
“When football was invented in England”, ketika sepak bola ditemukan di Inggris. Meski serasa klaim sepihak, glorifikasi semacam itu benar adanya. Sepak bola modern yang seperti kita nikmati hari ini memang berakar dari Inggris. Mereka pun dikenal karena kehebatan dalam hal sepak bola. Meski, tak selamanya si penemu akan selalu superior daripada mereka yang mengekor.
Akan tetapi nyatanya Inggris, dalam konteks sepak bola internasional, miskin prestasi besar dibandingkan negara lain seperti Jerman, Brasil, Italia atau Prancis. Tahun 1966 adalah capaian trofi Piala Dunia pertama yang belum bisa diulang lagi oleh Inggris. Bahkan sebelum dan sesudah tahun itu, di ajang apapun mereka nirgelar. Penampilan serdadu The Three Lions fluktuatif. Suatu saat diakui kehebatannya, namun di saat yang lain lebih sering bobroknya.
Narasi football is coming home atau sepak bola kembali ke rumah, seketika menyeruak ketika Inggris tampil apik pada gelaran turnamen besar seperti Piala Dunia. “Kembali ke Rumah” yang dimaksud adalah tentang bagaimana supremasi sepak bola kembali lagi ke pangkuan sang penemu olahraga tersebut.
Ya, hanya dengan menjadi juara dunia, Inggris bisa memeluk kembali dengan hangat, supremasi akan olahraga yang mereka temukan dahulu kala.
Inggris memiliki liga sepak bola (Liga Primer Inggris) terpopuler sejagad dan tim nasionalnya berisikan pemain papan atas. Malahan, perjalanan Inggris di turnamen sepak bola antar bangsa lebih sering menjadi lawakan. Ironis memang jika pada kenyataanya, tim nasional Inggris bukan singa ganas di panggung internasional.
Masalahnya sangat kompleks. Seperti minimnya pelatih lokal berkualitas untuk memimpin timnas, rivalitas antar pemain Inggris yang sangat tajam atau beban berat karena ekspektasi terlalu tinggi. Soal ekspektasi selangit, Inggris memang acap dihadapkan pada hal ini. Tak lain, akibat status sebagai bangsa pencipta sepak bola dan timnas yang bergelimang materi bintang.
Publik Inggris dan dunia selalu berekspektasi tinggi pada skuat The Union Jack setiap Piala Dunia atau Piala Eropa datang. Berlebihan? Tidak. Ini kan Inggris. Tetapi, harapan itu hampir selalu kandas.
Contohnya pada kegagalan Piala Dunia 2006, ketika banyak pihak justru meyakini bahwa skuat Inggris saat itu adalah yang terbaik setelah 1966. Inggris sering kali tak mampu lepaskan diri dari beban akan ekspektasi tinggi, di mana hal itu sering berbuah kegagalan bagi mereka sendiri.
Namun sedikit berbeda dalam Piala Dunia 2018 kali ini, Inggris seakan mengalami anomali dan mendapat stigma baru. Di satu sisi masih dianggap kekuatan besar, namun di sisi lain tak terlalu diunggulkan. Ekspektasi masih melekat di mereka, tetapi tidak seberat yang sebelumnya.
Harry Maguire dan kolega pun tetap dikategorikan sebagai tim dengan nama besar, meski tak lagi jadi unggulan utama. Lihat saja di Grup G Piala Dunia 2018. Inggris bahkan tidak lebih diunggulkan dari Belgia, yang bahkan sebagian besar pemainnya adalah “pencari makan” di tanah Britania.
Mengapa perubahan stigma terhadap Inggris ini terjadi? Entah, apakah publik Inggris sendiri dan masyarakat dunia yang sedikit lelah dalam berharap, atau mereka sudah mulai sadar diri, bahwa Inggris tak sehebat yang mereka kira. Namun yang jelas, stigma tidak diunggulkan di Piala Dunia 2018 kali ini adalah angin segar yang bisa mereka manfaatkan dengan baik.
Perubahan dan saatnya meredam ekspektasi berlebihan
Lari dari kejumudan atau keterpakuan pada pemikiran konservatif, sebenarnya sudah Inggris lakukan. Timnas Inggris pernah menjajal perubahan dalam permainan mereka, ketika menunjuk orang asing di posisi pelatih, seperti Sven Goran-Eriksson atau Fabio Capello. Pengalaman dua pelatih senior itu dalam melatih di berbagai negara diharapkan dapat memberikan dimensi-dimensi baru di tubuh timnas.
Memang hasilnya sama saja. Inggris tetap kesulitan melaju jauh di kompetisi yang diikuti. Tetapi masih lebih baik daripada menggunakan jasa pelatih lokal medioker semacam Steve McClaren, Roy Hodgson atau Sam Allardyce.
Selain progres yang minim, hasil dari karya pelatih lokal itu juga setali tiga uang. Minimnya stok pelatih lokal, terutama mereka yang kaya akan ide segar memang menjadi masalah penting bagi timnas Inggris.
Hingga suatu saat, muncul berkah dalam musibah. Sam Allardyce yang dipercaya melatih Inggris usai Piala Eropa 2016 kedapatan terlibat praktik tidak etis soal relasi transfer pemain-pemain timnas. Publik Inggris, yang sedari awal tak terlalu optimis dengan penunjukkan Big Sam, semakin kehilangan nada positif ketika kasus itu muncul ke permukaan. Allardyce mundur dan digantikan asistennya, Gareth Southgate.
Southgate diberi tugas untuk melatih di kualifikasi dan meloloskan Inggris ke Piala Dunia, dan itu berhasil. Benar bahwa di bawah kendali mantan bek Middlesbrough itu, Inggris tak begitu superior. Publik juga tidak berekspektasi terlalu tinggi.
Selain minimnya pengalaman Southgate, skuat timnas kali ini juga tidak gemerlap seperti tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, justru hal-hal itu yang (mungkin) dibutuhkan Inggris saat ini.
Terkadang rasa optimisme yang tak terkendali, bisa berujung kejemawaan dan hal ini bisa berakibat negatif. Hampir di setiap Piala Dunia mereka selalu mengatakan, “Kami (Inggris) akan menjadi juara”, dan hasilnya justru mereka merana. Sebaliknya, kini Inggris tak terlalu diunggulkan.
Apakah ini berarti kualitas Inggris sudah tak lagi spesial? Di satu sisi itu benar. Namun, di sisi lain hal ini justru menjadi keuntungan tersendiri bagi Inggris.
Ekspektasi yang sedang-sedang saja, pelatih minim pengalaman dan kumpulan pemain muda minim pengalaman adalah apa yang Inggris (mungkin) butuhkan. Kondisi yang biasanya dialami oleh tim kuda hitam.
Tetapi, justru dibalik stigma “tak dijagokan” itulah mereka sepertinya tidak merasakan beban berlebihan. Southgate jadi lebih berani mengambil risiko untuk berinovasi, karena mayoritas pemainnya baru menjalani Piala Dunia pertamanya.
Memang sudah seharunya Inggris menghapus perasaan bahwa seolah-olah mereka adalah yang terbaik dan pasti akan juara Piala Dunia. Beban yang dihasilkan dari ekspektasi dan rasa optimisme terlalu tinggi semacam itu, terkadang bisa berujung kejemawaan dan itu sudah dirasakan oleh generasi Inggris terbaik di era modern seperti Frank Lampard dan rekan-rekan seangkatannya.
Piala Dunia 2018 kali ini adalah sedikit anomali ketika mereka tak terlalu diunggulkan, juru taktik yang punya inovasi dan kedekatan skuat yang lebih terjalin. Lalu apakah semua ini pertanda mereka akan melaju jauh?
Sebaiknya kita jangan berharap berlebihan, karena patut diingat justru ketika harapan maksimal disematkan ke Inggris, hasil minimal yang mereka dapat. Mungkin dengan stigma baru mereka plus ekspektasi yang sedikit lebih lunak daripada saat partisipasi-partisipasi di Piala Dunia sebelumnya, sesuatu yang baru juga akan mereka dapat di Rusia kali ini.