Seringnya suatu keindahan selalu ditopang oleh sesuatu yang terkesan biasa saja bahkan boleh dibilang hambar. Fenomena ini juga terjadi mengiringi kegemilangan Christian Eriksen bersama timnas Denmark. Gelandang serang itu memang tampil memukau sepanjang fase grup. Harus diakui, karena Eriksen-lah, Denmark bisa melaju ke babak berikutnya.
Tetapi kegemilangan Eriksen pun merupakan hasil kerja pemain lain. Ada sosok yang menopang Eriksen sehingga ia bisa bermain hebat. Pemain tersebut adalah gelandang yang baru saja menandatangani kontrak bersama Borussia Dortmund, Thomas Delaney. Mengibaratkan seperti pizza, Eriksen adalah bagian tengah bertoping yang memang memiliki rasa dan nilai estetis yang luar biasa, sementara Delaney adalah bagian crust atau yang kita kenal sebagai“pinggiran pizza”.
Pinggiran pizza yang dibicarakan di sini adalah pinggiran reguler, bukan yang sudah diisi oleh keju, sosis, atau potongan daging. Rasanya agak tawar bahkan cenderung hambar. Bahkan di beberapa negara ada yang harus menyediakan pizza tanpa pinggiran. Menjelaskan peran Thomas Delaney untuk Christian Eriksen dan timnas Denmark ini serupa dengan apa yang terjadi dengan pinggiran pizza.
Pinggiran pizza berfungsi agar memudahkan kita untuk menikmati bagian tengah pizza yang kaya dengan toping, baik keju, saus tomat, atau daging, serupa dengan apa yang dilakukan Delaney. Baik dalam skema 4-3-3 atau 3-4-3 dari pelatih Age Hareid, ia bertugas untuk memudahkan pekerjaan Eriksen.
Delaney mendapatkan tanggung jawab melakukan tugas “bersih-bersih”. Ia menjadi lapisan pertama bagi lini pertahanan timnas Denmark. Bertugas menekan lawan, dan merebut bola. Fisiknya yang kekar dan tinggi menjulang, biasanya digunakan sebagai palang pertama ketika lawan menyerang dengan umpan-umpan lambung.
Contoh terbaik bisa terlihat pada laga terakhir Denmark di fase grup melawan Prancis, di mana Denmark berhasil menahan imbang Prancis tanpa gol, dan memastikan langkah mereka melaju ke babak selanjutnya.
Delaney terus berdiri dengan tangguh di area tengah. Ia berduel dan beradu fisik dengan Oliver Giroud, sembari terus menekan Steven N’Zonzi yang bertugas mengalirkan bola untuk timnas Prancis. Tetapi yang paling krusial adalah bagaimana Delaney mengamankan pergerakan bintang tim Prancis, Antoine Griezmann.
Delaney mengawal Griezmann dengan memberikan jarak sekitar satu sampai dua langkah. Superioritas fisik Delaney yang tinggi besar membuat seakan area tengah penuh sesak. Hal ini membuat Griezmann sampai mesti turun agak jauh untuk menerima bola sekaligus mencari celah. Hingga akhirnya kemudian digantikan oleh Nabil Fekir, Griezmann hampir tidak bisa lepas dari kawalan Delaney.
Tercatat hanya tiga kali Griezmann berhasil lepas. Dan di antara tiga kesempatan tersebut, ada satu momen di mana Griezmann kemudian berhasil melepaskan tendangan ke gawang Kasper Schmeichel. Itupun dilakukan di jarak yang cukup jauh dari gawang. Selebihnya, permainan Griezmann tidak banyak berkembang karena ditekan Delaney. Ketika Fekir masuk pun, ia lebih banyak bermain melebar. Area yang tidak banyak “tersentuh” oleh Delaney.
Mencari padanan yang sesuai di kancah sepak bola Indonesia, peran yang dilakukan Griezmann adalah serupa dengan yang dilakukan Hariono untuk Firman Utina di tim Persib Bandung ketika mereka berhasil menjuarai Liga Super Indonesia pada tahun 2014. Peran serupa juga yang diemban Syamsul Haeruddin atau Ponaryo Astaman ketika Indonesia menjadi tuan rumah Piala Asia tahun 2007.
Berfungsi untuk memudahkan, peran yang dilakukan oleh Delaney ini sama seperti pinggiran pizza yang sering diabaikan banyak orang. Tapi jangan salah, bagi sebagian orang, apa yang Delaney lakukan memiliki nilai tersendiri, bahkan termasuk segala sesuatu yang sifatnya estetis. Golongan ini adalah pihak yang sama dengan mereka-mereka yang memakan pizza bahkan sampai pinggirannya.