Membahas sebuah partai final di kompetisi apapun, para penikmat sepak bola pasti mengharapkan laga yang menarik untuk disimak. Paling tidak, ada gol yang tercipta di laga tersebut. Namun sayangnya, tak semua laga bisa memenuhi ekspektasi para penonton.
Di sebuah laga final sekelas Liga Champions, pertemuan AC Milan dan Juventus di Stadion Old Trafford pada musim 2002/2003 silam dianggap sebagai salah satu partai final paling menjemukan sepanjang sejarah. Kedua kubu bermain amat hati-hati dan seolah tak ingin mencari gol. Partai itu sendiri harus disudahi dengan adu penalti yang lantas dimenangi I Rossoneri dengan skor 3-2.
Tapi bila ditelusuri lebih jauh, terdapat satu partai final Liga Champions (sebelum tahun 1992/1993 dikenal dengan Piala Champions) yang level membosankannya di atas duel Juventus dan Milan tersebut. Laga yang saya maksud adalah perjumpaan Crvena Zvezda dari Yugoslavia (kini Serbia) dengan Olympique Marseille asal Prancis di final Piala Champions musim 1990/1991.
Bertanding di hadapan 51 ribu penonton yang memenuhi Stadion San Nicola di kota Bari, baik Crvena Zvezda ataupun Marseille seakan-akan tak ingin menghujam jala lawan dengan gol. Laga yang dilangsungkan pada 29 Mei 1991 itu pun sama sekali tidak terlihat sebagai duel pamungkas guna memperebutkan trofi paling bergengsi untuk klub-klub sepak bola di benua biru.
Baca juga: Lima Klub Kejutan di Liga Champions Eropa
Trio Jean-Pierre Papin, Abedi Pele dan Chris Waddle yang menjadi andalan Raymond Goethals di sektor depan Marseille begitu kesulitan membongkar tembok yang dibangun oleh Miodrag Belodedici dan kolega di depan gawang tim asuhan Ljupko Petkovic. Sebaliknya, ketika menguasai bola, penggawa Crvena Zvezda juga enggan melancarkan serangan frontal ke gawang L’OM.
Alhasil sampai waktu normal berakhir plus babak perpanjangan waktu dua kali lima belas menit usai, tetap tak ada satu biji gol pun yang tercipta. Keadaan tersebut memaksa pertandingan berlanjut ke fase adu penalti. Sial buat Marseille, di babak krusial ini salah seorang pemain mereka, Manuel Amoros, justru gagal mengeksekusi penalti dengan baik. Sementara penendang Crvena Zvezda di sisi seberang berhasil menunaikan tugasnya dengan apik.
Situasi tersebut mau tak mau bikin upaya Marseille untuk jadi klub pertama dari Prancis yang memenangi titel Piala Champions sirna (baru tercapai di musim 1992/1993). Sebaliknya, bagi Crvena Zvezda, mereka berhasil mematri nama mereka sebagai kampiun asal Yugoslavia satu-satunya hingga detik ini. Sebuah malam historis di mana cahaya terang Si Bintang Merah menyinari seluruh benua biru.
Meski didapat dengan cara yang kurang menarik, tapi pencapaian klub yang namanya bermakna Bintang Merah dalam bahasa Indonesia itu terbilang cukup fenomenal. Hal ini disebabkan oleh isi skuat Crvena Zvezda yang dipenuhi pemain-pemain belia macam Vladimir Jugovic, Sinisa Mihajlovic, Robert Prosinecki dan Dejan Savicevic (yang kemudian diboyong oleh klub-klub tenar Eropa).
Dalam sebuah wawancara dengan wartawan sebuah majalah olahraga asal Prancis pada 2011 yang lalu, Mihajlovic menyingkap tabir rahasia permainan yang ditampilkan oleh Crvena Zvezda.
“Kenangan laga final itu masih tergambar jelas di kepalaku. Kurasa itu adalah partai final Piala Champions paling membosankan sepanjang masa. Beberapa jam sebelum laga, pelatih Petkovic mengajak kami menyaksikan beberapa video pertandingan Marseille. Dirinya lantas berpesan kepada kami untuk bertahan total di laga nanti karena menyerang mereka justru akan membuat pertahanan kami menganga”, terang sosok yang akrab disapa Miha tersebut.
“Jadi, kami berada 120 menit di atas lapangan tanpa keinginan untuk menyentuh bola sama sekali. Laga berlanjut ke babak adu penalti dan (beruntungnya) Amoros gagal melaksanakan kewajibannya dengan baik. Jika kami melakukan pendekatan yang berbeda (bermain menyerang) di partai ini, bisa jadi kami akan kalah. Bukan karena Marseille lebih baik ketimbang kami, namun pemain mereka sudah terbiasa bermain di laga-laga krusial seperti ini. Mental mereka jauh lebih kuat dibanding kami yang diisi bocah-bocah berusia 20 tahunan”.
Hanya figur-figur yang dinilai punya pengaruh luar biasa dalam sejarah Crvena Zvezda saja yang bisa memperoleh penghargaan khusus ini.
Meski tak lagi garang kala merumput di Eropa namun sampai saat ini Crvena Zvezda tetaplah sebuah kesebelasan papan atas dan langganan juara di sepak bola Serbia.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional