Piala Dunia 2018

Prinsip ‘Die Mannschaft’, Identitas Perjuangan Tim Nasional Jerman

Di suatu sore beberapa bulan lalu, saya terlibat diskusi hangat seputar sepak bola bersama pendiri jaringan Football Tribe, Cesare Polenghi. Topik bahasan kami adalah sepak bola Jerman, yang akhirnya mengerucut kepada salah satu pertanyaan paling menggelitik saya selama ini, “Mengapa dalam sepuluh tahun terakhir tim nasional Jerman tak pernah benar-benar punya figur yang dikultuskan seperti Lionel Messi di Argentina atau Cristiano Ronaldo di Portugal?”

Saya sengaja tak memasukkan Franz Beckenbauer ke dalam diskusi kami. Selain karena saya belum lahir ketika Der Kaizer beraksi di lapangan hijau, saya merasa legenda Bayern Muenchen itu adalah milik sejarah Jerman Barat. Saya merasa ketika Jerman (bersatu) merebut Piala Dunia 2014 di Brazil, mereka sama sekali tak menonjolkan satupun figur. Kehebatan Manuel Neuer di bawah mistar gawang atau kegeniusan Mesut Oezil sama sekali tak menjadi raksasa yang menghalangi sorotan ke pemain-pemain lain yang bereputasi tak lebih terkenal dari mereka.

“Karena mereka berpegang teguh kepada prinsip yang tergambar di julukan mereka, ‘Die Mannschaft’. Artinya kurang lebih persahabatan, atau persatuan antara satu tim yang sama rata, sama rasa,” jawab Cesare. “Jika salah satu anggota membuat kesalahan, semua harus menghadapi konsekuensinya.”

Cesare memang bukan orang Jerman. Ia berkebangsaan Italia dan telah lama tinggal di Jepang. Namun, saya memercayai argumennya. Selain karena ia orang Eropa dan telah bertahun-tahun menggeluti penulisan sepak bola, penjelasan tentang prinsip ‘Mannschaft’ ini memang selalu ditekankan dalam publikasi resmi tim nasional Jerman.

Federasi sepak bola Jerman, DFB, meresmikan nama julukan mereka itu pada tahun 2015 lalu. Kata ‘Die Mannschaft’ berasal dari ‘Die Nationalmannschaft’ yang mengandung arti harfiah ‘tim nasional’. DFB mungkin gerah melihat media dari berbagai negara berbeda menamai mereka dengan nama-nama julukan agresif dan provokatif, seperti ‘Tim Panser’.

Warga Jerman memang sebisa mungkin menghindari penggunaan istilah perang dalam apa pun aspek kehidupan mereka. Kita pasti bisa menebak penyebabnya, yaitu trauma sejarah dua Perang Dunia yang benar-benar berdampak buruk bagi masyarakat Jerman.

Saya teringat, beberapa tahun lalu saya pernah tinggal di Berlin selama empat pekan untuk memperdalam bahasa Jerman. Sebagai kota dengan salah satu trauma perang terdalam di dunia, isu Perang Dunia, Nazi, bahkan Tembok Berlin dan Perang Dingin sangat sensitif bagi mereka. Jika Anda duduk-duduk santai dengan teman-teman Anda warga Jerman, topik paling potensial untuk membunuh mood teman-teman Anda adalah kekejaman Nazi di bawah pimpinan Adolf Hitler.

Nama Hitler sampai saat ini juga tabu dibicarakan, bahkan untuk sekadar disebut oleh mayoritas warga Jerman. Guru Bahasa Jerman saya hanya menempelkan telunjuk di atas bibirnya untuk menirukan kumis Hitler, setiap kali ia ingin membawa topik tentang sosok diktator di dekade 1930-an dan 1940-an itu ke dalam percakapan. Seperti para karakter di novel Harry Potter menyebut Lord Voldemort sebagai ‘Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut’, Der Führer menjadi bagian masa lalu yang berusaha mereka lupakan.

Maka, meskipun buku Mein Kampf karya Hitler kini menjadi bacaan populer yang gampang diakses di sekolah-sekolah, warga Jerman sepertinya masih cenderung menghindari topik seputar nasionalisme. Meski bangga dengan negara modern mereka yang kini merupakan salah satu yang terkaya di dunia, tampaknya Jerman masih memiliki perasaan yang kompleks dan campur aduk tentang nasionalisme atau patriotisme.

Dibandingkan dengan negara-negara tetangga Eropa seperti Prancis atau Inggris, Jerman memang cenderung terlambat mengembangkan identitas nasional mereka secara kuat. Maklum, sejak 1945, periode-periode sulit datang bertubi-tubi dan ‘hantu’ Nazi masih mengungkung budaya dan masyarakat Jerman.

“Sejarah telah membuat sulit bagi warga Jerman untuk bersikap patriotik,” kata sejarawan Christian Lammert dari Freie Universitat Berlin, seperti dikutip Handelsblatt Global. Agresi militer dan pembantaian etnis (holocaust) yang dilakukan Nazi di masa lalu telah mencemari identitas nasional negara ini.

Patriotisme yang diekspresikan secara malu-malu itu sepertinya baru mulai meluas lagi pada tahun 2006. Saat itu untuk pertama kalinya setelah Tembok Berlin runtuh, warga Jerman menikmati sepak bola sebagai tuan rumah bagi seluruh warga dunia. puncaknya adalah ketika Philipp Lahm mengangkat trofi Piala Dunia di Brazil.

“Bendera Jerman terlihat di semua tempat di Berlin dan bahkan seluruh negeri (selama Piala Dunia 2014),” kata Lammert lagi. “Sejak tahun 2014, Jerman sepertinya menyadari bahwa semangat negeri memang selayaknya ditunjukkan, tanpa menakut-nakuti seluruh dunia,”

Dari situlah, prinsip ‘Mannschaft’ membentuk identitas nasional Jerman yang kuat. Kali ini, mereka membuang jauh-jauh politik beda-kasta milik Hitler dan melupakan pemisahan Jerman Barat dan Timur yang berlangsung selama 28 tahun. Tim nasional Jerman adalah ‘Mannschaft’, Bundesrepublik Deutschland (Republik Federasi Jerman) pun demikian. Jika satu bagian menderita, bagian lain ikut membantu.

Prinsip ini pun terlihat dari tim nasional Jerman ketika sempat menderita ‘krisis kecil’ setelah ditaklukkan Meksiko di laga pertama Grup F Piala Dunia 2018. Mesut Özil, pemain kunci mereka yang merupakan keturunan Turki, menjadi sasaran kritik para pengamat di negara mereka. Pelatih Joachim Löw pasang badan membela pemain andalannya itu. Meski Özil akhirnya tak diturunkan di laga penting melawan Swedia, Löw sama sekali tak terpengaruh isu perpecahan bermotif ras. Ia tetap melibatkan para pemain keturunan seperti Antonio Rüdiger, Jerome Boateng dan Ilkay Gündoğan di laga tersebut.

Laga penuh ketegangan melawan Swedia yang berakhir dramatis itu pun menunjukkan kekuatan ‘Mannschaft’ sesungguhnya. Pencetak gol di menit-menit akhir laga yang memastikan kemenangan 2-1 adalah Toni Kroos, pemain yang lahir di bekas Jerman wilayah timur. Sebelum gol Kroos, gol penyama kedudukan dicetak Marco Reus, pemain yang sama sekali tak terlibat perjuangan merebut trofi emas di Piala Dunia 2014 akibat cedera.

Saya pun kini sedikit lebih mengerti, bahwa kebersamaan tim adalah kekuatan sepak bola Jerman sesungguhnya. Tak perlu mengkultuskan figur Mario Götze, pencetak gol tunggal ke gawang Argentina di final Piala Dunia 2014 lalu. Alih-alih memuja pemain itu seperti Pele dan Ronaldo di Brazil atau Iniesta di Spanyol, Löw berani meninggalkan Götze karena dianggap tak layak untuk diikutsertakan di Piala Dunia kali ini.

Maka, perjuangan Die Mannschaft belum akan berakhir cepat di Piala Dunia 2018. Seperti tertera di lagu kebangsaan mereka, Deutschlandlied: “Brüderlich zusammenhält” (persaudaraan dan kebersamaan).