Suara Pembaca

Roses Derby Pertama Setelah 16 Tahun

Premier League musim 2020/2021 sepertinya akan mencatatkan cerita baru menyoal rivalitas panas antara dua tim yang memiliki sejarah panjang di masa lampau. Manchester United dan Leeds United akan kembali bersua di ajang Premier League, setelah lebih dari 16 tahun tidak bertemu.

Roses Derby atau battle of roses menjadi sebutan bagi kedua tim ini kala bertanding. Pertemuan sengit antara Manchester United dan Leeds United bisa dibilang sebagai salah satu derbi terpanas yang ada di Inggris Raya. Pasalnya, banyak hal yang mempengaruhi panasnya persaingan antara kedua tim tersebut.

Faktor-faktor seperti perang sipil, persaingan bisnis, politik, hingga fanatisme buta antar-suporter, menjadi pemicu rivalitas antar dua klub tersebut. Bahkan, banyak orang yang berpendapat bahwa derbi ini menjadi salah satu derbi terpanas yang pernah ada di Inggris Raya.

 

Sejarah Roses Derby

Syahdan, di Inggris periode tahun 1455-1487, terjadi pertempuran besar antara dua kelompok yang memperebutkan takhta kerajaan. Yorkshire yang identik dengan mawar putih dan Lancashire yang identik dengan mawar merah, tak pernah lelah berperang demi mendapatkan takhta yang paling mulia di Inggris Raya tersebut.

Pada awalnya, para bangsawan dari Yorkshire berhasil melengserkan King Henry VI yang kala itu sedang berkuasa. King Henry VI yang merupakan raja dari Lancashire, tidak terima akan kudeta tersebut dan berniat untuk mengambil kembali takhta tersebut.

Melalui pertempuran panjang yang terjadi selama bertahun-tahun, Lancashire akhirnya merebut kembali takhta tersebut. Perang demi perang terus berlanjut selama puluhan tahun lamanya. Barulah pada akirnya, King Henry VII yang kala itu berkuasa, menikah dengan Elizabeth, putri dari Edward IV yang merupakan bangsawan Yorkshire. Kedua keluarga dari York dan Lancaster pun bersatu, termasuk penggabungan mawar putih dan merah yang mewakili bendera masing-masing kubu.

 

Berlanjut hingga lapangan hijau 

Meski sudah terjadi perdamaian antara kedua kelompok tersebut, namun sentimen yang diwariskan oleh para leluhur mereka nyatanya masih membara dan menyimpan dendam. Bahkan, sepak bola sebagai olahraga yang menjungjung tinggi nilai sportivitas, dijadikan pemicu rivalitas panas antara kedua kelompok tersebut.

Leeds United yang diasosiasikan sebagai kebanggaan Yorkshire dan identika dengan warna putih, harus bersaing dengan Manchester United yang memiliki warna merah seperti Lancashire. Pada era 1960-1970, duel dua tim tersebut selalu dinanti oleh kedua suporter. Sebab, laga seru dengan intensitas tinggi tergambar nyata selama 90 menit.

Di luar lapangan, kedua suporter juga sering terlibat bentrok. Apalagi di medio 1970-an, Inggris sedang marak dengan aksi hooliganism. Sebelum Manchester United terdegradasi ke Divisi 2 pada 1974, Leeds United mendominasi dengan meraih 21 kemenangan dari 25 pertemuan di antara keduanya.

Sepak bola Inggris yang identik dengan permainan cepat dan keras, tercermin dari gaya main Leeds United. Bahkan, Leeds sendiri sempat dijuluki sebagai Dirty Leeds pada saat itu. Peruntungan Setan Merah berubah pada tahun 1984 saat Manchester United mulai ditangani oleh manajer legendaris asal Skotlandia, Sir Alex Ferguson.

 

Alan Smith

Persaingan ketat antara kedua tim tersebut terus berlanjut hingga medio 1990 sampai awal 2000-an. Leeds United dan Manchester United selalu mendominasi klasemen papan atas Liga Inggris. Bahkan, Leeds United merupakan juara terakhir Football League First Division pada tahun 1992 sebelum berganti format menjadi Premier League.

Di balik rivalitas panas keduanya, terjadilah perpindahan pemain antara kedua tim yang makin memanaskan tensi rivalitas. Baik Leeds mau pun Manchester United silih berganti membajar pemain dari masing-masing kubu demi memuluskan langka mereka untuk meraih gelar juara. Dalam hal ini, Manchester United selalu mendapatkan pemain-pemain Leeds United yang sedang naik daun.

Mulai dari perpindahan sosok ikonik macam Eric Cantona pada November 1992, lalu salah satu bek terbaik Inggris, Rio Ferdinand pada Juli 2002, hingga yang cukup menggemparkan yakni kala Setan Merah memboyong putra asli Yorkshire, Alan Smith, pada Mei 2004. Sementara di kubu Leeds, mereka selalu mendapatkan pemain-pemain “buangan” Manchester United seperti Liam Miller pada November 2005, hingga pemain muda Cameron Borthwick-Jackson pada  Agustus 2017.

Dari banyaknya kisah perpindahan antara kedua tim tersebut, tersirat satu cerita menyakitkan dan tidak bisa dilupakan oleh para penggemar Leeds. Perpindahan Alan Smith yang kala itu sedang menjadi andalan The Whites, tiba-tiba hengkang ke rival abadi yakni Manchester United.

Alan Smith yang lahir pada tanggal 28 Oktober 1990 di Rothwell, Yorkshire ini, merupakan bagian penting dari era kejayaan Leeds United pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an. Bersama Mark Viduka dan Robbie Keane, Smith berhasil mengantar Leeds melaju jauh hingga semifinal Liga Champions 2000/2001.

Kala itu, Tim yang diarsiteki oleh David O’Leary ini, bahkan berhasil mengalahkan Deportivo La Coruña yang saat itu merupakan juara bertahan LaLiga. Namun sayang, petualangan mereka harus berakhir di semifinal karena dikalahkan oleh Valencia. Mengakhiri musim sebagai semifinalis Liga Champions, membuat mereka ingin memembeli beberapa pemain demi penampilan yang lebih menjanjikan di musim berikutnya. Sial bagi Leeds, gelontoran pinjaman dana sebanyak £60 juta, membuat klub harus mengalami inflasi.

Mereka harus merelakan menjual beberapa pemain kunci mereka agar terhindar dari kebangkrutan. Sebuah ironi yang terjadi pada tim yang ingin memperbaiki diri lebih baik. Salah satu yang terdampak dari cuci gudang ini adalah kepergian Alan Smith yang pindah ke Manchester United.

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Yorkshire, Smith pernah berujar bahwa ia tak akan pernah mau bermain untuk Manchester United. Namun, ia menjilat ludahnya sendiri lalu berkata, “Boleh dibilang manajer kesebelasan terhebat (Sir Alex) menginginkanku. Bagaimana aku bisa menolaknya?”. Ucapan yang dilontarkan Smith tersebut meninggalkan luka bagi para pendukung Leeds kala itu. Ditambah lagi, tak lama setelah kepergian Smith, Leeds harus terdegradasi ke Divisi Championship.

Namun Smith berdalih, bahwa kepindahannya ke Manchester United dipelopori oleh manajemen Leeds yang kala itu sedang diambang kebangkrutan.

“Aku juga tidak membayangkan Leeds bisa terdegradasi. Aku mungkin tidak akan pernah pergi jika kami tidak terdegradasi, tetapi Leeds mencoba menjualku kepada penawar tertinggi. Leeds yang aku tinggalkan bukan Leeds yang aku kenal. Ada orang yang bertanggung jawab atas klub yang tidak aku sukai. Tetapi hal terakhir yang aku inginkan adalah melihat Leeds bangkrut”, ujarnya kala itu dikutip dari Guardian.

Musim ini, Leeds United kembali ke Premier League dengan menyandang status sebagai juara Championship musim 2019/2020. Mereka juga perlahan mulai membuktikan diri sebagai kuda hitam dalam mengarungi Premier League musim ini. Meski memiliki materi pemain yang pas-pasan, Leeds United dilatih oleh maestro bernama Marcelo Bielsa.

Sementara di kubu lawan, United menyambut pertemuan kembali dengan Leeds lewat nasib kurang mujur. Magis Setan Merah sudah memudar karena 7 musim lamanya mereka absen menjuarai liga. Ditambah lagi, bersama Ole Gunnar Solskjaer, performa Marcus Rashford dan kolega cenderung fluktuatif.

Akan seperti apa duel The Roses Derby yang akan terjadi setelah absen belasan tahun ini?