Klub raksasa asal Yugoslavia, Red Star Belgrade, secara mengejutkan mampu tampil sebagai juara UEFA European Cup (kini Liga Champions Eropa) musim 1990/1991. Namun sebelum melangkah ke final, Stevan Stojanović dan kawan-kawan melewati satu malam kelam di Dresden, kota ketiga terbesar di Jerman Timur.
Kisah tersebut terjadi tepat hari ini, 20 Maret, 28 tahun lalu. Kala itu anak asuh Ljubomir “Ljupko” Petrović datang ke Dresden, sekitar 194 kilometer dari ibu kota Jerman Timur, Berlin Timur untuk menghadapi tuan rumah Dynamo Dresden di laga leg kedua perempat-final UEFA European Cup 1990-1991.
Tuan rumah sendiri dalam tekanan berat, pasalnya Red Star Belgrade menang dengan skor meyakinkan 3-0 di leg pertama yang diadakan dua minggu sebelumnya. Butuh keajaiban di Rudolf-Harbig-Stadion, markas Dynamo Dresden, untuk bisa membalikkan skor dan melaju ke semi-final.
Baca juga: Lima Klub Kejutan di Liga Champions Eropa
Namun nyatanya harapan itu membubung tinggi kala wasit Emilio Soriano Aladrén asal Spanyol memberikan penalti kepada tuan rumah tiga menit selepas sepak-mula usai bek Red Star, Refik Šabanadžović, tertangkap mata melakukan handball di kotak terlarang.
Torsten Gütschow yang ditunjuk menjadi algojo pun sukses untuk membawa tuan rumah unggul cepat untuk sementara waktu. Di hadapan kurang lebih 15.000 penonton yang memadati stadion, anak asuh Reinhard Häfner nampak percaya diri. Thomas Köhler pun mampu menjaga gawangnya tetap nirbobol hingga turun minum.
Sayang keunggulan tuan rumah tak bertahan selepas jeda, euforia pendukung tuan rumah berubah menjadi malam kelam di Dresden, tak hanya bagi Mario Kern dan kolega tetapi juga bagi sang tamu yang di masa kini mewakili panji Serbia di level internasional.
Petaka bagi tuan rumah dimulai saat Dejan Savićević menciptakan gol penyama kedudukan di partai tersebut. Gol legenda AC Milan yang kini menjabat sebagai ketua federasi sepak bola Montenegro itu benar-benar meruntuhkan semangat Dynamo. Bukan sekadar menjauhkan agregat tetapi karena tercipta lewat proses yang indah.
Savićević berhasil menembus pertahanan Dynamo dari sisi kiri, masuk ke sepertiga akhir dan berhasil melewati kawalan empat pemain belakang Dynamo sebelum menembak bola dengan keras ke arah gawang Köhler di menit ke-51. Namun gol kedua di pertandingan tersebutlah yang merubah sunyi di tribun penonton tuan rumah menjadi luapan emosi.
Dua puluh menit kemudian Darko Pančev berhasil membalikkan keadaan dan membawa tim tamu unggul. Menerima umpan silang dari sisi kanan, striker yang di akhir musim menjadi top skor klub di semua ajang dengan total 45 gol ini dengan dingin menaruh bola diantara kedua kaki Köhler dengan tendangan mendatar.
Gol Pančev disambut sorak-sorai rekan setim dan beberapa suporter tamu yang datang jauh dari Belgrade dan juga tembakan kembang api dan luapan emosi dari pendukung tuan rumah. Petaka datang di menit ke-78 saat laga harus bubar lebih awal dari waktu yang ditentukan.
Peristiwa malam kelam di Dresden dimulai saat Red Star Belgrade mendapat tendangan pojok karena beberapa menit usai gol Pančev anak asuh Ljupko Petrović tak berhenti menyerang. Sayang lemparan beberapa benda ke arah pemain Red Star dan hakim garis yang dilakukan suporter tuan rumah membuat laga harus dihentikan.
Emilio yang sempat berkoordinasi dengan pengawas pertandingan dan kedua pelatih pada akhirnya memilih tak melanjutkan laga. Jika Tribes ingin melihat jelas kejadian tersebut pada video yang ditautkan di bawah kejadian tersebut kalian dapat melewatinya hingga hitungan 1:13:55 dan seterusnya.
https://www.youtube.com/watch?v=Z9xn5sn2HAM
Di akhir pertandingan Dynamo dinyatakan kalah walk-out dengan skor 3-0 dan dilarang mengikuti kompetisi Eropa di musim berikutnya. Padahal di musim 1991/1992 adalah musim perdana Bundesliga pasca-unifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. Prestasi Dynamo pun anjlok usai ditinggal Häfner, Köhler dan sejumlah pemain kunci.
Sementara usai melewati satu malam kelam di Dresden generasi emas Red Star Belgrade, atau kini yang populer menggunakan nama lokal Crvena Zvezda di pentas Eropa, berhasil merengkuh trofi ‘Si Kuping Besar’ di akhir musim. Uniknya di semi-final mereka kembali harus bertemu wakil Jerman, FC Bayern München.
Sang bintang merah secara mengejutkan mampu mencuri kemenangan di leg pertama di Olympiastadion Munich kandang lawas Die Rotten sebelum Allianz Arena dengan skor tipis 1-2 dengan Pančev dan Savićević kembali sebagai aktor utama kemenangan.
Kala bertandang ke markas Red Star di leg kedua Bayern hampir saja memaksa perpanjang waktu jika saja keunggulan dengan skor yang sama berhasil mereka raih di Belgrade. Sayang Klaus Augenthaler yang membuka gol Bayern di menit ke-61 menjelma jadi from hero to zero usai mencetak gol bunuh diri di injury time dan memaksa laga berakhir imbang 2-2 seraya mengantarkan Red Star melangkah ke final untuk bertemu Marseilles di Bari.
Baca juga: Cahaya Si Bintang Merah di Langit Eropa
Capaian langka Dynamo Dresden dan Red Star Belgrade di panggung Eropa tak kunjung terulang sampai sekarang. Ribuan purnama yang dilalui, malam-malam semakin kelam bagi Dynamo yang kini duduk di posisi ke-14 di Bundesliga 2. Posisi yang sama dengan finisnya mereka di kasta tertinggi pada musim perdana 1991/1992 silam.
Sementara Red Star yang dulu dihuni dan melahirkan banyak bintang Eropa Timur sekelas Siniša Mihajlović, Dejan Stanković, Nikola Žigić hingga Marko Grujić dan Luka Jović juga ikut tenggelam bersamaan dengan pecahnya Yugoslavia menjadi beberapa negara.
Usai melewati malam kelam di Dresden 28 tahun lalu, prestasi terbaik mereka hanya sampai di babak grup Liga Champions saja. Terbaru di musim ini meski berhasil melumat Liverpool 2-0 di kandang, mereka kalah bersaing dengan Paris Saint-Germain dan Napoli dan terjebak di dasar klasemen babak grup Liga Champions 2018/2019.
Perlukah sang bintang merah melewati malam-malam kelam selanjutnya agar dapat bersinar lebih terang di langit Eropa?