setelah mencatatkan 17 kemenangan secara beruntun di liga domestik, sebuah pencapaian yang menjadi rekor di Eropa.
Silva juga membuktikan diri bahwa ia akan menjadi mimpi buruk bagi Arsene Wenger di kemudian hari setelah mengalahkan Arsenal di fase grup Liga Champions dengan skor 3-2. Di akhir musim, gelar juara Liga Yunani berhasil direngkuh Olympiakos, namun sayangnya, sang manajer juga memutuskan untuk mundur akibat alasan personal. Memasuki tahun 2017, pria Portugal ini memulai petualangannya di Inggris.
Silva terkenal akan kemampuannya untuk bertindak responsif dan adaptif terhadap taktik lawan. Ini dibuktikan ketika Watford mengalahkan Arsenal di The Vicarage minggu lalu. Tim asuhannya tertinggal di babak pertama, namun seusai jeda, Silva berhasil mengangkat moral sekaligus memodifikasi taktiknya sedemikian rupa hingga pada akhirnya meraih kemenangan.
Silva mampu menyadari bahwa Arsenal banyak membuang peluang, dan satu serangan balik akan memukul Arsenal. Benar saja, penetrasi Richarlison membuat Hector Bellerin harus menjatuhkan gelandang muda Brasil tersebut di kotak penalti.
Kemampuan ini juga ia buktikan ketika menang atas Swansea City. Silva mengubah formasi dari menggunakan tiga bek menjadi empat bek setelah tahu lawannya memasukkan penyerang ekstra untuk menyamakan kedudukan setelah Watford unggul. Kehebatan pelatih muda ini menunjukkan bahwa usia bukanlah penghalang untuk menjadi ahli taktik yang menawan.
Silva juga memiliki aura untuk disukai, tidak hanya oleh supporternya sendiri, namun juga pendukung klub rival. Seusai mengalahkan Arsenal, kapten Watford, Troy Deeney, mengeluarkan kata-kata yang terhitung provokatif, namun Silva secara tegas mengkritik kaptennya tersebut untuk berhati-hati dalam bicara. Kini, Silva sudah dikaitkan ke banyak klub besar dan melihat kemampuannya, pantas rasanya apabila ia menangani salah satu klub top di Eropa.
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket