Editorial

Mari Membicarakan Gol Cantik Benjamin Pavard

Delapan belas tahun lalu, di lapangan dekat rumah kami, saya dan Bapak memulai satu hal penting yang kemudian menjadikan saya seperti apa saya saat ini. Di usia delapan tahun, saya nyaris tidak peduli banyak hal selain video game dan uang saku sekolah. Tapi, sore itu, Bapak mengajarkan sesuatu.

Bapak membawa tiga bola plastik. Sampai di lapangan, Bapak membawa satu bola plastik, menimang-nimangnya sebentar dengan juggling kecil yang membuat saya terpana, lalu dengan satu sentuhan ringan memakai paha kanannya, bola dibiarkan melayang sebentar di udara, Bapak mengambil posisi menendang dan dengan tendangan voli (istilah ini saya ketahui dua tahun berselang dari pelatih olahraga di SMP) Bapak mengirim bola itu melayang masuk ke pojok kanan atas gawang yang kosong.

Itu momen surealis, setidaknya bagi saya. Dua bulan kemudian, saya mulai bermain sepak bola hanya dengan satu motivasi: mencetak gol indah. Saya seorang moralis dan nilai estetis begitu saya puja sejak momen pertama saya bermain sepak bola, sebelum kemudian saya bekerja di media sepak bola arus utama dan demi tuntutan zaman, saya akhirnya menjadi orang yang cukup pragmatis, setidaknya, untuk saat ini.

Ketika di masa sekarang, sistem dan cara sebuah tim bermain tak lagi mengacu pada nilai-nilai estetis belaka, saya menemukan kembali diri saya ketika berusia delapan tahun lewat gol-gol indah yang tiap tahun selalu saya pantau di ajang Puskas Awards. Dan setelah dua minggu lebih Piala Dunia 2018 berjalan, saya menemukan kebahagiaan itu lagi lewat gol cantik Benjamin Pavard ke gawang Argentina kemarin (30/6) malam.

Benjamin Pavard, I love you

Di balik tubuh kurus tinggi dan rambut ikalnya yang sekilas membuatnya mirip seperti personel band Britpop, Benjamin Pavard mencuri atensi bukan hanya karena ia cukup versatile (bisa bermain sebagai bek kanan dan bek tengah), namun juga karena dia menjadi pilihan pertama Didier Deschamps di skuat yang masih dihuni Djibril Sidibe, bek kanan natural yang lebih dulu mencicipi skuat Les Bleus sebelum Pavard.

Sepuluh menit sebelum mencetak gol cantik ke gawang Franco Armani, Pavard kewalahan mengadang laju Angel Di Maria yang berbuah tendangan bebas di tepi samping kotak penalti Prancis. Ever Banega, si pengambil tendangan bebas, mengirim bola ke kotak penalti yang berujung kepada tendangan pelan Lionel Messi, yang kemudian berbelok arah karena sentuhan kaki Gabriel Mercado, dan membawa Argentina unggul 1-2, hanya tiga menit setelah sepak mula babak kedua.

Tapi sembilan menit kemudian, bek muda Stuttgart ini melunasi utangnya untuk tim, dan bahkan, memberi saya kebahagiaan yang berlebih karena gol yang luar biasa itu. Untuk alasan kedua, saya rasa, Pavard sangat layak masuk surga dibandingkan saya.

Baca juga: Benjamin Pavard, Steven N’Zonzi, dan Presnel Kimpembe: Wildcard Timnas Prancis untuk Piala Dunia 2018

Di pra-asis Blaise Matuidi yang membelah di antara Cristian Pavon dan Mercado, juga crossing manis Lucas Hernandez yang kemudian berujung asis, gol dengan tendangan side-volley Pavard seolah melengkapi keindahan yang penuh nilai-nilai estetis yang sulit ditolak pesonanya.

Apakah itu tendangan spekulasi? Oh, ya, bisa jadi. Tapi, melihat gerak badan dan pinggang, serta ayunan kaki kanan Pavard sesaat sebelum dan setelah kaki kanannya menyentuh bola dan mengirimnya melayang masuk ke gawang Armani, saya yakin 100% pemuda 22 tahun ini tahu betul apa yang sedang ia lakukan beberapa detik sebelum bola menyentuh kakinya.

Bola umpan silang Lucas datang begitu kencang, memantul, dan tidak datang dengan akurasi yang baik, bahkan, mungkin, itu tidak ditujukan untuk Pavard yang datang menyongsong dari belakang. Tapi, Pavard, yang lepas dari penjagaan Di Maria, tahu betul ia harus melakukan apa dengan datangnya bola yang kencang dan memantul tak beraturan itu.

Side volley bukan teknik yang sederhana. Saya adalah mantan pesepak bola di usia muda dan percaya atau tidak, saya pesepak bola yang (sangat) bagus di usia saat itu. Saya tahu pasti rumitnya mencetak gol dengan teknik, seperti misal gol overhead kick Zlatan Ibrahimovic ke gawang Inggris, atau, ya, gol Pavard semalam. Dan untuk tendangan terukur yang membuat bola melayang dan berputar begitu indah sampai masuk dengan mulus ke gawang Argentina, saya berterima kasih setinggi-tingginya untuk Pavard.

Saya memutar berkali-kali video singkat dari tendangan Pavard dan meresapi tiap momen sejak bola itu mengenai kaki kanan bagian luar bek Prancis ini, berputar dengan seksi, melayang dengan halus di udara, hingga menyentuh jaring-jaring gawang Armani dengan lembutnya.

Untuk momen-momen penuh keindahan seperti gol Pavard ini, saya selalu berterima kasih kepada sepak bola dan aktor-aktor di dalamnya. Ada tendangan jarak jauh Di Maria yang merobek jala Hugo Lloris dan tendangan placing manis Edinson Cavani yang membawa Uruguay ke perempat-final semalam, tapi bagi saya, gol Pavard adalah sesuatu yang layak ada museum memori kita dan meresapinya baik-baik hingga beberapa tahun kemudian kamu akan ingat dan berujar, Di Piala Dunia 2018, saya pernah melihat gol cantik yang dibuat oleh pemain bernama Benjamin Pavard.”

Tidak banyak momen berkesan di setengah perjalanan tahun 2018 ini, tapi gol Benjamin Pavard kemarin malam adalah hal terindah kedua yang saya temukan di tahun ini setelah Larasati Gumilang, calon istri saya.