Cerita

Ujian untuk Cinta dan Ketulusan Jakmania

Sebagai tim juara bertahan, ekspektasi yang dipatok untuk Persija Jakarta memang terlanjur tinggi. Sayangnya pemain hingga kini belum mampu menjawab dengan penampilan di atas lapangan. Tersingkir dini di kompetisi Asia, gagal mempertahankan gelar turnamen pra-musim, hingga gagal di final Piala Indonesia, seolah tidak ada lagi kekuatan Macan Juara yang tersisa.

Di kompetisi Shopee Liga 1 2019, nasib Macan Kemayoran tidak kalah mengenaskan. Meski pergantian pelatih telah dilakukan, tapi belum juga ada hasil yang terlihat nyata. Julio Banuelos yang datang dengan CV mentereng diharapkan mampu membawa perubahan dalam pasukan warisan Ivan Kolev. Namun hasilnya? Masih sama saja.

Dari sembilan pertandingan Shopee Liga 1 2019 yang dimainkan, Persija Jakarta baru meraih satu kemenangan. Sisanya lima hasil imbang serta tiga kekalahan. Hasil yang membuat klub ibu kota harus terkapar di zona merah, posisi yang tentu saja bukan seharusnya bagi tim sekelas Persija.

Dengan semua catatan yang ada rasanya wajar bila Jakmania, suporter setia Persija Jakarta, mulai menyalakan tanda bahaya. Mereka tentu tidak ingin kesebelasan kebanggaannya terperosok lebih dalam.

Seperti yang dilakukan pada Sabtu sore (10/8) ketika Persija menghadapi klub satu kota, Bhayangkara FC, di Bekasi. Sinyal-sinyal kritikan dibentangkan di segala sisi. Tujuannya satu, Macan Kemayoran kembali pada jalurnya.

Baca juga: Enigma Macan Kemayoran

Pada pertandingan tersebut sebenarnya Persija Jakarta mampu unggul lebih dulu. Dengan skema hapalan, Marko Simic meneruskan umpan matang Riko Simanjuntak untuk membawa asa kemenangan sebagai jawaban semua kalimat-kalimat minor yang terbentang.

Namun lagi-lagi, seperti yang sering terjadi, keunggulan gagal dipertahankan hingga akhir pertandingan. Seolah dinaungi awan kesialan, Macan Kemayoran yang selalu mencetak gol lebih dahulu di enam pertandingan, harus merasakan pahitnya gol balasan pemupus kemenangan di lima pertandingan.

Dalam kedudukan imbang, bukan hanya kalimat-kalimat minor yang menjadi tanda bahaya. Suara-suara sumbang mulai bergema. Teriakan-teriakan diarahkan langsung pada sasaran. Mulai dari pemain yang dianggap tidak maksimal penampilannya, tim pelatih, hingga petinggi klub harus menerima serangan berupa cacian.

Andritany Ardhiyasa selaku kapten memberi jawaban usai pertandingan. Ia menyampaikan bila Persija Jakarta berada dalam situasi yang sangat sulit. Tapi ia ingat betul ketika tahun lalu kita -seluruh tim dan Jakmania- pernah berada dalam kondisi yang sama namun berhasil melewatinya dan juara bersama-sama.

“Ini situasi yang sangat sulit untuk Persija. Sangat sulit. Tapi kita tahun lalu pernah berada di posisi ini dan kita tahun lalu bisa juara bersama-sama dalam kondisi ini.”

Baca juga: Bonus Rp 200 Juta untuk PSS dari BCS

Mengenai hasil pertandingan yang belum memuaskan, Andritany memastikan bila ia dan teman-temannya tidak akan berhenti memberikan yang terbaik untuk Persija Jakarta.

“Memang sampai hari ini hasil kemenangan belum berpihak pada kita, tapi dapat saya pastikan, saya, pelatih, dan teman-teman semua akan memberikan dan tidak akan berhenti memberikan yang terbaik untuk tim ini.”

Bukan cara yang seharusnya

Kritikan dan sinyal-sinyal bahaya dikirim Jakmania dengan berbagai cara. Mulai dari bentangan kalimat-kalimat minor, suara-suara sumbang, hingga aksi penghuni tribun yang langsung meninggalkan tempat begitu wasit meniup peluit panjang.

Sayangnya ada saja beberapa aksi yang terasa kurang pantas dilakukan. Saat anthem Persija Jakarta diputar, sebagian suporter tersisa justru menyorakinya, juga beberapa botol melayang ke arah lapangan. Padahal anthem tersebut selalu dinyanyikan bersama usai pertandingan sebagai wujud kebanggaan. Sesuatu yang suci, sesuatu penghormatan yang sakral, ternoda karena rasa kecewa.

Tak hanya sebatas itu, usai pertandingan, saat pemain dan anggota tim hendak meninggalkan stadion usai lelah berjuang, hal lebih tidak pantas dilakukan segelintir Jakmania. Satu mobil yang diduga ditumpangi petinggi klub menjadi media pelampiasaan kekecewaan. Pukulan, tendangan, diarahkan hingga meninggalkan jejak kerusakan di beberapa sisi.

Bahkan bus pengangkut pemain yang tidak lama berselang turut meninggalkan stadion juga menerima hal yang sama. Bus dengan lambang Persija yang dibanggakan turut menjadi sasaran. Pukulan, tendangan, bahkan lemparan diarahkan. Seolah mereka lupa bila di dalamnya terdapat pemain yang telah berjuang demi lambang yang sama-sama dipuja.

Baca juga: Wahai Suporter, Proteslah dengan Cerdas!

Kecewa tentu suatu yang wajar, kritikan jelas harus dilakukan, tapi Jakmania jelas tahu apa yang harus kita lakukan. Serangan fisik, teror-teror mengancam, itu bukan cara yang seharusnya.

Di saat keterpurukan seperti ini cinta dan ketulusan sebagai suporter sesungguhnya sedang diuji. Jangan sampai semua itu ternoda kekecewaan yang cenderung mengarah pada rasa benci.

Saat Macan Kemayoran seolah tertidur, saatnya Jakmania mengambil peran lebih untuk membangunkan. Bukan teror, dalam keterpurukan semangat untuk bangkit jelas lebih dibutuhkan.

Suporter datang ke stadion tentu dengan tujuan yang sama dengan tujuan sebelas pemain yang berjuang di lapangan, kemenangan. Mungkin suporter tidak akan bisa menentukan hasil akhir pertandingan, tapi tidak jarang hasil pertandingan dipengaruhi dengan apa yang suporter lakukan.