Nasional Eropa

Clericus Cup: Piala Dunia Milik Para Rohaniawan Katolik

Tahun 1908, Argentina hampir menggenapkan kemerdekaannya dari penjajahan Spanyol yang ke-100. Amagro, salah satu barrios (distrik) di Buenos Aires sedang tumbuh berkembang menjadi area kelas menengah. Sistem transportasi trem dan masifnya kedatangan imigran, terutama Italia dan Basque, memicu pertumbuhan kota.

Suatu waktu, trem, yang sama seperti kereta api, tidak bisa dihentikan lajunya, sempat menyerempet bocah yang sedang bermain bola. Maklum saja, mereka kehilangan lahan sehingga bermain bola di pinggir jalan. Hal tersebut membuat imam Lorenzo Massa terenyuh dan menawarkan kepada para bocah untuk bermain di halaman belakang gereja, dengan syarat yang relatif mudah: bocah-bocah tersebut harus menghadiri misa di akhir pekan.

Sejarah kemudian mencatat bahwa itulah cikal bakal terbentuknya klub Argentina San Lorenzo. Klub ini juga merupakan klub sepak bola yang diidolai pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, Paus Francis.

Agama dan sepak bola, dalam konteks tulisan ini, agama Katolik, memang bersinggungan erat. Keduanya merupakan irisan-irisan identitas yang mengisi jiwa seseorang sehingga tak jarang saling bersangkutan. Pada derbi The Old Firm antara Glasgow Celtics dengan Glasgow Rangers, kita menemukan bagaimana sektarianisme Katolik lawan Protestan menggelora di kancah sepak bola.

Jim Mulligan, frater di salah satu seminari di Roma menginisiasi suatu pertandingan persahabatan antar seminari yang diikuti delapan sekolah. Peristiwa yang terjadi pada tahun 2003 itu kemudian menarik minat camerlengo (sekretaris kardinal) Tarcisio Bertone untuk menjadikan turnamen ini lebih besar lagi, sekaligus kompetisi resmi hierarki tertinggi gereja Katolik.

Pater Bertone memang penggila bola. Ia seorang Juventino. Di awal pengabdiannya di jalan Tuhan, ia bahkan sempat mengisinya dengan menjadi komentator sepak bola untuk sebuah radio. Maka ada narasi yang sejalan antara sepak bola dengan iman. Semangat sportifitas dan solidaritas antar pemain harus tetap terjaga di tengah kerasnya sepakan atau tekel-tekel yang dihunjam ke lawan. Dunia boleh muram, tetapi semangat solidaritas perlu diingat untuk melestarikan kemanusiaan.

Turnamen ini dinamakan Clericus Cup. Format kompetisi diikuti oleh 16 tim yang terdiri dari seminari dan kolese yang ada di dalam maupun sekitar Vatikan. “Clericus” sendiri merupakan kata Latin untuk “clergy” atau “klerus” dalam bahasa Indonesia. Uniknya, mayoritas pesertanya adalah para frater yang berasal dari negara-negara non-Italia.

Tercatat lebih dari 70 kebangsaan pernah berlaga di turnamen ini, mulai dari Amerika Serikat, Brasil, negara-negara Afrika, hingga Indonesia. Berdasarkan informasi dari fotografer Max Hirzel, klub yang dihuni pemain Indonesia adalah Pontificial Collegio Urbano. Kebetulan, wakil rektornya juga orang Indonesia, Pater Agostino.

Sebagai hierarki tertinggi dan pusat dari gereja-gereja Katolik sedunia, tentu banyak institusi pendidikan rohani di dalam Vatikan. Para calon imam ini menempa diri di pusat gereja, untuk kemudian menyebar firman Tuhan ke seluruh dunia.

Hal yang paling unik dari turnamen ini adalah adanya kebijakan kartu biru selain kartu merah dan kuning. Seperti dikutip dari laporan Kevin Baxter untuk Los Angeles Times, kartu biru diberikan kepada pemain bila ia mengganggu pemain lawan yang sudah memiliki kesempatan besar mencetak gol  (mungkin sama dengan peraturan last-man tackle di sepak bola ‘konvensional’). Mereka yang mendapat anugerah kartu biru harus menepi di pinggir lapangan selama lima menit untuk merefleksikan ‘dosanya’ tersebut.

Sontak, turnamen ini disambut dengan antusiasme yang tinggi. Dimainkan di sebuah lapangan dengan latar belakang Basilika St. Petrus, kedua tim yang bertanding tetap memakai seragam sepak bola – bukan jubah panjang khas rohaniawan Katolik. Justru para penontonlah yang heboh memakai simbol kebesaran tersebut. Mereka juga membawa  bendera sekolah, meneriakkan yel-yel, atau membawa gitar. Salah satu kelompok terekam membawa spanduk bertuliskan “Viva el Papa”, yang berarti “Jayalah sang Paus.”

Turnamen ini akhirnya menarik simpati UEFA dan FIFA. Banyak koran nasional meliput turnamen bersistem grup ini. Clericus Cup, yang pergelaran ke 11-nya akan dimulai Februari ini, memang masuk dalam cakupan kompetisi amatir. Namun itu tak menghalanginya untuk memberi pesan pada kita bahwa perkelindanan iman dengan olahraga bisa menggemakan ide-ide kemanusiaan seperti solidaritas antar manusia.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com