Cerita

Keajaiban Olimpico dan Tiga Gelas Es Teh Manis

Hanya orang-orang bodoh yang menghabiskan dinginnya malam, serta angin kencang yang keluar dari AC, tapi masih ingin menenggak segelas es teh manis. Tentu saya bukan salah satu dari orang itu.

Saya punya riwayat buruk dengan minuman yang menggunakan es batu. Selain Chiki, minuman dingin adalah dua hal yang sering membuat saya kesal. Dua hal yang enak, tapi tidak bisa saya nikmati sebebasnya, sepuas-puasnya.

Saat itu, AS Roma akan menghadapi Barcelona dalam leg kedua babak perempat-final Liga Champions 2017/2018. Saya masih bekerja di sebuah media sepak bola nasional, dan bertugas sebagai admin media sosial. Sebagai admin, saya memiliki kewajiban untuk melaporkan pertandingan lewat media sosial, atau bahasa kerennya livetweet.

Bersama dengan tiga orang lainnya, saya bermalam di kantor yang kami kerap menyebutnya dengan Kantor Mimosa, karena terletak di Jalan Mimosa, Pejaten Barat.

Sesaat sebelum pertandingan mulai, perut saya mual. Saya memiliki kebiasaan yang aneh: menjelang menghadapi situasi yang menegangkan, perut tiba-tiba mulas. Persis ketika saat saya merayakan kehadiran ke-100 di teater JKT48. Perut saya mulas dan badan saya meriang seminggu lebih.

Baca juga: Jika Member JKT48 adalah Tim Sepak Bola

Pertandingan dimulai dan keringat dingin mulai membasahi perut saya yang saat itu masih tambun. Menggunakan pola baru, 3-4-3, saya sama sekali tak yakin Roma bisa menang. Jangankan menang, mencetak gol pun saya masih ragu.

Pertama adalah karena Barcelona yang reputasinya jelas satu level di atas AS Roma. Kedua adalah karena pelatih I Giallorossi saat itu, Eusebio Di Francesco, tidak familiar dengan formasi ini.

Tiap pelatih memiliki formasi gacoannya. Di Francesco lebih sering menggunakan pola 4-3-3 dengan menempatkan empat bek sejajar, dan malam itu, ia memakai pola tiga bek.

Kalah di segala lini, Roma mengerahkan satu jurus pamungkas: determinasi. Para pemain tahu bahwa secara kemampuan dan cara bermain, Barcelona jelas diunggulkan di atas kertas.

Para pemain sadar bahwa pertandingan ini digelar di atas lapangan, bukan di atas kertas. Roma memanfaatkan betul celah dan kaki-kaki pemain Barcelona yang lelah.

Enam menit berjalan, Daniele De Rossi melepaskan umpan panjang dari lingkaran tengah. Memanfaatkan kakinya yang panjang, Edin Dzeko mengontrol bola sebelum mencocornya dan mengelabui Marc-Andre ter Stegen. Papan skor berubah. 1-0 untuk pasukan Romawi.

Selepas gol itu, para pemain Roma seakan mendapatkan nyawa tambahan. Pasukan Romawi yang dulu sempat berjaya di Eropa, seakan kembali ke bumi dan mengirimkan kekuatannya ke seluruh badan pemain AS Roma.

Peluang berbagai peluang pun diciptakan, tapi skor 1-0 tetap bertahan hingga babak pertama usai.

Saat inilah magis es teh manis muncul. Isidorus Rio, rekan saya sejak kuliah berkelakar, “Lek Roma menang dan lolos ke semi-final, kowe gawekke aku mbek cah-cah liyane es teh manis. Wani ora? (Kalau Roma menang dan lolos ke semi-final, kamu buatkan kami semua es teh manis. Berani?)”

Kelakar yang saya tanggapi dengan serius. Kalau toh Roma kalah, saya tak rugi apa pun karena tak ada perjanjian yang terkait dengan uang. Kalau toh Roma menang, saya hanya perlu turun ke pantry dan membuatkan es teh manis.

Baca juga: Menikmati Warisan Monchi di AS Roma

Saya anggukkan kepala dengan tegas laiknya para politisi Partai Demokrat saat iklan “Katakan Tidak Pada Korupsi” beberapa tahun silam.

Memasuki pertengah babak kedua, lagi-lagi lewat umpan panjang, Dzeko mendapatkan ruang. Pemain berkebangsaan Bosnia ini dijatuhkan oleh Pique di kotak penalti. Tanpa basa-basi, wasit menunjuk titik putih.

De Rossi yang ditunjuk sebagai eksekutor menjalankan tugasnya dengan tuntas. Bola diarahakan ke sisi kiri ter Stegen. Boom! 2-0.

Bayangan es teh manis mulai masuk dalam pikiran. Bayang-bayang lolos ke semi-final Liga Champions setelah sekian lama absen mulai merasuki otak.

Dari bangku penonton, saya melihat Francecso Totti dan Antonio Cassano duduk berdampingan. Keduanya tersenyum saat sang rekan dulu, De Rossi, mencetak gol. Bukan gol biasa, karena gol itu membuat jarak Roma dengan babak empat besar semakin dekat.

Baca juga: Totti dan De Rossi: Kisah Dua Pangeran yang Kehilangan Takhta

Bayangan es teh mulai memudar saat memasuki sepuluh menit akhir. Skor masih 2-0, tapi tak cukup membawa Roma lolos.

Hingga akhirnya tendangan sudut itu datang. Cengiz Under yang menjadi eksekutor mengirimkan bola ke tiang dekat. Kostas Manolas –si Dewa Yunani– menyundul bola yang membuat kiper Blaugrana tertipu. Ia bergerak ke kiri, namun bola justru bergerak sebaliknya.

Bola masuk ke gawang dengan disambut suka cita. Peter Drury, komentator ulung, mengeluarkan kalimat sakti yang sampai sekarang masih membekas dalam ingatan:

Roma have risen from their ruins! Manolas, the Greek God in Rome! The unthinkable unfolds before our eyes. This was not meant to happen, this could not happen… this is happening!

Sepenggal kalimat yang tak menunjukkan bahwa keajaiban itu nyata dan terjadi di Olimpico. Di Kota Abadi, Romantada terjadi.

Kita semua tahu akhirnya. Saya turun ke pantry dan membuatkan tiga gelas es teh manis untuk ketiga rekan kerja. Tiga gelas es teh manis yang menjadi saksi menetesnya air mata dari sosok berbadan tambun dan mengerikan seperti saya.