Cerita

Maurizio Sarri, di Antara Claudio Ranieri dan Gianluca Vialli

Sudah menjadi rahasia umum jika santapan Italia memang sangat menggugah rasa. Para penggemar berat makanan tentu sulit menolak lezatnya finocchiona, fontina, gelato, pasta, pizza, risotto, spaghetti hingga tiramisu. Walau berasal dari Inggris, Chelsea, barangkali termasuk ke dalam daftar penyuka makanan Italia.

Bermula di akhir periode 1990-an, The Blues yang sedang membangun kekuatan supaya mampu berbicara lebih lantang di belantara Liga Primer Inggris, memilih seorang ‘juru masak’ asli Italia buat menghidangkan ‘menu-menu terbaik’ di atas lapangan.

Kesebelasan yang bermarkas di Stadion Stamford Bridge ini menetapkan salah seorang penggawa mereka, Gianluca Vialli, untuk menjabat sebagai pelatih di bulan Februari 1998 usai Ruud Gullit dilengserkan pihak manajemen.

Alhasil, Vialli pun resmi jadi lelaki Italia pertama yang menukangi sebuah klub asal Inggris. Tak hanya itu, dirinya pun beroleh gelar player-manager, mengikuti jejak figur beken lain semisal Kenny Dalglish, Glenn Hoddle, Bryan Robson dan pastinya Gullit.

Hebatnya, dalam periode kepelatihan itu (Vialli jadi semakin jarang merumput di lapangan), prestasi yang sanggup didulang Chelsea malah mengangkasa.

Dalam kurun Februari 1998 sampai September 2000, dengan materi pemain layaknya Roberto Di Matteo, Tore Andre Flo, Gustavo Poyet, Dennis Wise, dan Gianfranco Zola, ia mampu mempersembahkan lima titel juara, masing-masing berupa sebiji Piala FA, Piala Liga, Charity/Community Shield, Piala Winners, dan Piala Super Eropa.

Catatan tersebut bahkan mendapuk Vialli sebagai pelatih dengan persembahan titel paling banyak buat The Blues, lima buah, pada masanya (sebelum dikangkangi Jose Mourinho).

Tatkala Vialli dicopot dari jabatannya akibat serentetan hasil buruk, manajemen Chelsea tanpa ragu mengangkat lelaki Italia lain, Claudio Ranieri, sebagai nakhoda anyar. Harapan mereka pun jelas, bekas pembesut Fiorentina, Napoli, dan Atletico Madrid itu dapat menghadiahkan piala sebanyak atau lebih dari sumbangan Vialli.

Berbekal skuat yang mentereng karena diisi sosok-sosok macam Marcel Desailly, Jimmy Floyd Hasselbaink, Frank Lampard, John Terry, dan Zola, Chelsea besutan Ranieri justru keteteran buat menyaingi dominasi Arsenal dan Manchester United.

Kegagalan Ranieri buat memberikan satu biji gelar pun kepada The Blues, memaksa sang pemilik baru klub, Roman Abramovich, memberinya surat pemberhentian kerja sesaat setelah musim kompetisi 2003/2004 kelar. Banyak kalangan, termasuk pendukung setia Chelsea, yang merasa bahwa periode September 2000 sampai Mei 2004 ibarat awan kelabu untuk tim yang berdiri pada 10 Maret 1905 tersebut.

Usai periode Vialli yang berlanjut ke Ranieri, penghuni kursi kepelatihan Chelsea terus bergonta-ganti. Mulai dari Mourinho, Luiz Felipe Scolari, Carlo Ancelotti, Andre Villas-Boas, Di Matteo, Rafael Benitez, sampai yang terakhir dijabat Antonio Conte.

Terasa menarik, sebab pelatih-pelatih yang didatangkan The Blues juga banyak yang berpaspor Italia. Para penggemar sepak bola tentu hafal berapa orang dari Negeri Pizza yang tercatut di paragraf sebelumnya.

Meski sukses merengkuh titel Liga Primer Inggris 2016/2017 dan Piala FA 2017/2018, Conte yang memiliki hubungan kurang mesra dengan Abramovich dan beberapa pemain Chelsea, dicopot secara paksa menjelang musim 2018/2018 dilangsungkan.

Kisah cinta bersama Conte memang sudah selesai, tapi Abramovich, uniknya, kembali merekrut seorang pelatih Italia buat jadi suksesor. Dialah pria eksentrik sekaligus perokok berat yang sebelumnya menangani Napoli, Maurizio Sarri. Kalau ditotal, Sarri adalah manajer keenam The Blues yang berasal dari Italia dalam kurun dua dasawarsa pamungkas. Jumlah tersebut mengungguli pelatih dari negara lain yang berkarier di Stadion Stamford Bridge. Bahkan, sosok-sosok lokal dari Inggris macam Steve Holland, Graham Rix, dan Ray Wilkins, hanya berstatus sebagai pelatih interim saja.

“Melatih klub Liga Primer Inggris adalah tantangan sulit tapi menarik bagi saya. Saya siap bekerja keras guna mengantar The Blues ke jalur kesuksesan”, ungkap Sarri seperti dilansir situsweb resmi Liga Primer Inggris.

Berbarengan dengan hadirnya Sarri sebagai pelatih baru bagi Eden Hazard dan kawan-kawan, ada satu hal yang kembali muncul ke permukaan, utamanya yang berkaitan dengan aneka cerita dari para allenatore Italia di London Barat.

Ketika musim kompetisi 2018/2019 dimulai, duduk nyaman di kursi bukan suatu hal yang dapat dilakukan Sarri dengan mudah sebab Abramovich akan memantaunya secara seksama, bahkan tanpa berkedip.

Andai gagal mengangkat prestasi Chelsea yang musim lalu finis di luar zona Liga Champions, tidak menutup kemungkinan jika kariernya akan berlangsung singkat sekaligus mengikuti nasib pahit Ranieri.

Sebaliknya, kalau sanggup menghadiahkan trofi demi trofi, khususnya lewat permainan cantik bernama Sarrismo, karier pria berusia 59 tahun ini dapat melenggang mulus di Stadion Stamford Bridge seraya mengekori jejak Vialli.