Suara Pembaca

Ancaman Degradasi Masih Mengintai Werder Bremen

Awan mendung sepertinya belum hilang dari langit kota Bremen, Jerman. Bukan hanya karena cuaca buruk, tapi juga karena performa tim sepak bola kebanggaan seluruh masyarakat Bremen, yaitu SV Werder Bremen, yang sedang terpuruk di kompetisi Bundesliga 2019/2020.

Hingga spieltag ke-22 Bundesliga, The Green-Whites secara mengejutkan terdampar di zona degradasi tepatnya posisi 17 klasemen sementara. Alih-alih bangkit dan konsisten di jalur kemenangan demi keluar dari papan bawah, Bremen justru terus didera kekalahan.

Teranyar, Bremen mesti bertekuk lutut dari penantang juara Liga Jerman musim ini, RB Leipzig, dengan skor 3-0 Sabtu (15/2) malam.

Hasil tersebut merupakan kekalahan keempat beruntun anak asuh Florian Kohfeldt dari lima partai terakhir, yang sekaligus membuat Bremen dengan koleksi 17 poin gagal memangkas jarak dengan Mainz 05 (21 poin), yang berada satu strip di atas zona degradasi.

Kredit: Getty Images

Kilas balik masa kejayaan Werder Bremen

Jika Anda bukan fans Werder Bremen, atau bukan penikmat Bundesliga, mungkin mendengar tim yang bermarkas di Weserstadion itu berada di zona degradasi bukanlah fenomena mengejutkan yang menarik untuk diperhatikan, apa lagi dibahas.

Namun sebaliknya, bila Anda adalah penggemar sejati Bremen atau minimal penikmat lawas Bundesliga, tentunya akan terheran-heran saat melihat Bremen sedang terancam degradasi ke Bundesliga 2, karena bagaimanapun The Green-Whites punya sejarah panjang dan nama besar di sepak bola Jerman, juga di kancah Eropa.

Berdiri pada 4 Februari 1899, Werder Bremen bukanlah tim sembarangan. Mereka memiliki segudang trofi-trofi bergengsi seperti empat kali juara Bundesliga, enam trofi DFB-Pokal, tiga Piala Super Jerman, serta satu Piala Liga di level kompetisi domestik. Sementara pada kompetisi Eropa, masing-masing satu gelar Piala Winners dan Piala Intertoto adalah prestasi terbaik mereka.

Selain trofi-trofi bergengsi, Werder Bremen juga pernah disinggahi pemain-pemain bintang sekaliber Ivan Klasnic, Diego Ribas, Ailton, Mesut Oezil, Kevin De Bruyne, Davy Klaassen, Claudio Pizzarro, dan Nuri Sahin. Kemudian, Otto Rehhagel, Felix Magath, dan Tomas Schaaf adalah nama tenar yang pernah menukangi Die Werderaner.

BACA JUGA: Mantan yang Menyakitkan Bernama Kevin De Bruyne

Sempat menjadi salah satu kekuatan di kasta tertinggi sepak bola Jerman, serta rajin tampil di kejuaraan Eropa seperti Liga Champions dan Liga Europa, Werder Bremen mulai mengalami kemunduran dalam tujuh musim terakhir. Mereka lebih rajin berkutat menghindari ancaman degradasi, ketimbang bersaing mengejar gelar juara Bundesliga.

Puncaknya, pada musim 2015/2016 Bremen hampir terdegradasi. Tampil inkonsisten sepanjang musim, Junuzovic dan kawan-kawan baru bisa memastikan bertahan di kasta tertinggi sepak bola Jerman pada spieltag terakhir saat bersua Frankfurt, yang saat itu juga berada di zona degradasi dan punya peluang serupa dengan Bremen untuk bertahan di liga.

Laga di Weserstadion tersebut juga bukanlah pertandingan mudah bagi Bremen. Butuh waktu hingga 88 menit untuk mereka bisa menentukan kompetisi mana yang akan diarungi pada musim 2016/2017.

Papy Djilobodji menjadi pahlawan kemenenangan dengan golnya ke gawang Frankfurt, memanfaatkan kemelut di kotak penalti Die Adler.

Laga itu pun disambut kebahagiaan dan suka cita seluruh pendukung, karena kemenangan tersebut bukan saja berarti tiga poin, tetapi lebih penting yaitu Werder Bremen lolos dari ancaman degradasi, dan berhasil memastikan satu tempat di Bundesliga musim 2016/2017.

BACA JUGA: Menyesap Darah Muda Serge Gnabry

Kredit: Getty Images

Deja vu 2015/2016

Layaknya deja vu, musim 2019/2020 ancaman degradasi itu kembali hadir menghantui Werder Bremen, karena tampil sangat inkonsisten sehingga menyebabkan Die Werderaner terperosok ke jurang degradasi. Harus diakui memang, perjalanan Klaassen dan kolega di Bundesliga musim ini sudah amburadul sejak awal liga berjalan.

Sempat meraih dua kemenangan dari empat pekan pertama, delapan laga berikutnya tidak sekalipun kemenangan bisa diraih oleh Bremen.

Mereka mesti menunggu hingga spieltag 13 untuk kembali meraup tiga poin, namun lagi-lagi tren negatif tim peraih enam trofi DFB-Pokal itu kambuh usai hanya satu kali menang pada sembilan pertandingan setelahnya.

Secara keseluruhan, dari 22 laga yang dijalani Bremen sejauh ini, baru empat kemenangan yang berhasil mereka raih, lima kali hasil seri, sedangkan 13 laga lainnya berakhir dengan kekalahan.

Dilihat dari statistik di atas, rasanya tidak mengherankan bila Bremen saat ini berada di papan bawah klasemen bahkan sampai zona degradasi. Akan tetapi, setiap penggemar klub sepak bola tentunya tidak ingin melihat klub kesayangannya terus mengalami kekalahan sampai harus terdegradasi, termasuk fans Bremen.

Kalaupun harus menunggu kepastiannya sampai akhir musim, drama 2015/2016 bisa jadi adalah momen yang diharapkan fans Bremen dapat terulang lagi.

BACA JUGA: Ketika Leverkusen Menjadi Neverkusen

Sementara itu, menyelisik seberapa besar peluang lolos Bremen dari zona degradasi musim ini, sebenarnya dapat dikatakan peluang itu masih sangat terbuka. Selisih poin mereka dengan para kompetitor di luar zona degradasi seperti Mainz 05 hingga Hertha Berlin pun masih berjarak sembilan angka.

Dengan sisa laga yang cukup banyak (12 laga), Bremen hanya perlu memperbaiki saja performa mereka untuk kembali ke jalur kemenangan, karena hanya itulah satu-satunya jalan agar musim depan, masih ada nama SV Werder Bremen sebagai salah satu peserta Bundesliga.

Meski begitu, perjalanan Bremen untuk lolos dari ancaman degradasi dijamin tidak akan mudah. Pasalnya dari 12 pertandingan sisa Bundesliga musim ini, masih ada tim-tim raksasa Bundesliga sekaliber Dortmund, Leverkusen, juga Bayern Muenchen, yang siap menjegal misi mereka untuk sekali lagi lolos dari jerat degradasi.

Mampukah Bremen mengatasi tim-tim raksasa tersebut, dan memastikan bertahan di Bundesliga musim depan? Well, hanya Bremen sendiri tentunya yang bisa menjawabnya.

BACA JUGA: Patrik Schick, Gladiator yang Bangkit di Tanah Sachsen

BACA JUGA: Tak Selalu Bayern Pada Waktunya

BACA JUGA: Philippe Coutinho dan Para Penakluk Eropa

 

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Bisa disapa di akun twitter @RivaldiFF99