Suara Pembaca

Persikup Kulon Progo: Impian di Tengah Keterasingan Rumah Sendiri

Masyarakat kami mencintai dan mendukung kesebelasan-kesebelasan sepak bola dengan penuh cinta, namun sayangnya bukan kesebelasan kotanya tapi kesebelasan kota lain yang dipuja dengan sepenuh hati.

Budaya mencintai sepenuh hati sebuah klub sepak bola agaknya bukanlah tradisi yang mendarah daging atau mengakar kuat bagi sebagian masyarakat Indonesia. Buktinya sebagian masyarakat cenderung menjadi fans karbitan yang mencintai dan mendukung sebuah klub hanya karena prestasi dan status terkenal dan ketika sedang hits-hitsnya sebuah kesebelasan itu, bukan karena benar-benar mencintainya.

Bisa jadi, penyebab terjadinya fanatisme buta di negara kita tidak lain dan tak bukan karena hanya sekedar ikut-ikutan dalam mendukung klub sepak bola. Kalau dalam bahasa Jawa “ngalor melu ngalor, ngidul melu ngidul”.

Mungkin bisa kita sadari ketika klub yang diidolakan sedang terpuruk maka bisa dijamin mereka akan menghilang dan bahkan tak memuja-muja lagi. Lantas, apa bedanya fans seperti itu dan musim durian, saya rasa tidak ada bedanya. Ya, benar. Sama-sama musiman.

Tapi tak apa, toh saya juga tidak menyalahkan orang-orang seperti itu wong kita juga hanya fans layar kaca klub lokal maupun fans layar kaca klub luar, dan yang saya tidak suka adalah fanatisme buta mereka yang tidak bisa membedakan mana cinta mana fanatisme buta.

Baca juga: Kalau Karbitan Memangnya Kenapa?

Di Inggris, budaya mencintai klub-klub lokal sangat kental dan mendarah daging, bahkan sampai kondisi klub yang dicintainya terpuruk pun mereka masih mencintai dan tetap mendukung. Bisa dilihat bagaimana antusiasnya suporter dari berbagai kesebelasan klub divisi-divisi di bawah Liga Primer Inggris yang ketika bertanding melawan tim besar selalu memenuhi tribun, walaupun mereka tahu bahwa mereka akan dihajar telak tetapi tetap mendukung dengan sorak-sorai.

Sepertinya jika semangat mencintai klub sepenuh hati seperti itu tertular ke Indonesia, saya rasa aura sepak bola kita akan menjadi sedikit lebih baik. Paling tidak dalam mencintai sebuah klub tanpa embel-embel fanatisme buta. Sayangnya hal tersebut sulit terjadi di Indonesia, seperti apa yang terjadi di kota kecil saya, kabupaten Kulon Progo yang terletak dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Persikup sendiri adalah sebuah kesebelasan kecil di Kulon Progo. Jangankan dikatakan sempurna, dilabeli klub yang baik dalam berbagai aspek klub pun saya sedih mengatakannya. Bahkan untuk menemukan arsip sejarahnya saja sangat sulit sehingga sampai sekarang Persikup tidak pernah diketahui kapan berdirinya.

Persikup bukanlah satu-satunya klub sepak bola yang ada di Kulon Progo. Dulu, pernah ada sebuah klub yang bernama PSST (Persatuan Sepak Bola Sekitar Tugu) yang berdiri sekitar tahun 1956, namun sayangnya sampai sekarang sudah tidak lagi terdengar namanya.

Baca juga: Wajah Yogyakarta dalam Sepak Bola

Di Jogja khususnya Kulon Progo, sepak bola adalah sebuah kecintaan dan gaya hidup. Terbukti dari banyaknya SSB yang berdiri dan aktif, tapi sayangnya perkembangan klub kota dan memunculkan pemain hebat tidaklah signifikan bahkan terkesan mandek dan nihil. Jadi tak heran jika masyarakat Kulon Progo lebih mengenal dan mencintai klub DIY lainnya seperti PSS Sleman, PSIM Jogja, dan Persiba Bantul daripada klub daerahnya sendiri.

Jika melihat dari sejarah sepertinya Persikup dan PSS tahun berdirinya tidaklah terlampau jauh walaupun tidak ada arsip atau sejarah yang dapat ditelusuri. Namun sungguh sangat kentara perbedaan keduanya. PSS Sleman sudah meraih tangga juara menuju liga tertinggi, sedangkan Persikup masih jalan di tempat tidak ke mana-mana bahkan terkesan mengalami kemunduran.

Sebenarnya ada rasa iri ketika melihat klub kesebelasan beberapa kabupaten di Jogja sudah maju dan berkompetisi di berbagai kasta liga Indonesia. Ingin rasanya Persikup juga bersanding dengan mereka mengarungi liga di kasta tertinggi Indonesia, sehingga kota kecil kami ini mempunyai identitas sepak bola yang membanggakan dan menjadi ikon.

Saya rasa beberapa dari segelintir orang atau masyarakat Kulon Progo juga menginginkan dan memimpikannya. Saya bisa membayangkan jika itu terjadi, akhir pekan akan menjadi hajatan besar bagi kota kami, jalanan dipenuhi kendaraan yang ingin menyaksikan Persikup berlaga, teriakan kemenangan terdengar hingga ke sudut-sudut kota.

Namun kembali lagi, bagi Persikup dan sebagian masyarakat Kulon Progo, mimpi masih akan menjadi sekedar mimpi yang tak pernah tahu kapan waktunya untuk menjadi kenyataan indah.