Akhir musim 2018 lalu publik diramaikan dengan kabar belum lunasnya gaji pemain dari beberapa klub. Ada Sriwijaya FC yang kabarnya masih menunggak gaji pemain selama 7 bulan dan uang muka kontrak beberapa pemain. Ada Persegres Gresik yang sejak 2017 masih menunggak 2 bulan gaji pemainnya dan terulang di musim 2018. Lalu ada Persiba Bantul yang kabarnya menunggak gaji para pemain dan pelatihnya selama 4 bulan.
Selama ini, kebanyakan pemain hanya diam jika ditanya secara langsung tentang kabar tunggakan gaji mereka. Tapi mereka malah ‘rasan-rasan’ di belakang bilik media sosial. Pemain seperti tak berani melawan, hanya terkurung dalam nikmatnya perhatian atau rasa kasihan masyarakat yang membaca status keluhan mereka. Kalaupun ada yang berani membuka borok klubnya sendiri, biasanya sudah dalam kondisi terdesak dan jenuh.
Banyak pemain mengungkapkan bahwa mereka tidak berani bersuara karena merasa menghormati kontrak dan untuk menjaga etika terhadap klub. Namun, ada pula yang mengaku jika bersuara, maka akan ada hal-hal lain yang mungkin bisa terjadi. Misalnya, hak mereka yang tertunggak akan dihanguskan alias tidak dibayar sepeser pun. Pemain digertak begini ya jelas langsung mengkerut.
Baca juga: Kandasnya Bahtera Sriwijaya FC
Selain itu, anggapan bahwa klub-klub lain juga memiliki masalah yang sama membuat mereka berpikir ulang untuk melaporkan permasalahan ini. Bagi mereka, permasalahan klub itu sama, yakni ketergantungan pada dana subsidi karena sebenarnya belum memiliki finansial yang kokoh.
Ancaman blacklist juga menghantui para pemain. Bagi mereka, risiko terbesar adalah setelah membuka kebobrokan klub lamanya, maka klub lain akan berpikir ulang untuk mau mengontrak mereka. Karena mungkin saja pemain-pemain ini besok juga dapat membuka penyakit klubnya yang baru.
Jika ditanya apa yang sudah pemain lakukan untuk mengatasi masalah ini, kebanyakan mereka akan menjawab sudah berkomunikasi dengan manajemen tapi tak ada respon. Ditelepon tidak diangkat, di-chat tidak dibalas, atau bahkan ketika bertemu langsung buru-buru pergi.
Padahal, pemain sendiri mengaku bisa menerima alasan manajemen jika memang mereka sudah berkomunikasi dengan baik. Jika bertepuk sebelah tangan begini kan anggapannya pemain tidak dianggap bagian dari klub.
Lalu apa yang bisa dilakukan pemain?
Apabila pemain menemui jalan buntu berkomunikasi dengan manajemen, mereka dapat menghubungi APPI. APPI sebagai wadah proteksi dan edukasi pemain juga memberikan bantuan pendampingan hukum. Biasanya mereka akan meminta salinan kontrak pemain agar dapat lebih mendalami sejauh mana kasus tersebut dapat diselesaikan.
Penting agar pemain mau lapor pada pihak APPI dulu, tidak ujug-ujug APPI yang menghubungi dan menegur klub tanpa izin pemain yang bersangkutan. Jadi, kalau dikatakan lelet karena harus menunggu laporan dari pemain, rasanya tidak. Karena apabila APPI langsung memproses tanpa persetujuan pemain, maka mereka bisa balik dipermasalahkan.
Cara kedua, yakni pemain dapat melaporkan kasus tunggakan gaji pada pihak kepolisian. Nantinya oleh pihak kepolisian, manajemen klub akan dipanggil untuk dimintai keterangan terlebih dahulu lalu dimediasi. Jika tetap tidak menemukan kesepakatan, maka laporan dapat diproses dengan mengacu pada Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 95 ayat 2:
“Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.”
Sekali lagi, pemain harus memiliki salinan kontrak kerjanya sendiri. Karena kontrak kerja merupakan perjanjian hubungan kerja sekaligus menjadi alat bukti apabila terjadi perselisihan hubungan kerja. Tapi bagaimana dengan pemain yang ternyata tidak punya kontrak kerja?
Dalam Pasal 57 UU No. 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu”.
Artinya, mereka yang tidak memiliki kontrak tertulis ataupun secara lisan dinyatakan sebagai pekerja seumur hidup atau otomatis mengikuti perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hal ini juga tertuang jelas dalam Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi RI No. KEP.100/MEN/VI/2004 Pasal 15.
Penyelesaian perselisihan hubungan kerja sudah dijelaskan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada Bab Kedua. Pihak yang berselisih (klub dan pemain) diberi kesempatan untuk melakukan musyawarah terlebih dahulu. Ketika musyawarah tak juga mendapatkan hasil, maka penyelesaian didaftarkan pada Disnaker setempat.
Bila mediasi yang dilakukan Disnaker berhasil, maka hasil kesepakatan dituangkan dalam sebuah perjanjian bersama. Tapi jika masih tidak berhasil, maka Disnaker akan memberikan anjuran tertulis. Dan bila anjuran tersebut masih ditolak, maka pemain dapat mengajukan gugatan pada Pengadilan Hubungan Industrial.
Contoh klub yang kasusnya sedang diproses APPI adalah Persegres Gresik. Kasus yang ditangani ialah tunggakan gaji pemain musim 2017 yang tersisa 2 bulan. Kabarnya, setelah mengirim surat beberapa kali dan tidak digubris klub, APPI dan pemain pun sepakat melaporkan ke Disnaker setempat. Informasi terbaru menyebutkan Disnaker sedang mengupayakan mediasi kedua setelah sebelumnya manajemen tidak hadir ketika dipanggil.
Sebelumnya penulis mendapatkan informasi pada tahun 2015 dari salah seorang manajemen PBR yang mengaku gaji beberapa pemainnya di musim 2012/2013 tertunggak dan sudah menjalani proses hukum. Ia mengungkapkan bahwa proses hukum sudah memasuki sidang pertama di pengadilan. Jadi kasus-kasus serupa bukan mustahil untuk diselesaikan.
Pemain hanya perlu benar-benar memahami kontraknya masing-masing, apa kewajibannya dan apa yang menjadi haknya. Peran APPI, suporter, dan masyarakat juga diperlukan untuk membuat perubahan mental pada pemain agar tidak menjadi sosok yang cemen. Suporter pun dapat mendesak manajemen klub agar segera melunasi tunggakan gaji pemainnya, demi membentuk klub yang benar-benar professional.
Jika tentang legalitas klub harus diproses oleh Kemenkumham, lalu kenapa tak yakin bahwa perselisihan pemain dan klub tak bisa diselesaikan melalui jalur hukum juga? Wani ora?