Suara Pembaca

Legenda, Label “The New”, dan Beban Pemain Muda

Julukan “The New” dan harapan kembalinya Sang Legenda

Kelebihan seorang legenda adalah mampu memantik rasa rindu akan kehadirannya di lapangan hijau. Para penikmat sepak bola yang telah selesai menikmati masa keemasan legendanya terdahulu akan selalu setia menunggu dari tribun, siapa sosok yang akan menjadi penerus jejak legenda tersebut.

Cobalah tengok ke Camp Nou, diam-diam publik di sana menanti dengan sabar duet lini belakang baru, kombinasi senior-junior yang solid dan bergelimang prestasi seperti Charles Puyol dan Gerrad Pique.

Publik sepak bola yang selalu terlena dengan romansa para legendanya di masa lampau tampaknya sulit move on dari masa-masa jaya timnya.

Apa pun hasil yang diraih saat ini, pastinya selalu “dibanding-bandingkan” dengan kiprah para legenda masa lalu. Jika permainan tim tidak sesuai dengan harapan para fans, mereka pasti dibanding-bandingkan dengan generasi para legenda terdahulu.

Demikian halnya dengan mereka yang berhasil memenuhi ekspektasi publik, pasti akan dibanding-bandingkan juga.

BACA JUGA: Melempem dan Menua, Trio BBC Juventus di Pengujung Masa

Lihat saja bagaimana seorang Lionel Messi (dan para pemain Argentina) yang memikul harapan besar masyarakat Argentina saat final Piala Dunia 2014. Skenario final Piala Dunia 2014 di Brasil sepintas mirip dengan final Piala Dunia 1986 di Meksiko ketika Argentina dipimpin Maradona.

Maradona dan Messi sedang berada dalam usia emas, menghadapi lawan yang sama (Jerman), dan sama-sama berusaha mempertahankan gengsi tim Amerika Latin di tanah sendiri. Bedanya, Lionel Messi dan kawan-kawan harus takluk di final.

Publik memang kecewa, tapi toh Messi tetap dihormati Argentina. Siapa yang tidak bangga jika salah satu warganya disegani di Eropa dan meraih 6 trofi Ballon d’Or?

Atau lihat saja kesuksesan Kolombia di Piala Dunia 2014. Keberhasilan James Rodriguez dan kawan-kawan yang berhasil menembus babak perempat-final pun kerap dibanding-bandingkan dengan generasi emas Kolombia di bawah komando Carlos Valderrama pada era 1990-an, bahkan dianggap lebih baik.

Mendapat julukan “The New…” memang merupakan sesuatu yang istimewa karena kerap disamakan dengan sang legenda. Tapi harus diakui, bermain di bawah bayang-bayang nama besar seorang legenda juga merupakan suatu beban yang cukup berat, dan yang selalu memikul beban itu adalah para pemain muda. 

BACA JUGA: Cerita dari Penyelenggaraan Piala Soeratin Pertama