
Pelatih kepala timnas Inggris, Gareth Southgate, mampu membawa negaranya menciptakan sejarah. Inggris, di bawah asuhan Southgate, berhasil untuk pertama kali memenangkan adu penalti di Piala Dunia. Ini terjadi kala The Three Lions mengalahkan Kolombia di babak 16 besar Piala Dunia 2018. Inggris pun kini menjadi salah satu favorit Piala Dunia 2018, dan Southgate menjadi figur favorit di media sosial Twitter.
Selain karena keberhasilannya memimpin Inggris, Southgate juga menjadi favorit karena aksinya yang mengesankan. Ketika adu penalti berakhir, pelatih berusia 47 tahun ini tak terlarut dalam selebrasi bersama anak asuhnya. Ia justru mencoba untuk menenangkan pemain Kolombia, Mateus Uribe, yang tengah bersedih mendapati negaranya harus tersingkir dari Piala Dunia.
Aksi Southgate yang mengesankan ini ditambah dengan citranya yang memang baik, tidak banyak tingkah, dan jauh dari kontroversi. Atas dasar ini, di Twitter muncul tagar #GarethSouthgateWould. Isi dari tagar ini adalah imajinasi orang-orang akan seperti apa Southgate di kehidupan orang biasa. Tentu saja, isi dari tagar ini begitu lucu dan menggambarkan seperti apa Southgate dilihat oleh orang banyak.
#GarethSouthgateWould take his neighbour's washing in off the line if it started raining.
— JK 🇺🇦🇪🇺🐱 (@Snow____Angel) July 4, 2018
https://twitter.com/keithsilvernail/status/1014654273425158146
#GarethSouthgateWould Pay an equal share of the restaurant bill, even though he didn't have a starter and only drank the tap water.
— Richard Peach (@RichardCPeach) July 4, 2018
#GarethSouthgateWould give you his portable charger whilst he's on 1%
— Elliot Hackney (@ElliotHackney) July 4, 2018
https://twitter.com/toby__jh/status/1014526152927522816
Dari beberapa twit ini, bisa terlihat bagaimana Southgate memiliki citra yang begitu baik, tergambar sebagai seorang nice guy di mata publik. Meskipun kebanyakan dari twit ini adalah lelucon, citra baik Southgate tentunya dapat terlihat jelas.
Perbedaan citra Southgate dengan pendahulunya
Ada sesuatu yang menarik dalam hal ini. Citra Southgate di hadapan publik dan media sangat berbeda ketimbang beberapa pelatih kepala timnas Inggis yang menjadi pendahulunya, setidaknya dari awal tahun 2000-an.
Sam Allardyce yang digantikan oleh Southgate tentu mendapat anggapan yang buruk dari publik, khususnya suporter The Three Lions. Pelatih yang biasa dipanggil “Big Sam” itu terlibat skandal yang membuatnya harus terusir dari kursi kepelatihan, namun, terlepas dari itu, Allardyce yang memang terkenal kontroversial memang sudah buruk citranya.
Sebelum Allardyce ada Roy Hodgson, pelatih kepala yang sangat meme-able. Hodgson memang berhasil mencatatkan prestasi impresif di Fulham, namun kegagalannya bersama Liverpool membuat citranya buruk dan pengangkatannya sebagai pelatih kepala timnas Inggris diragukan. Permainan Inggris di bawah asuhannya pun tak membantunya, dan tim yang ia bentuk dipermalukan Islandia di Piala Eropa 2016.
Steve McClaren menjadi bulan-bulanan media setelah gagal membawa Inggris berpartisipasi di Piala Eropa 2008. Sven-Goran Eriksson memiliki citra sebagai seorang playboy, dan kenyataannya memang seperti itu. Bahkan, Fabio Capello yang tidak macam-macam pun juga tak pernah merasakan cinta yang didapat Southgate dari publik Inggris saat ini.
Keuntungan bagi timnas Inggris
All this Gareth Southgate love – well deserved for a great bloke – only says to me how much we’re crying out for basic decency in our leading public figures. We’re tired of braggarts and buffoons and Gareth is helping to fill the void.
— Nick Metcalfe (@Nick_Metcalfe) July 4, 2018
“Gareth Southgate layak untuk mendapatkan pujian dan rasa cintanya. Namun, semua ini menunjukkan kepada saya bahwa kami benar-benar membutuhkan seseorang yang benar-benar baik untuk menjadi seorang figur publik. Kami lelah akan banyaknya figur publik yang bodoh dan suka pamer, dan Gareth (Southgate) berhasil memberikan sesuatu yang berbeda.”
Twit di atas menjabarkan bagaimana perasaan orang Inggris asli tentang Southgate. Kehadiran Southgate mampu memberikan sesuatu yang menyegarkan bagi orang-orang di Negeri Ratu Elizabeth sana, tak hanya dari sudut pandang sepak bola, melainkan dilihat dari perspektif yang lebih luas, dan hal ini tentunya akan sangat menguntungkan bagi timnas Inggris.
Sebelum Southgate masuk, timnas Inggris adalah tim yang juga kerap kali menjadi bahan olokan di media sosial. Tiap turnamen besar, The Three Lions selalu dipredeksikan akan mengecewakan—dan memang semua berakhir seperti itu.
Media di sana pun tak membantu dengan frekuensi serangan yang mereka berikan terhadap pemain-pemain tertentu. Namun, karena Southgate, hampir semua publik Inggris, termasuk medianya, bersatu untuk mendukung tim nasional untuk meraih kejayaan. Ketika ada media yang masih iseng, seperti misalnya Daily Mail yang menarget Raheem Sterling, semua orang Inggris membela sang pemain.
Tak bisa dipungkiri memang, rekor Inggris asuhan Southgate di lapangan begitu baik, dan ini tentunya sangat mempengaruhi citranya. Namun, tindakan sang pelatih kepala yang sempat dibenci orang-orang negaranya ketika eksekusi penaltinya yang gagal di Piala Eropa 1996 ini tentunya juga memberikan pengaruh yang tak kecil pada citranya. Apapun yang telah Southgate lakukan, sejauh ini dampaknya positif bagi The Three Lions.