Berita Eropa

Davide Santon dan Kebiasaan AS Roma Membangkitkan Pemain dari “Kematian”

Mendaratnya Radja Nainggolan dari AS Roma ke Internazionale Milano memang merupakan sesuatu yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Sebagai bagian dari perpindahan tersebut, Internazionale menyerahkan pemuda berbakat bintang timnas Italia U-19, Nicolo Zaniolo, serta satu pemain lain, yaitu Davide Santon.

Bagi yang mengamati sepak bola Italia tentu tidak asing dengan nama Santon. Sejak level usia muda, bakatnya sudah memukau. Pada awalnya bermain di sektor sayap, lama kelamaan ia kemudian bermain di area yang lebih defensif. Ketika ia melakukan debut Eropa untuk Inter pada tahun 2008, ia tampil mengesankan. Apalagi lawan yang Santon hadapi saat itu adalah megabintang Portugal, Cristiano Ronaldo.

Pelatih Internazionale saat itu, Jose Mourinho, memuji permainan Santon. Marcelo Lippi, yang merupakan pelatih legendaris Italia menyebut bahwa Santon adalah pewaris bagi sosok seorang Paolo Maldini. Predestined player atau “pemain yang sudah ditakdirkan”, begitu tepatnya kata yang digunakan Lippi dan Mourinho untuk menggambarkan betapa istimewanya bakat Santon kala itu.

Tetapi cedera lagi-lagi menjadi musuh utama berkembangnya bakat seorang pesepak bola. Pangkal masalahnya adalah cedera lutut yang Santon terima pada tahun baru tepat di musim yang sama ketika Internazionale berhasil membuat cerita indah dengan berhasil menjuarai Liga Champions (sekaligus meraih treble winners) pada musim 2009/2010. Setelah musim ini, cedera lutut tersebut seakan menjadi penyakit kambuhan bagi Santon yang kemudian menghambat kariernya.

Tidak banyak yang tahu, tapi keputusan Internazionale mendaratkan kembali Santon dari Newcastle United pada Januari 2015, sebenarnya merupakan bagian dari prasayarat yang kita kenal sebagai homegrown player, terutama karena Internazionale berlaga di kompetisi Eropa saat itu. Memang ada pemain yang lebih muda dan segar, tetapi Santon statusnya sudah berpengalaman dan siap pakai. Mendaratkan Santon jelas merupakan sebuah keputusan yang efektif.

Masa bermain keduanya di Internazionale pun tidak betul-betul bagus. Santon lebih banyak menghangatkan bangku cadangan. Sempat membaik ketika Frank de Boer menakhodai tim sisi biru kota Milan tersebut dengan terus dipasang di tim utama, tapi etika rezim Stefano Pioli dimulai, Santon benar-benar kehilangan tempatnya.

Maka kepindahan ke Roma jelas merupakan sebuah keputusan yang sangat bagus. Bagi Roma, Santon jelas merupakan pelapis dan suksesor yang sepadan bagi Aleksandr Kolarov yang sudah uzur. Karena bisa dimainkan di posisi bek kanan, keberadaan Santon juga memungkinkan Roma memainkan Alessandro Florenzi di posisi lamanya di sektor gelandang.

Terlebih lagi, melihat kasus yang terjadi kepada Mohamed Salah, Edin Dzeko, Stephan El-Shaarawy, dan masih banyak lainnya, Roma sepertinya selalu bisa membangkitkan seorang pemain setelah mengalami “kematian” dalam kariernya. Boleh jadi hal tersebut juga akan terjadi kepada seorang Davide Santon.