Suara Pembaca

Match Fixing dalam Sepak Bola: Antara Paksaan dan Kesenangan

Sejak akhir tahun 2018 lalu, para pencinta sepak bola dihebohkan dengan kabar tentang match fixing atau pengaturan pertandingan. Kabar ini juga sudah memakan korban dengan adanya sanksi yang diberikan pada Krisna Adi Darma dan Mojokerto Putra (MP).

Krisna diberi sanksi oleh Komisi Disiplin (Komdis) PSSI, yakni larangan beraktivitas dalam sepak bola di lingkungan PSSI seumur hidup, sedangkan MP mendapat larangan berkompetisi pada musim 2019.

Pengaturan pertandingan seringkali diartikan sebagai hubungan ilegal antara olahraga dengan orang-orang kuat yang mungkin berada di luar lingkup olahraga dan terjadi balik sebuah pintu rahasia. Hubungan ini dapat melibatkan pemain, pelatih, wasit, maupun ofisial tim. Adanya pengaturan pertandingan pun nampak sangat sulit dideteksi, seringkali hanya berdasar ‘katanya’.

Artikel Sports (Betting) Integrity: Detecting Match-Fixing in Soccer menjelaskan tentang bagaimana cara mendeteksi adanya pengaturan pertandingan, yakni dengan memprediksi kemungkinan hasil pertandingan dari sepuluh pertandingan pertama di awal musim berdasarkan peringkat yang telah dibuat dari hasil pertandingan pada musim sebelumnya.

Sepuluh pertandingan pertama dianggap sebagai ajang pemanasan atau latihan dari tiap-tiap liga. Apabila probabilitas hasiil jauh lebih tinggi dari prediksi, maka layak diberikan pengawasan.

Baca juga: Reformasi PSSI dan Kriteria Ketua Umum Baru

Apabila model prediksi ini digunakan pada liga di Indonesia, mungkin akan ada banyak hal yang tak cocok. Seperti kita ketahui bahwa Liga Indonesia selalu memberikan banyak kejutan di setiap musim.

Ada tim yang performanya menurun akibat gaji yang belum terbayarkan, sehingga pemain kurang memiliki motivasi untuk bertanding. Ada juga yang di tengah kompetisi mendapat sponsor, sehingga dapat memberikan bonus besar untuk menambah motivasi anggota timnya mencapai kemenangan demi kemenangan.

Jika menilik peristiwa tertunggaknya gaji hampir setiap musim di liga kita, nampaknya wajar saja ada banyak pihak yang memanfaatkan dengan melakukan pengaturan pertandingan. Ketika tim dengan finansial yang tak sehat tetap ikut berkompetisi, bisa jadi di tengah musim akan mengalami gangguan keuangan.

Gaji pemain tertunggak, bonus pertandingan tak ada, lalu sedikit demi sedikit fasilitas dari klub pun berkurang, hingga pemain seperti sudah tak bersemangat untuk latihan dan bertanding. Dalam kondisi seperti ini, mafia dan gengnya tentu mudah merayu agar mau melakukan pengaturan pertandingan.

Baca juga: Tunggakan Gaji dan Aksi Mogok Para Pemain Sriwijaya FC

Seperti yang tertulis dalam artikel berjudul Match-Fixing—The Biggest Threat to Sport in the 21st Century? bahwa uang mungkin menjadi motivasi utama untuk terlibat dalam pengaturan pertandingan, namun jarang bahwa uang menjadi satu-satunya alasan mereka menyetujuinya.

Ada hal yang paling meresahkan, yakni ketika pelaku menyetujui melakukan pengaturan pertandingan akibat paksaan, baik dalam bentuk ancaman maupun paksaan keadaan. Misalnya, jika seorang pemain diberitahu bahwa ketika ia tidak setuju untuk mengikuti rencana maka keluarganya akan ikut berada dalam bahaya. Seketika uang itu tampak cukup menarik dan otak pun tak lagi mampu berpikir jernih, asal keluargaku aman.

Sudah bukan rahasia bahwa bursa taruhan merupakan pasar yang nyaman untuk mengambil keuntungan dari pengaruh hasil pertandingan. Jadi, tak salah pula ada banyak orang yang luluh dan ketagihan. Forrest dan Simons (2003) menuturkan bahwa bukti pengaturan pertandingan seringkali dapat ditemukan sebagai pola yang tidak biasa dalam data bursa taruhan, karena pelaku pengaturan pertandingan mendapatkan keuntungan dengan menempatkan taruhan pada pertandingan dengan hasil yang telah ditentukan sebelumnya. Bermain dalam bursa taruhan pun terasa menyenangkan karena pertukaran uang yang cepat dan anonim.

Baca juga: Robert Rene Alberts Ajak Media Perangi Isu Pengaturan Skor

Contohnya European Gaming & Betting Association yang mengatur akun taruhan untuk sekitar 58 miliar dolar per-tahun dan diperkirakan akan mencapai 70 miliar dolar pada 2016, dan sepak bola menyumbang sekitar 70-85% dari seluruh taruhan.

Betfair juga mengklaim menjadi pasar bursa taruhan terbesar di dunia dengan 1,7 juta pelanggan aktif (2015) dan omset 475,6 juta paun atau sekitar 694 juta dolar. Jika keuntungan pasar bursa taruhan saja sebesar itu dan tentu saja para petaruh juga mengajak pelaku sepak bola untuk ikut menjalankan rencana itu, bagaimana mungkin para pelaku sepak bola tidak mendapat keuntungan finansial yang luar biasa besar.

Lalu sesungguhnya para pemain itu hanya dijebak oleh mafia atau memang karena ingin bersenang-senang? Nampaknya, Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Bola perlu mengidentifikasi motif ini untuk mereka yang sudah tertangkap. Rasanya, ini jadi salah satu langkah penting untuk kemudian menentukan langkah antisipasi keberlanjutan pengaturan pertandingan di sepak bola Indonesia.