Joko Driyono ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus perusakan alat bukti, usai apartemennya digeledah oleh Satgas Anti Mafia Bola, Kamis (14/2) lalu. Lantas bagaimana probabilitas Joko Driyono sebagai Ketua Umum PSSI usai penetapannya sebagai tersangka?
Andai status pria kelahiran Ngawi ini di kemudian hari naik sebagai terpidana dan akhirnya harus mendekam di hotel prodeo, akankah federasi yang kita sayangi kembali dipimpin oleh Ketua Umum non-aktif dari balik bui seperti era Nurdin Halid dahulu?
Seperti yang kita ketahui Joko Driyono baru beberapa saat ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum PSSI usai Edy Rahmayadi mundur sebagai Ketua Umum di kongres tahunan PSSI di Bali Januari lalu. Kini dirinya yang menjadi pucuk pimpinan federasi harus tertimpa nasib sial karena sebuah kasus.
Kasus yang menimpa pria yang akrab disapa Jokdri ini dijelaskan Ketua Komite Hukum PSSI, Gusti Randa, di situs resmi PSSI. “Bukan terkait pengaturan skor. Dugaan yang disangkakan yakni memasuki suatu tempat yang telah dipasang garis polisi (police line) oleh penguasan umum di Rasuna Office Park, Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu.”
Jokdri ditetapkan menjadi tersangka perusakan alat bukti pada Jumat (15/2) terkait aksi penggeledahan Satgas Anti Mafia Bola ke kantor PSSI di Rasuna Office Park. Salah satu temuan yang mengejutkan adalah pintu rahasia menuju apartemen Joko Driyono.
Baca juga: Reformasi PSSI dan Kriteria Ketua Umum Baru
Pengeledahan yang dilakukan di apartemen Jokdri didasari dari tiga laporan. Pertama dari laporan POLRI bernomor LP/6990/XII/2018/PMJ/Ditreskrimum, tanggal 19 Desember 2018 dan sisanya penetapan dari ketua PN Jaksel (Nomor 007/Pen.Gled/2019/PN.Jkt.Sel. dan 011/Pen.Sit/2019/PN.Jkt.Sel.).
Pencinta bola Indonesia pun semakin bertanya-tanya dengan integritas PSSI dan sikap kooperatif mereka dengan pihak kepolisian atas segala macam isu yang menimpa mereka akhir-akhirnya.
Ditetapkannya Jokdri sebagai tersangka mau tak mau membuat pos tertinggi di federasi kembali kosong. Per Senin (18/2) posisi tersebut akan diisi sementara oleh sosok Iwan Budianto. Lantas bagaimana jika nanti Jokdri kembali memimpin PSSI sebagai Ketua Umum dan bukan lagi sekadar Pelaksana Tugas Ketua Umum?
Baca juga: Bagaimana Alur Pemilihan Ketua Umum PSSI?
Soal syarat-syarat yang wajib dipenuhi jika seseorang ingin menjadi Ketua Umum PSSI tertuang dalam Statuta PSSI Pasal 34 ayat 4 yang berbunyi:
“Anggota Komite Eksekutif harus sudah berusia lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, mereka harus telah aktif di sepak bola sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan harus tidak pernah dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana serta berdomisili di wilayah Indonesia.”
Yang dimaksud dengan Anggota Komite Eksekutif adalah 15 orang yang menduduki pucuk pimpinan federasi yang terdiri dari seorang Ketua Umum, dua orang Wakil Ketua Umum, dan 12 anggota Komite Eksekutif tersebut.
Jokdri jelas bukan wajah baru di PSSI, kurang lebih 28 tahun ia sudah berada di tubuh federasi. Dirinya pun sudah pasti lolos jika benar-benar akan maju menjadi kandidat calon Ketua Umum PSSI. Hanya kalimat terakhir dalam statuta PSSI tersebut yang sedikit menghambat laju Jokdri menjadi “raja sepak bola Indonesia”.
Status Jokdri sendiri kini masih tersangka, setidaknya dia dapat bernafas lega jika diusulkan dalam Kongres Luar Biasa sebagai salah satu calon Ketua Umum sebelum statusnya naik menjadi terdakwa.
Berdasarkan pengertian Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 nomor 14 dalam UU. Nomor 8 Tahun 1981 “Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
Jika penyidikan telah selesai dan berkas perkara tersebut telah disidangkan di pengadilan, maka status orang tersebut berubah menjadi terdakwa. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan sesuai KUHAP Pasal 1 nomor 15 dalam UU. Nomor 8 Tahun 1981.
Hanya hingga sampai hakim mengetuk palu bahwa Jokdri bersalah atas suatu tindak pidana apapun, maka sosok yang menjadi salah satu pendiri PT. Jakarta Indonesia Hebat yang memiliki mayoritas saham Persija Jakarta ini tak dapat mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI.
Nostalgia kasus Nurdin Halid
Andai Jokdri masih ngeyel dan kekeuh untuk menjalankan tampuk kepemimpinan sebagai Ketua Umum PSSI, daripada mengeluarkan pernyataan nyeleneh ala Edy Rahmayadi yang mengatakan akan menjaga amanat rakyat dan tidak akan mundur, Jokdri bisa saja mengikuti langkah Ketum PSSI terdahulu, Nurdin Halid.
Nurdin yang menjadi pucuk pimpinan federasi pada tahun 2003–2011 berkali-kali tersangkut kasus korupsi. Tak sampai setahun sejak menduduki posisi tertinggi di federasi menggantikan Agum Gumelar yang habis masa jabatannya di 2003, pria asal Sulawesi Selatan ini harus ditahan oleh pihak kepolisian.
Salah satu kasusnya terjadi pada Juli 2004, ia diciduk aparat atas kasus korupsi pengadaan gula ilegal sebanyak 73.520 ton. Nurdin yang saat itu juga menjadi Kepala KDI (Koperasi Distribusi Indonesia) periode 2004–2009 harus mendekam di penjara selama dua tahun. Namun uniknya ia tetap bisa menjadi Ketum PSSI dari balik jeruji.
Ternyata kuncinya ada di dalam statuta PSSI yang disunting di masa kepemimpinannya. Singkat cerita Nurdin yang ingin kembali mencalonkan diri sebagai Ketum PSSI di 2011 merasa tak melanggar satupun statuta FIFA dan PSSI perihal syarat-syarat pemilihan Ketua Umum.
Pada saat itu perihal syarat-syarat menjadi Ketum, Waketum, dan Exco ditulis oleh FIFA dalam Pasal 35 ayat 4 yang berbunyi kurang lebih sama dengan yang tertulis di Statuta PSSI per 2018 yang dikutip di atas. Penekanannya tentu pada kalimat “They…, must not have been previously found guilty of a criminal offense….”
Namun dalam draf Statuta PSSI yang baru di era Nurdin Halid kata “have been previously” ternyata dihapus dan akhirnya syarat calon Ketum PSSI jadi tertulis “They…, must not found guilty of a criminal offense…” atau kurang lebih “Mereka…, harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal…”
Jurnalis Okezone Bola, Azwar Ferdian, yang menuliskan dengan gambling berita ini pada 31 Maret 2010 bahkan menyatakan bahwa ini adalah kartu truf yang digunakan Nurdin Halid untuk kembali berkuasa lagi. Selain itu Nurdin juga masih didukung banyak pihak sekalipun ia mendekam di penjara.
Yang jelas semoga saja peristiwa ini menjadi pelajaran bagi siapa saja yang ingin menduduki posisi tertinggi di federasi untuk jangan sampai mencederai azas fair play dan tunduk pada law of the games.
Sebuah cerminan nyata jika di dalam kehidupan sehari-hari seseorang tak dapat adil dan tunduk dalam aturan, bagaimana ia dapat menjadi pemain, pelatih, wasit atau pemimpin federasi yang selalui menjunjung azas fair play dan tunduk pada law of the games?