Cerita

Cerita dari GBK: Ibadah di Akhir Pekan

Jika sepak bola diibaratkan agama, maka akhir pekan adalah hari peribadatannya. Sebelumnya harus lebih dulu disepakati, untuk dapat diakui menjadi agama, suatu kepercayaan tidak selamanya harus memiliki Tuhan.

Yang diperlukan hanyalah adanya tokoh yang dikultuskan, ajaran yang diyakini, umat yang mempercayai, dan ritual peribadatan. Oleh karenanya sepak bola sudahlah cukup diakui sebagai agama.

Untuk tokoh yang dikultuskan, ada pemain dan orang-orang yang terlibat dalam sepak bola lengkap dengan trofi, gelar, dan penghargaan sebagai mukjizat yang melengkapi. Kemudian untuk ajaran yang diyakini, sepak bola telah memiliki aturan-aturan mengatur baik itu tentang berjalannya sepak bola, bahkan sampai hal-hal yang menyertainya.

Untuk umat dan ritual peribadatan tidak perlu diragukan lagi. Tengok saja peribadatan di akhir pekan. Sangat jarang kastil bernama stadion sepi pengunjung.

Baca juga: Tribe Rating: Indonesia vs Vanuatu

Bahkan saat sebagian umat tidak dapat hadir langsung, mereka berusaha memenuhi tempat-tempat lain untuk berkumpul bersama, atau mereka akan berdiam di depan layar kaca. Jelas ini menjadi cerminan ketaatan yang luar biasa.

Seperti yang terjadi Sabtu lalu (15/6) di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, ketika timnas Indonesia menghadapi Vanuatu. Sekitar 8.000 umat datang dari segala penjuru. Meski hanya sekitar 10 persen dari total kapasitas stadion, ibadah tetap berjalan hikmat. Sejak awal doa-doa telah dipanjatkan. Dari mulai puja-puji, janji suci, hingga janji menemani sampai mati.

Dari balik tembok kaca, mereka menghadap altar hijau. Peribadatan dimulai ketika tokoh-tokoh yang mereka kultuskan memasuki altar suci. 22 tokoh yang masing-masing mereka puja siap disembah. Ibadah dimulai dengan doa dan nyanyian suci untuk negeri ini.

Belum selesai nyanyian pertama, tribun telah pecah. Doa mereka dikabulkan lebih dini. Setelahnya doa-doa makin kencang dirapalkan. Nama-nama pujaan diteriakkan. Puja-puji dikumandangkan. Semua menembus langit gelap di atas kastil berbentuk lingkaran sempurna.

Baca juga: Sepak Bola Wanita Bukan Tentang Wanitanya

Tribun benar-benar menjadi tempat peribadatan utama umat sepak bola. Suka-cita hingga air mata sering kali tercurah disana. Bahkan tidak jarang tribun menjadi pelampiasan beban hidup yang mengekang di luar sepak bola.

Tidak jarang pula dengan hikmahnya ibadah membuat para umat kehilangan sadarnya. Ini yang nampaknya menjadi hubungan paling sakral dalam ibadah. Tidak jarang mereka kehilangan kontrol atas diri masing-masing. Tidak jarang, umpatan hingga tingkah-tingkah diluar batas keluar begitu saja.

Itulah juga nampaknya yang menjadi fungsi dinding kaca pembatas tribun dengan altar suci.

Sama halnya seperti yang terjadi di agama lain, di agama sepak bola juga terdapat penafsiran dan ajaran yang sering kali berbeda, yang membuat para penganutnya tak jarang memiliki aliran atau kelompok-kelompok di dalamnya.

Beda aliran, beda kelompok, acap kali membuat ritual ibadah mereka juga sedikit berbeda. Ada yang beribadah dengan berapi-api, namun juga ada yang dengan khusuk berdiam diri. Ada yang hingga rela mengorbankan darah hingga nyawa, ada yang hanya beribadah sewajarnya.

Baca juga: Rasisme, Noda Pekat di Sepak Bola

Semua tergantung dari fanatisme semata. Ada yang memilih menatap altar dari utara, ada juga yang memilih dari arah sebaliknya. Semua hanya berbeda dalam pandangan saja. Yang pasti, ketaatan pada agama tetap sama.

Tapi semua hanya pengibaratan saja. Sesungguhnya kami bukan pemuja tokoh sepak bola atau gawang berbentuk persegi panjang. Kami masihlah makhluk-makhluk pemuja Tuhan.