Anda pernah mendaki gunung? Pernah merasa sudah menatap puncak? Lelah-lelah berjalan hingga puncak yang anda lihat lalu ketika menatap puncak anda menyadari bahwa puncak yang anda capai masih memiliki puncak yang lebih tinggi dan lebih terjal untuk didaki? Mungkin inilah yang saya rasakan sebagai pencinta sepak bola Indonesia.
Beberapa hari lalu sebuah acara talk show di salah satu televisi Indonesia telah mengungkap sedikit noda di sepak bola Indonesia. Pengaturan skor yang selama ini selalu menjadi bayang-bayang yang tak pernah tertangkap perlahan mulai terungkap. Satuan petugas untuk mengungkap tiap kasus pengaturan skor mulai dibentuk kepolisian. Satu per satu pejabat tinggi PSSI mulai masuk daftar hitam satgas, atau paling tidak mulai melepas jabatan tingginya.
Ketua PSSI melepas jabatannya, pengganti sementara dari ketua pun masuk daftar tersangka Satgas. Kongres Luar Biasa kemudian mulai direncanakan untuk memilih nahkoda baru PSSI. Seluruh pencinta sepak bola juga mulai menyambut baik perkembangan sepak bola Indonesia ini. Namun apakah ini memang puncaknya?
Kita semua tahu awal mula arus mula terungkapnya noda hitam PSSI ini berawal dari kasus pengaturan skor. Namun sadarkah kita, bahwa awal mula dari pengaturan skor adalah dari kita sebagai suporter sepak bola. Sadarkah kita, kalau kita terlalu banyak menuntut kemenangan dari tim kesayangan kita.
Apakah hal itu salah? Tentu tidak. Setiap suporter tentu menginginkan tim kebanggaannya menang. Namun apakah setiap suporter juga siap menerima kekalahan?
Mari kita lihat dari tim kebanggaan saya sebagai penulis, yaitu Arema FC. Sebagai putra daerah kota Malang, tentu saya sama dengan suporter Arema yang lain, selalu menginginkan Arema menang. Namun ketika Arema menunjukkan performa buruk, apakah suporter siap menerima dengan lapang dada? Tidak!
Mari menengok ke belakang ketika Arema menjamu Persib Bandung di stadion Kanjuruhan Malang. Pertandingan seru dengan hasil akhir berbagi angka 2-2 ini berakhir mengecewakan setelah pihak Aremania melakukan kerusuhan, mulai dari pelemparan botol hingga memasuki area lapangan. Bahkan pelatih Persib saat itu, Mario Gomez, harus meninggalkan stadion dengan luka di kepala.
Saya hanya menyebut tim kebanggaan saya agar kita berkaca, bahwa elemen tim kebanggaan kita pun bukan tim suci yang tidak pernah melakukan kesalahan. Banyak suporter dari tim lain yang juga memiliki dosa yang sama, mulai dari Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, Persib Bandung, hingga PSMS Medan.
Kita semua memiliki masalah yang sama. Tidak ada yang siap menerima kekalahan. Lantas ketika ditelisik, mengapa kita sulit menerima kekalahan tim kebanggaan kita?
Jika kita ingin mengetahui mengapa kita tidak bisa menerima kekalahan, tentu kita harus melihat sikap kita saat tim meraih kemenangan. Bagaimana sikap kita saat meraih kemenangan? Tentu paling mudah bagi saya membagi studi kasus dari tim kebanggaan saya lagi, Arema FC.
Kembali menengok ke Liga 1 musim sebelumnya, ketika Arema kedapatan menjamu sang rival, Persebaya Surabaya. Pertandingan sarat gengsi tersebut berhasil dimenangkan Arema dengan skor tipis 1-0. Setelah kemenangan tersebut, apa yang terjadi?
Semua akun media sosial Aremania mulai dari Instagram, twitter, hingga Facebook ramai-ramai menyerang Bonekmania, suporter Persebaya. Mulai dari ledekan biasa hingga umpatan kasar yang harusnya bisa masuk kasus pidana pun terlontar.
Bagaimana dengan Bonek? Mereka yang tak terima pun tentu saja membalas dengan balasan yang terkadang lebih kasar lagi. Perdebatan dan umpatan di media sosial pun akan merambah ke dunia nyata. Ketika kedua suporter tim bertemu, selalu ada pertikaian yang terjadi.
Parahnya, hal ini tidak hanya terjadi di antara kedua tim saja. Banyak tim lain yang memiliki suporter bermasalah. Mulai dari Jakarta, Bandung, Sleman, Bali, hingga Palembang, semua tim dengan basis suporter besar ini memiliki masalah yang sama.
Tanpa mengecilkan masalah pengaturan skor, kita sebagai suporter sesungguhnya telah masuk ke dalam lingkaran setan tanpa ujung yang menjadi salah satu faktor penyebab pengaturan skor. Menang kita mencaci lawan, kalah kita menghujat tim kebanggaan.
Hingga akhirnya untuk menghindari cacian lawan, kita akan menuntut bahkan hingga menghujat tim kebanggaan kita untuk menang. Tim kebanggaan yang ingin memenuhi harapan suporter pun akan melakukan segala cara, mulai dari berlatih keras hingga membayar wasit untuk memenangkan pertandingan.
Namun ketika membahas tentang sejumlah uang untuk memenangkan tim, apakah semua tim melakukan hal tak terpuji tersebut? Tentu tidak.
Sebuah unggahan dari Krishna Murti, Wakil Ketua Umum Satgas Anti Mafia Bola menyadarkan kita, ada sejumlah tim yang berani bermain dengan jujur. Mulai dari PSM Makassar, Persipura Jayapura, sampai Persib Bandung. Akan tetapi hal tersebut tidak menjamin wasit tidak akan berpihak.
Kembali ke lingkaran setan, suporter yang menginginkan kemenangan akan melakukan intimidasi terhadap wasit jika terjadi keputusan yang tidak menguntungkan timnya. Wasit yang mengutamakan keselamatan ketika menyadari hal tersebut tentu saja akan memberikan banyak keuntungan bagi tuan rumah agar dapat “pulang dengan selamat.”
Lingkaran setan inilah puncak masalah yang menurut saya jauh lebih tinggi daripada pengaturan skor pertandingan. Terungkapnya pengaturan skor ini mungkin membuka sedikit noda dalam tubuh PSSI. Tapi pengungkapan tersebut juga bisa memperkeruh lingkaran setan dalam diri kita sebagai suporter.
Baca juga: Kamu Suporter atau Penonton Sepak Bola?
Tim yang terindikasi pernah menggunakan jasa wasit mulai sekarang tidak akan pernah dipercaya oleh suporter tim lain lagi. Ketika menang akan dihujat dan dicurigai menggunakan jasa wasit, ketika kalah akan dicibir sudah pakai jasa wasit kok masih kalah. Suporter tim tersebut pasti akan membalas dengan membuka luka masa lalu tim rival ketika pertandingan tim rival mengalami banyak keanehan, dan lingkaran setan baru pun akan terbentuk.
Inilah puncak yang saya sebut pada paragraf awal sebagai puncak yang jauh lebih tinggi daripada pengaturan skor. Kita sebagai suporter yang menjadi masalah utama. Selama lingkaran setan tersebut masih mendarah daging dalam diri kita sebagai suporter, seberapa banyak pun kasus yang terungkap kasus baru akan selalu lahir.
Pengurus PSSI yang lalai menunaikan tugas dan melakukan pengaturan skor dapat diganti sebanyak apapun. Namun pemikiran suporter sepak bola tidak dapat diubah dengan mudah. Pertanyaannya sekarang, masih dapatkah berubah?
Jawabannya jelas, kita masih dapat berubah. Namun kapan? Itulah yang harus kita cari. Kapan kita mulai berusaha keluar dari lingkaran setan ini?
Selama kita masih berkutat dalam lingkaran setan ini, maka selama itulah kita akan melihat masalah yang sama dalam sepak bola Indonesia yang kita cintai ini. Sebab bukan PSSI yang menjadi nyawa sepak bola Indonesia, melainkan kita sebagai suporter adalah nyawa sepak bola Indonesia itu sendiri.
Baca juga: Suporter adalah Nyawa, Bukan Pemburu Nyawa