Tottenham Hotspur berhasil melaju ke final Liga Champions Eropa musim ini untuk pertama kalinya dalam sejarah klub. Satu pertandingan lagi, jika menang menghadapi Liverpool di Madrid, jelas akan mengakhiri status nirgelar mereka. Kini trofi Liga Champions tak ubahnya anti-tesis segala ketidakmapanan Tottenham selama ini.
The Lilywhites dianggap sebagai tim yang tak punya DNA Eropa, tak layak berlaga di Benua Biru kata sebagian orang (atau lebih tepatnya kata para fans dari sisi kota London lainnya). Spurs dengan aneh bin ajaibnya mampu mendobrak kemapanan big four Liga Primer Inggris dan melangkah ke babak grup Liga Champions untuk pertama kalinya pada musim 2010/2011.
Melewati adangan Werder Bremen dan FC Twente, Tottenham ditemani Inter Milan melaju ke fase knock-out dari Grup A. Lebih spesial lagi karena mereka mampu menjadi juara grup dengan mengoleksi 11 poin di musim perdananya di Liga Champions Eropa, meski langkahnya harus terhenti di babak perempat-final oleh Real Madrid.
Sempat terlempar ke Liga Europa, Spurs yang ditangani Mauricio Pochettino sejak musim 2014/2015 pada tiga musim terakhir selalu lolos otomatis ke babak grup Liga Champions. Perjalanan fantastis Harry Kane dan kawan-kawan jelas tergambar di musim ini kala mereka mampu melangkah ke partai puncak.
Mengikuti kompetisi Eropa sendiri saja sejatinya menjadi anti-tesis segala ketidakmapanan Tottenham yang selalu dicap tim kuda hitam dalam satu dekade terakhir di Liga Inggris. The Lilywhites jelas kalah tenar dari Arsenal dan Chelsea yang lebih dipuja di London.
Lebih unik lagi para pendukung The Gunners bahkan punya hari spesial yang pasti akan dibenci para Yid Army, sapaan untuk fans Tottenham yang sebenarnya lekat dengan komunitas masyarakat Yahudi di kota London, yakni Saint Totteringham Day.
Pengertian harafiah Saint Totteringham Day adalah hari ketika para pendukung Arsenal merayakan fakta bahwa Arsenal selalu finis di atas Tottenham di liga domestik, terlebih jika marjin angka Meriam London tak lagi mampu dikejar oleh Tottenham.
Namun sayangnya hal itu lama tak terjadi karena Arsenal saban musim justru selalu mengakhiri musim berada di bawah bayang-bayang sang tetangga. Terakhir kali Arsenal finis di atas Tottenham adalah saat Leicester City juara liga di musim 2015/2016, sedang keduanya bertengger sebagai runner-up dan peringkat ketiga liga.
Sisanya hingga musim ini Arsenal selalu gagal merayakan Saint Totteringham Day yang perlahan berubah menjadi Saint Hotspur Day, perayaan khusus yang dirayakan tiap 14 April untuk mengenang kemenangan dramatis Spurs atas Arsenal di semi-final Piala FA 1991.
Jika Liverpool bisa, kenapa Tottenham tidak?
Kembali bertemu Inter di babak grup Liga Champions 2018/2019, Tottenham tak disangka-sangka mampu menemani Barcelona lolos dari babak grup yang juga diisi jawara Eredivisie, PSV Eindhoven. Borussia Dortmund, dan Manchester City, mampu dikangkangi dengan susah payah di dua fase gugur awal sebelum melaju ke semi-final.
Di babak semi-final Tottenham bertemu wakil Belanda lainnya, Ajax Amsterdam, yang baru saja mencuri perhatian khalayak dengan menumbangkan dua klub besar di fase gugur sebelumnya, Real Madrid dan Juventus.
Sontak Matthijs de Ligt dan kolega jadi pujaan baru, diunggulkan banyak petaruh bahkan fans karbit de Godenzonen bermunculan.
“Johan Cruyff Final” kata sebagian orang, final ideal Ajax Amsterdam kontra FC Barcelona, dua klub yang pernah dibela si penyihir lapangan hijau asal Belanda itu. Entah siapapun yang juara, Cruyff tentu akan tersenyum lepas di surga.
Baca juga: Menyaksikan Langsung Pesta Juara Ajax
Namun sayang nampaknya ramalan tersebut tak terwujud, pertama karena “calon lawan” Ajax justru takluk di Anfield. Liverpool yang pincang tanpa Mohammed Salah dan Roberto Firmino justru menang 4-0 dengan double brace yang dicetak Georginio Wijnaldum dan penyerang kelas dua asal Belgia, Divock Origi.
Kemenangan The Reds setidaknya memantik asa di dada para penggawa Tottenham untuk melakukan skenario serupa.
“Jika mereka (Liverpool) bisa, kenapa kita (Tottenham) tidak?,” mungkin begitu kata mereka sehari kemudian ketika menginjakkan kaki di atas rumput Johan Cruyff Arena Kamis (9/5) dini hari.
Namun alih-alih mengejutkan publik Amsterdam, dua gol Ajax di babak pertama seakan meruntuhkan moral si Ayam Jago. Anak-anak dewa kini memimpin tiga gol dan sedang mempersiapkan pesta di rumah sendiri.
Siapa sangka, takdir berkata lain. Hat-trick pemain sayap asal Brasil, Lucas Moura, mampu mengantarkan Tottenham melaju ke partai final dengan agresivitas gol tandang. Perasaan campur aduk jelas berkecamuk di dada para pemain. Erik Lamela, bahkan mengatakan perasaan ini seperti menaiki roller coaster.
Satu lagi anti-tesis segala ketidakmapanan Tottenham berhasil dicapai musim ini: final Liga Champions. Atau bahkan sebenarnya kita harus pelan-pelan membuang anggapan bahwa Spurs tidak layak disejajarkan dengan klub besar Inggris lainnya. Bahkan sekalipun Manchester City berhasil merayakan gelar back to back, mereka tak mampu melakukan hal yang sama di Benua Biru.
Satu hal yang mungkin bisa jadi pelecut semangat Harry Kane dan kawan-kawan adalah fakta bahwa sepanjang sejarah berdirinya klub, mereka pernah menjadi yang terbaik di antara jawara Eropa lainnya kala memenangkan Piala Winners di tahun 1963.
Di final yang digelar di stadion De Kuip, Rotterdam itu Danny Blanchflower dan kawan-kawan mampu menumbangkan jawara Liga Spanyol, Atletico Madrid, dengan skor telak 5-1.
Menengok ke belakang, Spurs kini memiliki segala aspek untuk menjadi klub besar di Inggris, mereka tak perlu khawatir dicap sebagai tim yang tak layak berlaga di kompetisi antarklub Eropa. Stadion baru sudah tersedia, materi tim kelas wahid yang diarsiteki pelatih jenius pun mereka punya.
Mungkin awal Juni nanti, jika saja The Lilywhites mampu mengangkat ‘Si Kuping Besar’ segalanya akan berubah. Derajat mereka terangkat, segala mata akan memandang iri pada mereka. Dan ya, trofi Liga Champions adalah anti-tesis segala ketidakmapanan Tottenham Hotspur selama ini. COYS!