Cerita

Mutualisme Paris-Saint Germain dan Gianluigi Buffon

Di alam liar, terdapat sebuah fenomena unik yang bagi mayoritas manusia adalah suatu hal menakjubkan dan tak terbayangkan. Berkelindan di dunia binatang dan tumbuhan, misalnya kerbau dengan burung jalak, lebah dengan bunga ataupun anemon laut dengan ikan badut, fenomena itulah yang disebut sebagai simbiosis mutualisme.

Digagas pertama kali oleh botanis dan patologis Jerman, Albert Bernhard Frank, pada tahun 1877 lalu, simbiosis adalah hubungan yang terjadi di antara organisme berbeda namun hidup bersama-sama. Mutualisme sendiri merupakan salah satu dari sekian tipe simbiosis di mana interaksi yang terjadi di antara dua makhluk hidup berbeda membawa keuntungan buat masing-masing kubu.

Bergeser jauh ke dunia sepak bola, fenomena bak simbiosis mutualisme juga lumrah terjadi. Contoh paling sederhananya tentu perekrutan penggawa anyar dengan kualitas mumpuni oleh entitas sepak bola yang mengemban segudang ambisi beroleh prestasi.

Diakui atau tidak, tim-tim yang dihuni pemain-pemain berkapabilitas ciamik (tak selalu berharga mahal) seringkali berdiri lebih dekat dengan gelar juara. Hal tersebut bagai keniscayaan dalam sepak bola walau di momen-momen tertentu, ada pula kisah-kisah di luar nalar yang mematahkan segala perhitungan dan prediksi.

Menyeruak dari daratan Prancis, Paris Saint-Germain (PSG) bermetamorfosis dari sebuah kesebelasan semenjana menjadi raksasa berdompet tebal usai diakuisisi konsorsium asal Qatar pimpinan Nasser Ghanim Al-Khelaifi.

Pelan tapi pasti, berbekal kekuatan uang tersebut, PSG membangun dominasinya sebagai tim nomor satu di Negeri Anggur. Caranya tentu saja dengan merekrut bintang-bintang sepak bola yang ada guna meningkatkan kualitas mereka. Mulai dari Edinson Cavani, Kylian Mbappe, Thiago Motta, Neymar, Thiago Silva, hingga Marco Verratti.

Alhasil, piala demi piala mulai rajin mengisi ruang pamer mereka di Stadion Parc des Princes. Hanya dalam tempo sewindu saja, ada 19 titel juara yang berhasil dikecup. Semuanya berasal dari ajang domestik yaitu Ligue 1 Prancis, Piala Prancis, Piala Liga, dan Trophee des Champions.

Namun selayaknya ambisi yang terus meluap-luap dan target yang semakin tinggi, PSG tak puas dengan hal itu. Sasaran utama mereka pun berpindah ke ajang antar-klub Eropa paling bonafit, Liga Champions.

Sialnya, dalam tempo yang sama, perjuangan Les Parisiens untuk menahbiskan diri sebagai klub jagoan di Eropa, belum jua terwujud. Pelbagai cara dan langkah yang mereka ambil, senantiasa mentok di hadapan para raksasa yang mempunyai pengalaman dan tradisi selangit di kancah Eropa.

Rapor terbaik PSG sedari diakusisi konsorsium Qatar di Liga Champions adalah menembus babak perempat-final. Keadaan tersebut muncul pada musim 2012/2013, 2013/2014, 2014/2015, dan 2015/2016. Berkaca dari masifnya fulus yang dikeluarkan manajemen saban musim, hal itu jelas tidak sebanding. Akhirnya, mereka pun kerap diolok-olok sebagai badut Eropa.

Demi merealisasikan ambisi agung dam membara di Liga Champions, PSG tak sungkan untuk memboyong bintang lagi jelang musim kompetisi 2018/2019 bergulir. Nama terbaru yang dipastikan jadi anggota skuat Les Parisiens adalah kiper gaek asal Italia yang kaya pengalaman, Gianluigi Buffon.

Kemarin malam (6/7) waktu Indonesia, peresmian Buffon dirilis secara langsung via akun media sosial PSG. Dicomot secara gratis dari penguasa Serie A, Juventus, Buffon diganjar kontrak selama satu musim dengan opsi perpanjangan di tahun berikutnya.

Meski usianya sudah menginjak 40 tahun, kesebelasan yang berdiri pada 12 Agustus 1970 itu tetap menilai Buffon sebagai kiper dengan kemampuan luar biasa. 655 penampilan dan 9 gelar Scudetto bareng Juventus serta 176 caps berikut 1 titel Piala Dunia selama memperkuat tim nasional Italia adalah catatan menterang yang dimilikinya.

Dilihat dari sisi manapun, Buffon jelas masih satu strip di atas Alphonse Areola dan Kevin Trapp, sepasang kiper yang selama dua musim pamungkas berebut posisi inti di bawah mistar Les Parisiens.

Banyaknya gelar juara yang pernah diangkat Buffon nyatanya tak bikin ia lepas sepenuhnya dari hujatan. Pasalnya, dalam rentang karier yang sangat panjang (23 musim), dirinya belum sekalipun merasakan manisnya memeluk trofi Si Kuping Besar.

Padahal, ia sudah mencicipi partai final di kejuaraan antar-klub Benua Biru itu sebanyak tiga kali bersama I Bianconeri. Masing-masing di musim 2002/2003, 2014/2015, dan 2016/2017.

Di momen pertama, upaya Buffon dan kawan-kawan dijegal oleh sesama klub Serie A, AC Milan. Sementara di dua final terakhir, keinginan tersebut digagalkan oleh sepasang raksasa La Liga Spanyol, Barcelona dan Real Madrid. Rapor merah lelaki kelahiran Carrara pada ajang Liga Champions itu pun membuatnya ‘dianugerahi’ predikat spesialis gagal.

Sama-sama menjadikan titel Liga Champions sebagai ambisi sekaligus mimpi, bergabungnya Buffon ke PSG tampak seperti perpaduan yang pas. Pendukung fanatik Les Parisiens pasti berharap jika hubungan PSG dan Buffon akan melahirkan simbiosis mutualisme layaknya kerbau dengan jalak atau anemon laut dengan ikan badut.

Tak peduli bahwa Buffon juga mesti absen di tiga partai Liga Champions musim 2018/2019 sebagai akibat dari sanksi yang ia peroleh di musim 2017/2018 kemarin.

Keduanya, pasti akan bahu membahu demi membawa pulang gelar Liga Champions ke kota Paris, sebuah interaksi yang saling menguntungkan masing-masing pihak dan berguna untuk menghapus cap-cap negatif yang mereka dapatkan selama ini perihal nestapa di turnamen antar-klub Benua Biru.

Andai hal itu benar-benar terealisasi, langkah PSG buat mengukuhkan diri sebagai kekuatan baru di kancah sepak bola bakal semakin mantap dan tegas. Di sisi lain, Buffon pun dapat mengakhiri karier sepak bolanya dengan tangis haru, perasaan bangga, dan senyum bahagia. Sempurna!