Sepak bola Indonesia sedang berkabung. Tepat ketika kita sedang melangkah pelan untuk membangun kembali kejayaan, olahraga yang sangat dicintai ini kembali menelan korban jiwa akibat adanya bentrok suporter. Sebuah kriminalitas yang terbalut rivalitas.
Almarhum Haringga Sirila tentu bukanlah nama pertama yang meregang nyawa akibat sepak bola, namun kita sangat berharap ini menjadi kasus terakhir untuk selamanya. Nyawa manusia terlalu berharga untuk hilang akibat sebuah pertandingan olahraga.
Saat seorang atau sekelompok suporter datang ke stadion untuk menonton klub kesayangannya, sudah seharusnya dapat kembali pulang tanpa kehilangan harta benda sedikitpun. Akan tetapi, yang kerap kali terjadi mereka pulang hanya tersisa nama dan berita duka.
Kejadian yang terjadi sesaat sebelum pertandingan ini menjadi noda tersendiri di pertandingan seru nan sengit tersebut. Baik Persib ataupun Persija menyuguhkan pertandingan yang sangat menarik hingga tercipta lima gol. Kejar mengejar gol, tensi tinggi, adu taktik antara dua pelatih, tidak bisa dimungkiri inilah El Clasico Indonesia terbaik dalam 5 tahun terakhir. Namun euforia harus segera berganti dengan duka lara setelah terdengar bahwa laga panas ini kembali memakan korban jiwa.
Persib vs Persija memang memiliki sejarah panjang rivalitas, dan sudah terlalu banyak kasus pertikaian antara kedua kelompok suporter tersebut, pun begitu dengan daftar korbannya. Banyak upaya perdamaian dilakukan, dan jembatan komunikasi seringkali dibangun.
Sayangnya, hanya para petinggi kedua kelompok yang dapat duduk bersama sedangkan para suporter di akar rumput tensinya tetap kelewat tinggi. Rasa saling membenci masih awet terjaga di salah dua basis suporter terbesar di sepak bola nasional ini.
Sulit memang, baik Bobotoh ataupun The Jak memiliki anggota yang sangat besar. Malah kebanyakan dari mereka tidak tercatat sebagai anggota resmi dan sulit dibina atau dididik oleh organisasi resmi suporter masing–masing klub. Gesekan pun kadang tidak bisa dihindarkan di daerah-daerah perbatasan, karena jarak Jakarta dan Bandung yang berdekatan.
Mencari dan menanti sanksi yang tepat
Semua tersentak. Tewasnya almarhum Haringga menarik perhatian seluruh lapisan masyarakat. Mencari siapa yang paling bersalah memang tidak akan pernah selesai. Semua pihak yang terlibat memiliki andil terhadap kasus yang kembali mencoreng nama sepak bola nasional ini.
Jakmania yang nekat datang ke Bandung meski sudah ada himbauan untuk tidak datang mendukung Persija, para pelaku yang kelewat gila, dan juga polisi yang kita semua harapkan dapat melindungi seluruh warga negara Indonesia sayangnya malah tidak terlihat ketika peristiwa keji itu terjadi.
Hingga Senin, 24 September 2018, polisi telah menangkap 16 orang dan menjadikan 8 orang sebagai tersangka. Jumlah tersebut masih bisa bertambah lagi. Jika para pelaku akan diproses secara hukum, bagaimana sanksi yang akan diberikan untuk salah satu atau bahkan kedua tim ini?
Banyak yang berpendapat bahwa PSSI harus menindak keras Persib akibat kelalaian ini. Wacananya beragam, dari partai tanpa penonton, pengurangan poin, hingga degradasi ke Liga 2. Bahkan ada yang menyarankan untuk segera menghentikan Liga 1 akibat kejadian ini.
Dengan kata lain Persib menjadi pihak yang akan menerima konsekuensi terberat akibat ulah suporter mereka. Padahal masalah ini tidak sesederhana tentang fanatisme sekelompok orang terhadap Persib. Banyak faktor yang membuat orang-orang tersebut dapat melakukan hal-hal yang tidak beradab.
Ada faktor sosial-ekonomi yang melatarbelakangi, karena sebagian orang Indonesia memang masih beberapa langkah di belakang masyarakat secara umum. Mental main hukum sendiri menjadi hal yang sering terjadi di kehidupan bermasyarakat Indonesia, meskipun ini bukan menjadi pembenaran perilaku para Bobotoh pada hari Minggu kemarin.
Tingkat kemakmuran masyarakat yang rendah membuat para remaja tanggung ini bertindak secara tidak masuk akal jika sudah berada di kerumunan kelompok mereka. Kita tidak bisa menutup mata. Pembegalan, tawuran antarsiswa, hingga pembunuhan suporter memang menjadi masalah akut masyarakat Indonesia.
Jika Persib dihukum secara berat akibat mental main hukum sendiri para suporternya, penulis rasa ini tidak adil karena membuat masyarakat jadi sadar hukum dan beradab tentu bukan semata-mata tugas dari klub sepak bola.
Insiden Haringga adalah pengulangan dari sikap sok jagoan masyarakat Indonesia, yang kebetulan menimpa salah satu suporter sepak bola. Seperti yang tertera dalam tulisan Widia Primastika di Tirto.id pada artikelnya yang berjudul Jakmania Haringga Sirla Tewas, Mengapa Kerumunan Bisa Sekejam Itu?
“…individu dalam kerumunan kehilangan kesadarannya. Seperti orang yang dihipnotis, mereka tidak menyadari tindakannya karena menjadi budak yang mudah dikomando.”
Maka dari itu, tindakan barbar sekelompok manusia tersebut dapat terjadi di mana saja dan dengan alasan apapun. Kelompok manapun dapat tersulut akibat agama, ideologi ataupun perbedaan klub kesayangan. Sekali lagi, tidak elok rasannya menyalahkan Persib akibat ulah biadab sekelompok kecil masyarakat di lingkup Jawa Barat.
Ada tugas pemerintah agar dapat menyediakan akses pendidikan yang lebih baik dan lebih mudah diakses, supaya masyarakatnya dapat tumbuh dengan pemahaman yang lebih dewasa. Namun juga bukan berarti Persib akan benar-benar lepas dari jeratan sanksi operator liga.
Ke depannya, untuk laga-laga besar seperti ini panpel tim penyelenggara juga harus memerhatikan keamanan para suporter secara lebih menyeluruh, mengingat kejadian kemarin terjadi di Ring 4 pengamanan. Harapannya kasus ini dapat membuat semua aspek sepak bola Indonesia dapat introspeksi diri baik itu klub, federasi, operator liga, perangkat pengamanan, hingga suporter agar hal-hal seperti ini tidak perlu terulang di kemudian hari.