Pada pekan ke-20, Manchester City berhasil mengusir naungan awan mendung akibat kekalahan beruntun di dua laga Liga Primer Inggris sebelumnya. Mereka membekap Southampton 3-1 saat bertandang ke St. Mary’s Stadium (30/12/18) lewat gol David Silva, bunuh diri James Ward-Prose, dan Kun Aguero.
Apakah hasil positif ini akan terus berlanjut? Entah, sebab setelah pertandingan tersebut telah menanti laga mahapenting kontra Liverpool. Sebuah pertarungan yang bisa saja jadi penentu gelar juara musim ini. Namun setidaknya ada secercah harapan lewat kembalinya Fernandinho.
Ternyata kehadiran gelandang bertahan asal Brasil ini amat dibutuhkan oleh Man City. Oke, Ferna memang pemain bagus, tapi yang agak tak terduga adalah sebegitu krusialnya ia berada di jantung lini tengah City. Dua kekalahan beruntun City, dari klub medioker Leicester City dan Crystal Palace, cukup buat jadi bukti sahih.
Kalau belum cukup, sebelum kedua laga tersebut City juga berhadapan dengan Leicester di ajang Piala Carabao. Tampil dengan John Stones menempati pos gelandang bertahan yang ditinggalkan oleh Ferna, The Blues ditahan 1-1 hingga peluit panjang menyudahi babak kedua pertandingan, meski akhirnya berhasil memaksakan kemenangan lewat adu penalti.
Pertanyaannya sekarang, mengapa kehadiran Ferna bisa sedemikian penting dalam tim asuhan Guardiola ini?
Dalam skema sepak bolanya, Pep Guardiola menerapkan permainan high press. Jadi, saat tim lawan menyerang, City tidak menunggu bola sampai kepada pemain yang menyerang (attacking player) untuk melakukan pressing dan merebut bola.
Ditambah, Pep adalah penganut ajaran Johan Cruyff yang taat. Legenda Belanda itu pernah berujar, “In my teams, the goalie is the first attacker, and the striker is the first defender.” Di timnya, kiper adalah orang pertama yang melakukan serangan, dan striker adalah orang pertama yang bertahan. Begitulah kira-kira maksudnya.
Dengan begini, tidak asing para striker dan gelandang serang City naik hingga garis pertahanan lawan untuk melakukan pressing dan berusaha merebut bola dari para bek. Lalu untuk menjaga garis antarlini tetap compact, para defender City juga naik, bisa sampai dekat garis tengah lapangan.
Garis antarlini yang compact dibutuhkan untuk membuat lapangan menjadi sempit, sehingga pemain lawan tidak punya cukup ruang buat bergerak dengan leluasa.
Baca juga: Mengenal Priming di Sepak Bola
Dengan naiknya para bek City, garis pertahanan pun jadi tinggi (high difensive line). Hasilnya, pemain lawan akan mudah terjebak offside ketika berusaha melakukan serangan balik lewat umpan-umpan.
Namun yang berbahaya adalah jika serangan City gagal dan pemain lawan berhasil mempertahankan bola, tanpa kemudian terburu-buru melepaskan umpan kepada penyerang. Pada situasi ini banyak pemain City, terutama attacking player, yang sudah terlanjur naik sehingga menyisakan garis terakhir. Dengan kata lain, pemain lawan tinggal berhadapan dengan pemain bertahan.
Jeda yang didapat dari ketenangan tak buru-buru melepas umpan juga bermanfaat bagi rekan setim untuk mencari posisi yang lebih baik, demi dapat terhindar dari jebakan offside. Kalau sudah begini, City terancam bahaya.
Nah, di sinilah Fernandinho memainkan perannya. Sebelum pemain lawan yang melakukan serangan melangkah terlalu jauh membahayakan City, ia akan, dengan sengaja, melanggarnya. Tak perlu tekel keras, hanya pelanggaran kecil, kalau perlu seminimal mungkin sentuhannya. Yang terpenting, wasit meniup peluit pelanggaran.
Tujuan pelanggaran yang Ferna lakukan hanyalah untuk mengulur waktu pertandingan. Dari situ para pemain City punya waktu untuk kembali ke posisinya masing-masing untuk mempertahankan wilayah dari serangan. Juga, ini akan menghilangkan momentum yang didapat oleh lawan.
Culas karena sengaja melanggar pemain lawan? Iya, tapi toh dirinya kemudian dinyatakan bersalah oleh wasit dan City mendapat hukuman berupa tendangan bebas untuk lawan. Kasus selesai.
Ferna bukan satu-satunya orang yang melakukannya, mengingat urusan memutus serangan lawan pada stadium awal merupakan tugas utama bagi seorang gelandang bertahan. Namun yang menjadikan keculasannya amat dibutuhkan adalah tak lain karena skema yang diterapkan Pep tadi.
Dengan bermain high press dan dengan high defensive line, akan amat sulit bagi pemain City untuk mengejar (track back) pemain lawan yang menyerang balik dengan cukup cepat, tapi tidak tergesa-gesa, tanpa delay pertandingan yang diperoleh lewat pelanggaran buatan Ferna.
Sayangnya, City tidak punya pemain pelapis yang mampu, atau rela, memainkan peran serupa. Ilkay Guendogan yang beberapa kali dipasang menggantikan Fernandinho nampaknya terlalu elegan untuk melakoni ‘pekerjaan kotor’ semacam ini.
Baca juga: Kemalangan Tiada Akhir Ilkay Gündogan