Suporter sepak bola merupakan sekelompok manusia yang tidak hanya tergantung pada adanya interaksi di dalam kelompok itu sendiri, melainkan juga karena adanya pusat perhatian yang sama. Fokus perhatiannya tak lain tentang sepak bola, dan semua yang berkaitan dengannya.
Peran suporter di sepak bola modern sangatlah krusial. Sulit membayangkan sebuah tim sepak bola, terutama tim-tim profesional, tanpa adanya suporter. Dukungan suporter tak hanya berperan di dalam lapangan saja, tetapi di luar lapangan perannya juga tak kalah besar.
Dari kelompok suporter, dapat timbul faktor struktural yang menentukan persepsi berasal di luar individu. Misalnya ekonomi, budaya, hukum yang berlaku, serta nilai-nilai dan kegiatan dalam kelompok tersebut, yang sangat berpengaruh pada seseorang dalam mempersepsikan sesuatu.
Di kelompok suporter ini juga, pertukaran ide dan perbedaan persepsi jadi bahan baku dalam membangun sebuah dinamika kelompok. Dalam perjalanannya, tak jarang gesekan tersebut menimbulkan konflik. Mengerucut pada satu kasus kecil yang menarik, yaitu fenomena “dulu-duluan” mendukung atau tahu tentang sepak bola, jadi poin menarik.
“Ah, sok tahu kau. Baru lahir kemarin aja lagaknya sudah seperti ahli.”
“Saya sudah menjadi pendukung tim A sejak bertahun-tahun lalu. Kamu ini anak baru paling cuma ikut-ikutan aja suka sama tim ini. Kamu bukan golongan kami.”
Pernah mendengar atau melihat ucapan sejenis itu secara langsung maupun di media sosial? Kesinisan semacam itu bisa menjadi bibit-bibit pertikaian. Eksistensi identitas macam itu juga memuat keangkuhan yang semu.
Baca juga: Suporter Layar Kaca dan Starter Pack-nya
Identitas dapat diartikan sebagai label sosial yang ditempelkan kepada seseorang, karena orang tersebut menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu. Ketegangan semacam ini biasanya terjadi, karena seseorang merasa identitasnya dipandang remeh oleh orang lain.
Orang menyamakan dirinya dengan identitas persepsi atau kelompoknya. Ketika persepsi atau kelompoknya dianggap remeh, maka ia akan juga merasa rendah. Inilah yang disebut sebagai kemelekatan pada identitas, yang menjadi akar dari sejumlah konflik.
Ada dua karakter dasar dari label identitas, yakni sementara dan kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya, artinya ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh.
Konsep identitas merupakan buatan dari pemikiran setiap orang yang mana dapat diperdebatkan. Selama suporter masih melihat dirinya di dalam kotak-kotak label identitas, selama itu pula bayang-bayang konflik akan terus menghantui. Identitas itu ilutif.
Klasifikasi suporter garis keras dan garis lunak, suporter militan dan karbitan, atau lainnya, muncul sebagai buah dari pengelompokan individu-individu tersebut yang berkaitan dengan pengetahuan dan waktu.
Menyikapi adanya klasifikasi suporter tersebut, apakah tak ada satu titik temu untuk bersatu? Bukankah kebebasan berpendapat merupakan hak setiap orang? Kebebasan berpendapat itu hak semua orang dan menghargai pendapat yang berbeda itu jauh lebih penting.
Diskusi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan sepak bola juga sangat dibutuhkan. Selain sarana tukar informasi, juga dapat menjadi bahan pikiran untuk memperluas sudut pandang.
Tak ada maksud untuk men-generalisasi beberapa orang tersebut, bahwa yang memberi pernyataan selalu benar dan angkuh, atau membesar-besarkan hal yang kecil. Pahitnya lagi apabila prasangka atau pernyataan semacam itu tetap menjamur akan jadi sikap diskriminatif yang akut.
Bukankah pada dasarnya tak ada orang pintar dan bodoh? Yang ada hanya orang yang tahu lebih dahulu, baru tahu, dan belum tahu.