Suara Pembaca

Mencari Kedewasaan Bersepak Bola

Ratusan pendukung tuan rumah PSM Makassar memadati area bagian depan Stadion Mattoanging. Mereka menanti kedatangan rombongan Persija Jakarta yang akan melangsungkan latihan menjelang final Piala Indonesia leg kedua pada Sabtu sore, 27 Juli 2019.

Namun bukan sambutan hangat yang terhampar, melainkan teriakan bernada kasar. Bahkan, kepulangan rombongan Macan Kemayoran diiringi lemparan batu ke arah bus. Satu orang staf Persija sampai mengalami luka di bagian pelipis akibat terkena pecahan kaca.

Buntut aksi tidak sportif beberapa oknum suporter tuan rumah, bikin perkara jadi runyam. Macan Kemayoran meminta penundaan final leg kedua, yang seharusnya dilangsungkan Minggu sore, 28 Juli 2019.

Tarik ulur keputusan berlangsung hingga esok hari. Dua jam sebelum sepak mula, PSSI memutuskan akan menjadwal ulang pertandingan penting ini, dengan alasan keamanan dan kenyamanan.

Publik sepak bola Makassar yang sejak minggu siang mengantre untuk masuk stadion dan yang duduk manis di hadapan televisi menanti pertandingan disiarkan, semakin dilanda kekecewaan. Persija Jakarta menang 1-0 pada leg pertama di Stadion Utama Gelora Bung Karno, tapi optimisme sedang membara di tubuh masyarakat Makassar.

Baca juga: Mattoanging, Si Tembok Tua Penentu Juara

Gelar Piala Indonesia adalah oase di tengah dahaga kerinduan, setelah satu dasawarsa lebih, Pasukan Ramang kering prestasi.

Rivalitas antara Persija Jakarta dan PSM Makassar semakin menajam di GOJEK Liga 1 musim lalu. Macan Kemayoran sukses merengkuh trofi Liga 1, sedangkan Juku Eja harus berpuas diri berada di tempat kedua.

Akhir musim lalu pun, sepak bola Tanah Air dihinggapi isu pengaturan pertandingan. Sebagian publik sepak bola berasumsi –terutama anak Makassar, juara Liga 1 telah di-setting. Tudingan itu menyerempet hidung Persija, meski tidak ada bukti konkret sampai sekarang.

Kedua klub ditakdirkan bertemu kembali, tepat di momen yang penting, final Piala Indonesia. Persija dan PSM adalah dua tim dengan sejarah cemerlang dan basis pendukung yang sangat fanatik.

Gengsi kedua tim begitu besar, dan trofi adalah jalan pembuktian. Risiko gesekan antarpemain dan suporter sangat tinggi, di tengah kedewasaan bersepak bola yang belum terbangun dengan baik.

Baca juga: Kenikmatan Sepak Bola Pinggiran

Kedewasaan bersama

Di leg pertama final Piala Indonesia, beredar video gesekan kecil suporter di tribun GBK antara pendukung Persija Jakarta dan PSM Makassar. Beruntung, keributan itu tidak mengular dan berbuntut panjang. 

Namun, situasi kembali memanas pasca-pelemparan bus dan penundaan final leg kedua. Linimasa media sosial semakin gaduh. Unggahan pendukung kedua tim saling menyudutkan satu sama lain. Dari sisi pendukung Persija, publik sepak bola Makassar dianggap sebagai tuan rumah yang tidak ramah. Sementara bagi pendukung PSM, rombongan Persija dianggap tak bernyali.

Menyoroti perseteruan pendukung kedua klub, saya tertarik dengan tweet @PERSIPURA_

Penyelenggaraan final dengan konsep home and away, memang penuh risiko. Dampaknya pun telah terpampang di depan mata, di mana situasi runyam antarpendukung kembali mengemuka. PSSI seharusnya belajar dari kejadian masa lalu, terutama gesekan antarsuporter. Keputusan yang diambil sebaiknya mempertimbangan berbagai aspek, bukan hanya untung rugi dari sisi material belaka.

Baca juga: Satu Leg Netral Harusnya Final Ideal

Padahal, dalam draft awal regulasi Piala Indonesia, disebutkan bahwa pertandingan final akan dilangsungkan dalam format single match, mengikuti Piala FA di sepak bola Britania. Namun, entah angin apa yang menerpa PSSI, regulasi itu diiubah menjadi format seperti sekarang. Skema final yang akhirnya berujung drama dan sedikit kericuhan.

Di balik regulasi yang asal ubah dan pendukung yang saling sikut, ada problem utama di sepak bola kita. Sepak bola Indonesia belum dikelola dengan kedewasaan. Dalam kasus penundaan leg kedua di Makassar, baik PSSI, ofisial pertandingan, kedua klub, dan para pendukung, masih belum menunjukkan kedewasaan dalam bersepak bola. 

Penundaan leg kedua final Piala Indonesia, seharusnya jadi bahan evaluasi bagi semua pihak. PSSI mestinya semakin berupaya untuk membuat regulasi yang minim risiko. Pihak klub memberikan edukasi kepada para pendukung, bagaimana menjadi suporter dan tuan rumah yang baik.

Ofisial pertandingan –termasuk pihak kepolisian– benar-benar menjamin keamanan. Terakhir, untuk segenap pendukung, muhasabah diri demi mengelola emosi yang bergejolak.

Arkian, sepak bola adalah olahraga pemacu adrenalin, baik mereka yang bertanding ataupun yang hanya menonton. Emosi –bahagia dan marah– adalah sesuatu yang manusiawi. Tapi, tidaklah manusiawi apabila olahraga ini dijadikan ajang adu ejekan, makian, bahkan keroyokan.

Mengutip Jorge Luis Borges, “Sepak bola lebih dari sekadar hidup dan mati”. Sepak bola selayaknya menghidupkan kemanusiaan dan mematikan kebinatangan. 

 

*Penulis adalah blogger dan jurnalis paruh waktu. Penikmat sepak bola dari pinggiran. Dapat ditemui di akun Twitter @bedeweib.