Cerita

AC Milan dan Harapan Bernama Elliott Management

Lewat proses banding yang diajukan melalui Court Arbitration of Sport (CAS), sanksi larangan bermain di Liga Europa 2018/2019 yang diberikan UEFA kepada AC Milan gara-gara masalah finansial di tubuh tim akhirnya dicabut. Hal ini tentu melahirkan rasa gembira bagi para Milanisti di pelosok dunia.

Menurut banyak pengamat, alasan utama di balik keberhasilan I Rossoneri melakukan banding adalah proses pengambilalihan klub oleh Elliott Management dari tangan Yonghong Li yang gagal melunasi pinjamannya tepat waktu.

Sejak mengakuisisi Milan dari tangan Silvio Berlusconi, terus terang saja, Li (berbekal utang kepada Elliott Management) gagal memberi kestabilan di tubuh klub. Peduli setan bahwa dirinya bergerak masif dalam bursa transfer musim panas 2017/2018 buat memboyong sejumlah bintang berharga mahal ke Stadion San Siro.

Aksi-aksi meyakinkan itu pula yang membuat hati Milanisti luluh dan merasa bahwa Li adalah juru selamat klub dari kejatuhan. Namun sayangnya, Li bukanlah nabi yang sungguh dinantikan kehadirannya guna membawa klub melangkah ke jalan yang diridhoi.

Peristiwa jor-joran tersebut malah membuat keuangan Milan semakin terbebani karena pengeluaran membengkak, dan payroll seluruh skuat jadi melonjak drastis. Di sisi lain, pemasukan yang didapat klub begitu minim sebab mereka tampil semenjana di Serie A, termasuk digilas klub promosi, Benevento serta Hellas Verona, dan cuma bertanding di Liga Europa.

Perginya sosok asal Cina tersebut dari jajaran manajemen usai diambilalih Elliott Management pasti membuat sebagian Milanisti, saya tulis sebagian karena mungkin masih ada yang memuja Li seperti Redaktur Pelaksana Football Tribe Indonesia, Aditya Joyo Isworo, gembira bukan kepalang.

Harapan untuk melihat tim kesayangannya benar-benar bangkit, tidak sekadar menerima janji-janji palsu, semakin mendekati kenyataan. Apalagi sejak beroleh hak mengelola Milan, Elliott Management yang didirikan oleh Paul Singer berkomitmen untuk membenahi segala problem di tubuh klub. Bahkan kabarnya, mereka tak ingin buru-buru melepas I Rossoneri kepada pihak lain.

Dengan kepastian beroleh tiket mentas di Liga Europa musim depan, Milan tentu bisa lebih tenang dalam menyusun pelbagai rencana, baik teknis ataupun non-teknis.

Tampil prima di Serie A, Coppa Italia dan Liga Europa adalah keharusan yang tidak bisa lagi ditawar-tawar, sebab dengan performa apik di seluruh kompetisi tersebut, terlebih berhasil menggondol trofi juara, Milan dapat mengatrol lagi statusnya. Kalau sudah begitu, para pesepak bola kelas wahid, takkan enggan merapat ke Milanello, markas latihan I Rossoneri.

Lebih jauh, penampilan ciamik di atas lapangan juga meningkatkan nilai jenama Milan di mata sponsor. Hal ini tentu bermanfaat bagi mereka untuk mengais duit guna memperbaiki neraca keuangan karena seperti yang sama-sama kita ketahui, klub yang berdiri tahun 1899 itu masih punya kesepakatan dengan UEFA terkait regulasi Financial Fair Play (FFP).

Artinya, kecil kemungkinan Elliott Management bakal jor-joran seperti tingkah laku Li dahulu. Segala pengeluaran, utamanya yang berhubungan dengan transfer pemain, mungkin akan dibatasi. Kondisi ini pun mulai terbukti sebab tiga perekrutan Milan (di luar nama-nama yang wajib ditebus berdasarkan klausul perjanjian musim sebelumnya) yaitu Alen Halilovic, Pepe Reina, dan Ivan Strinic, didapat secara gratis.

Tidak menutup kemungkinan juga apabila Elliott Management memilih untuk melego pemainnya yang punya nilai jual tinggi seperti Leonardo Bonucci, Gianluigi Donnarumma, dan Suso, terlebih dahulu buat menyeimbangkan neraca keuangan serta beroleh dana segar sebelum mengucurkannya demi memboyong penggawa baru.

Satu hal yang pasti, masuknya Elliott Management sebagai pemilik anyar memberi secercah harapan bagi Milan agar mereka tak terperosok ke dalam jurang kebangkrutan seperti yang nyaris dilakukan Li.

Milanisti pun patut menyemai asa jikalau langkah tim kesayangan mereka akan semakin terarah dengan Elliott Management duduk sebagai pemegang kendali. Kendati begitu, mereka pun harus sadar bahwa membangun ulang sebuah entitas layaknya Milan, tidak bisa dilakukan sekejap mata.

Ada begitu banyak proses yang kudu dilakukan secara bertahap untuk membuat nama Milan kembali paripurna. Bukan kesebelasan yang sekadar mengandalkan nama besar di masa lalu.