Suara Pembaca

Bandana dan Romansa Kejayaan Serie A

Kita yang pernah menyimak sepak bola Italia atau yang biasa disebut dengan Lega Calcio/Serie A khususnya medio 90-an tentu sepakat bila era itu adalah salah satu dari masa keemasan sepak bola Negeri Pizza. Ada dua frasa yang bisa mewakili, yaitu jaya di lapangan dan jaya pula di udara.

Ya, benar yang dimaksud terakhir adalah tayangan Lega Calcio mengudara sampai ke pelosok dunia, termasuk Indonesia salah satunya. Sampai-sampai ketika itu PSSI dengan proyek mercusuar Primavera-nya mengambil kiblat negeri itu.

Baca juga: Dari Primavera, ke SAD, dan ke Garuda Select

Mungkin anda masih mengingat nama berikut: Maldini, Nesta, Cannavaro, Buffon, Batistuta, Totti, Zamorano, Salas (bila diteruskan mungkin daftar ini masih panjang). Apakah persamaan di antara mereka? Ya benar, rambut gondrong serta ikat rambut atau bandana. Era keemasan Liga Italia kebetulan berbanding lurus dengan tren rambut tersebut. Ini seperti sebuah kebetulan yang menarik.

Gaya rambut seperti halnya model sepatu dan desain jersey tentunya berpengaruh terhadap rasa percaya diri pemain di lapangan, rasa percaya diri ini merupakan katalisator bagi peningkatan performa lewat skill yang menawan di lapangan.

Di masa-masa bandana itu pula, para pemain dari Serie A mendominasi daftar pemenang Ballon d’Or.

1990 Lothar Mathaeus (Inter Milan)

1991 Jean Pierre Papin (Marseille)

1992 Marco Van Basten (AC Milan)

1993 Roberto Baggio (Juventus)

1994 Hristo Stoickov (Barcelona)

1995 George Weah (AC Milan)

1996 Matthias Sammer (Borussia Dortmund)

1997 Ronaldo (Inter Milan)

1998 Zinedine Zidane (Juventus)

1999 Rivaldo (Barcelona)

2000 Luis Figo (Real Madrid)

Dari satu dekade periode tersebut ada 6 pemain yang mewakili sepak bola Italia meraih penghargaan individu paling prestisius.

Tak hanya dari segi gelar individu, masa-masa bandana juga membawa romantisme tersendiri di level klub, karena saat itu tim-tim Italia begitu berjaya di kompetisi Eropa. Mari kita tengok daftar finalis Piala/Liga Champions 1989-1999.

1989/1990 AC Milan 1 – 0 Benfica

1990/1991 Red Star 0 – 0 Marseille (pen: 5-3)

1991/1992 Barcelona 1 – 0 Sampdoria

1992/1993 Marseille 1 – 0 AC Milan

1993/1994 AC Milan 4 – 0 Barcelona

1994/1995 Ajax 1 – 0 AC Milan

1995/1996 Juventus 1 – 1 Ajax (pen: 4-2)

1996/1997 Dortmund 3 – 1 Juventus

1997/1998 Real Madrid 1 – 0 Juventus

1998/1999 Manchester United 2 – 1 Bayern Munich

Baca juga: Mengenang Selebrasi Ikonik Pemain Serie A

Dalam 10 tahun pergelaran final Liga Champions rentang musim 1989/1990 sampai dengan 1998/1999, tercatat delapan kali tim Negeri Spaghetti ini berlaga di partai puncak, bahkan dilakukan berturut-turut dari musim 1991/1992 sampai 1997/1998.

Di Serie A saat itu kita mengenal istilah yang disebut The Magnificent Seven, merupakan tim yang secara reguler selalu mengisi paling tidak sepertiga bagian atas papan klasemen liga.

Ada Juventus yang biasa kita sebut The Old Lady atau Si Nyonya Tua merupakan tim tersukses untuk ukuran domestik, dengan kandang stadion Delle Alpi. Beranjak ke kota mode ada dua klub, yakni Associazione Calcio Milan atau biasa disebut AC Milan, dan Internazionale Milano tim yang terbentuk berkat tradisi merekrut pemain dari luar Italia.

Ibu kota pun tidak mau kalah dengan menyumbang dua klub yang salah satunya adalah AS Roma. Klub berjuluk I Lupi ini dimiliki oleh Franco Sensi. Kemudian rival sekotanya adalah SS Lazio. Bila terjadi duel antara kedua tim selalu ada friksi antar kedua tifosi. Jika pendukung Lazio menempati Curva Nord Olimpico, maka di sisi seberang tifosi Roma memberikan dukungan di Curva Sud.

Selanjutnya tim ungu yang selalu menjadi pengganggu tim tradisi di Italia. Klub yang berasal dari Firenze ini acap kali bermain kesetanan apabila bermain di depan publik Artemio Franchi. Betul bila anda menjawab Fiorentina, dan mereka sempat menjuarai Serie A pada musim 1955/1956 dan 1968/1969.

Kemudian ada AC Parma, klub peretas dan representasi calon bintang masa depan. Banyak pemain bintang di timnya saat ini adalah jebolan klub yang bermarkas di Ennio Tardini. Sebut saja Gianluigi Buffon, Antonio Benarivo, Fabio Cannavaro, Lilian Thuram, Dino Baggio, maupun Enrico Chiesa sampai Hernan Crespo.

Baca juga: Mengenal Isyarat Tangan Pemain Serie A

***

Di atas adalah sekelumit romansa liga yang pernah glamor pada masanya dan menjadi kiblat untuk para pesepak bola terbaik dunia berkompetisi, tentu menjadi kenangan manis bila kita mengingat kembali masa itu. Di masa ini pamor Serie A meredup dengan kondisi finansial klub yang mulai kesulitan untuk eksis.

Mungkin hanya empat tim yang disebut pertama saja yang bisa bertahan dengan kondisi keuangan saat ini, sisanya harus terlempar dari persaingan kasta tertinggi liga. Mirisnya tim terakhir yang disebut, AC Parma, pernah dinyatakan pailit di tahun 2014/2015 sehingga harus berkompetisi dari serie D yang merupakan liga amatir.

Namun tentunya roda kehidupan mesti terus berjalan, kita hanya bisa mengenang memori masa-masa kejayaan tersebut dengan segala ingatan tentang itu dan mungkin kembali berharap ada saatnya masa itu akan kembali.