Kekalahan lagi-lagi mendera, hasil memalukan kembali diterima. Timnas Indonesia bertekuk lutut lagi di hadapan lawannya, dan sejumlah suporter timnas kita masih terus menggaungkan kerinduan pada Luis Milla. Kerinduan yang sudah basi.
Timnas Indonesia memang sedang dalam titik nadir, dan mungkin hanya timnas Indonesia di era dualisme saja yang nasibnya lebih buruk dari ini. Kalah telak, mandul, minim kreativitas, jadi corak tim Garuda sekarang. Perbandingan pun terus diapungkan. Dulu saat timnas kita jadi Macan Asia dan sekaran jadi Macan Ompong, juga gaya main timnas sewaktu diarsiteki Simon McMenemy dan Luis Milla.
Kenapa tolok ukurnya Luis Milla? Bukan Alfred Riedl yang membawa Indonesia dua jadi runner-up Piala AFF? Atau Anatoli Polosin dengan medali emas SEA Games 1991? Karena Milla adalah perbandingan terdekat, dan nyaris tanpa cela. Milla juga masih segar bugar menghirup udara dunia, beda dengan Riedl yang kesehatannya sudah menurun dan Polosin yang telah wafat.
Semasa dilatih Luis Milla, timnas Indonesia memang menjelma jadi kesebelasan yang berbeda. Timnas kita bukan lagi berisikan pemain-pemain temperamental dan bertabur kartu merah, timnas kita bukan lagi kesebelasan yang asal oper pokoknya bola sampai kotak penalti lawan. Waktu dibesut Luis Milla, mentalitas Indonesia berubah dari semenjana, naik satu tingkat di atasnya. Mungkin istilahnya: Siap kembali berjaya.
Bukan tanpa sebab pencinta sepak bola Indonesia sampai para pemain begitu mengagumi Luis Milla. Mantan pemain Barcelona dan Real Madrid itu memang jago mengatasi situasi. Ingat hasil 0-0 lawan Vietnam di SEA Games 2017? Indonesia masih bisa mencuri poin walau Hanif Sjahbandi dikartu merah, Satria Tama cedera, dan Kurniawan Kartika Ajie belum pulih sepenuhnya.
Lalu di Asian Games 2018, pujian kembal bertebaran di hadapan Luis Milla. Setelah mengakhiri penyisihan grup sebagai pemuncak klasemen, Indonesia “cuma” kalah adu penalti dari Uni Emirat Arab (UEA) di perdelapan-final. Beto dan Lilipaly gemilang, Zulfiandi terlahir lagi jadi bintang, dan Luis Milla semakin disayang.
Tapi, itu di Timnas U-23, bro n sis. Di timnas senior Luis Milla tidak berdaya. Dari 6 pertandingan hanya dua kemenangan yang dipetik, ditemani sepasang hasil imbang dan dua kekalahan. Timnas kita cuma bisa menang lawan Kamboja dan Guyana, itu pun cuma mencetak dua gol.
Sisanya, dua kali skor kacamata saat bertemu Puerto Rico dan Fiji, lalu takluk lawan Myanmar 1-3 di laga debut dan ditutup juga dengan kekalahan, skornya 1-4 lawan Islandia yang nama pemainnya pake “sson” itu, tapi bukan Gagalmaningsson.
Rindunya sudah basi, komparasinya tidak adil
Sekarang, tongkat estafet kepelatihan beralih ke Simon McMenemy. Di pundak pelatih asal Skotlandia yang perawakannya seperti bintang film ini, kita berharap, Indonesia bisa tampil lebih baik atau minimal menyamai level permainan Luis Milla.
CV-nya Simon bukan kaleng-kaleng. Dia mulai dikenal publik sepak bola Asia Tenggara sewaktu membawa Filipina ke semi-final Piala AFF 2010. Filipina main bagus waktu itu, tapi kalah bagus dari placing kaki kiri Cristian Gonzales dan joget selebrasi Irfan Bachdim.
Jalan hidup kemudian membawanya ke Indonesia. Simon memulai perantauannya di Tanah Air dengan menangani Mitra Kukar, Pelita Bandung Raya (PBR), dan karier manajerialnya meroket saat membawa Bhayangkara FC juara Gojek Traveloka Liga 1 2017. Terlepas dari isu non-teknis, kualitas tim The Guardian saat itu memang jempolan.
Baca juga: Bau Anyir Gelar Juara Bhayangkara FC
Maka tak heran, Simon adalah pilihan terbaik sekarang, usai lengsernya Luis Milla dan gagalnya Bima Sakti. Dengan kualifikasi Piala Dunia 2022 dan Piala Asia 2023 yang sudah di depan mata, sangat riskan memilih juru taktik yang masih awam seluk beluk sepak bola Indonesia.
Tapi nasib orang siapa yang tahu. Simon yang begitu crispy di tim-tim sebelumnya, mendadak melempem ketika bertugas membawa nama Garuda. Empat kekalahan beruntun ditelan, tiga di antaranya di kandang, kebobolan 14 kali dan cuma memasukkan 3 bola. Gawang Indonesia diperkosa bergiliran dan lini serangnya tidak mampu melawan.
Di periode waktu yang lain, statistik Luis Milla di timnas senior Indonesia juga tidak bagus-bagus amat. Prosentase kemenangannya cuma 33,33 persen. Golnya cuma 6 dan kebobolan 8 kali, tapi sang entrenador sangat dipuja dan dirindukan.
Alasannya, membentuk pondasi timnas dari SEA Games 2017 dan main bagus di Asian Games 2018. Komparasi yang tidak adil dengan Simon.
Simon langsung menangani timnas senior, tanpa lebih dulu membentuk komposisi di timnas U-23, tingkat akhir di strata junior. Simon juga tidak punya keistimewaan seperti Milla yang terbantu regulasi kuota pemain U-23 sebelum SEA Games, dan hak memainkan striker berusia 37 tahun untuk menghadapi bocah-bocah usia 20-an tahun.
Situasi masuknya Simon McMeneny dan Luis Milla di timnas Indonesia sangat berbeda, jadi sebaiknya hasil pertandingan yang didapat jangan dibandingkan apa adanya tanpa menimbang aspek lain.
Dan sebaiknya hentikan semua rasa rindu, cuplikan masa lalu, video-video haru, sewaktu Luis Milla melatih Indonesia. Dia sudah tidak di sini, dan sekarang kita harus menatap ke depan dengan sumber daya yang ada. Jangan melulu melihat ke belakang.
Coba bayangkan. Misalnya kamu ditinggal nikah mantan kekasihmu dan kamu masih sayang sama dia, apakah kamu bakal terus menerus merengek meratapi nasib dan menangisi foto pernikahannya tanpa mencoba move on?
Makanya, camkan apa kata Cak Lontong: Mikir!