Setelah Cesar Luis Menotti dan Carlos Bilardo, Marcelo Bielsa bisa dibilang generasi ketiga dari sosok pelatih legendaris asal Argentina yang sukses mengubah cara pandang dunia kepada sepak bola.
Lahir dari keluarga mapan, paduan dari pengacara dan politisi, Bielsa menekuni karier sepak bola sebelum pensiun di usia 25 tahun untuk menekuni karier manajerial.
Bersama Newell’s Old Boys, klub kota kelahirannya, Rosario, sang maestro memulai cerita-cerita hebatnya.
Syahdan, ia diminta membuat susunan tim muda. Mengendarai mobil Fiat tuanya, sang maestro berkeliling Argentina mencari bakat-bakat muda terbaik dan di situ kemudian ia menemukan salah satu talenta terbaik Argentina, Mauricio Pochettino. Poch juga yang di kemudian hari, puluhan tahun setelah ditemukan oleh “sang ayah”, kemudian menyebut, “Marcelo adalah football father di hidup saya.”
Kamu pernah bertanya-tanya kenapa markas kebanggaan Newell’s diberi nama Estadio Marcelo Bielsa? Karena di Newell’s, kota itu mengenal dengan baik sosok El Loco. Ia bukan sekadar pelatih biasa, namun ia pionir, peletak dasar, dan founding father dari apa yang kini tengah dijalani oleh klub tersebut.
Betul, ia tak bergelimang gelar seperti Pep Guardiola, pengagum beratnya, namun Bielsa adalah spesies berbeda. Ia bukan seperti manusia pada umumnya, ia lebih seperti setengah santo dan setengah malaikat, alih-alih sebagai manusia.
Caranya memandang hidup dan sepakbola begitu detail, sama seperti ketika ia menuturkan kalimat ini, “Saya tidak percaya bahwa sukses dan kebahagiaan adalah sinonim. Ada orang sukses yang tidak bahagia, serta ada pula orang yang tidak perlu sukses untuk bahagia. Kewajiban setiap manusia adalah meningkatkan peluang mereka untuk bahagia. Dan, kita perlu paham bahwa jalan menuju sukses itu selalu penuh kecuali dan penuh inkonsistensi. Manusia hidup untuk berjaya di satu waktu, lalu mereka secara konsisten berkembang dan memperkuat diri mereka seiring waktu.”
Untuk semua romantisme sepakbola, idealisme, pikiran, perbuatan, contoh dalam bertindak, saya berutang banyak kepada Marcelo Bielsa. Bagi saya, yang jauh sekali beribu-ribu kilometer jaraknya dari Leeds, Bielsa tetap terasa dekat. Ia terasa sangat relevan, semua tindakannya, ucapannya, terasa begitu mudah dicerna kendati usia kami terpaut hampir 50 tahun jauhnya.
Bielsa bukan substitusi sosok kakek atau ayah atau orangtua, tapi ia adalah kawan, maestro, si genius, yang kepadanya, dari jauh, dalam gelap, dalam sunyi, kita melihat dan belajar. Dari Bielsa, kita melihat banyak hal, belajar memahami sesuatu, menilai sepakbola secara jernih, tanpa sedikit pun lupa menjadi manusia.
Dari Bielsa, sedikit saja saya mau kutip tulisan Louise Taylor di Guardian hari ini, Sabtu (18/7), kita bisa belajar bahwa pengambilan keputusan yang baik, didasari dengan bagaimana pemimpin memahami orang-orang yang dipimpin dan sistem yang dibuatnya.
“Illan Meslier, kiper muda yang dipercaya mengisi pos penjaga gawang saat Kiko Casilla dihukum 8 laga karena kasus rasialisme, adalah bukti Bielsa benar-benar memahami tim yang dilatihnya. Alih-alih merekrut kiper yang lebih berpengalaman di Januari untuk mengisi posisi Casilla, ia lebih mempercayakan Meslier, kiper 20 tahun, untuk mengisi posisi itu,” tulis Louise di Guardian, Sabtu (18/7).
Akhir kata, di era industri serta pandemik tak berujung, rasa-rasanya kebahagian melihat Marcelo Bielsa meloloskan Leeds United ke Premier League setelah 16 tahun lama absen turut menghadirkan kegembiraan kecil yang sering kita rasakan 4 bulan lalu sebelum pandemik.
Terima kasih, terima kasih, terima kasih. The world is crazy. Not Bielsa.
¡Querido Loco Bielsa,
orgullo de la ciudad!