Memiliki skuat mewah lantaran berisi nama-nama top seperti Antoine Griezmann, Hugo Lloris, N’Golo Kante, Kylian Mbappe hingga Paul Pogba, bikin tim nasional Prancis asuhan Didier Deschamps masuk ke dalam salah satu kandidat juara di Piala Dunia 2018.
Publik meyakini jika kualitas di tubuh Les Bleus sungguh fantastis dan lengkap untuk menggondol trofi dunia kedua mereka sepanjang sejarah. Terlebih, pada turnamen mayor yang mereka ikuti sebelumnya, Piala Eropa 2016, Prancis sanggup menembus partai final walau akhirnya tumbang di tangan Portugal.
Sayangnya, kualitas ciamik yang dimiliki Griezmann dan kawan-kawan tidak terlihat kala berjumpa Australia pada laga perdana mereka di babak penyisihan Grup C Piala Dunia 2018. Padahal, Deschamps saat itu menerjunkan skuat terbaik.
Les Bleus gagal memberi ancaman berarti ke gawang Socceroos di sepanjang babak pertama. Situasi nyaris serupa kembali muncul di babak kedua. Beruntung, mereka masih dapat membungkus kemenangan via penalti kontroversial Griezmann (disahkan oleh wasit setelah melakukan tinjauan lewat VAR) dan gol bunuh diri Aziz Behich. Tak perlu heran kalau penampilan Prancis pada laga tersebut mengundang kritikan pedas.
Oleh sejumlah pengamat, salah satu kendala utama yang membuat Les Bleus tidak bisa memperlihatkan aksi-aksi cemerlang adalah ketiadaan sosok pengatur serangan di lini tengah mereka.
Benar jika Prancis memiliki Kante, Pogba, Thomas Lemar, Blaise Matuidi, Steven Nzonzi dan Corentin Tolisso sebagai amunisi di pos gelandang, namun tak satupun dari nama-nama tersebut yang memiliki kemampuan mengatur serangan sebaik Dimitri Payet (untuk generasi masa kini) atau selevel dengan sang maestro, Zinedine Zidane.
Alhasil, skema permainan Les Bleus kala bertanding melawan Australia lebih banyak bertumpu kepada sektor sayap. Nahasnya, keberadaan duo bek tengah nan kokoh Socceroos, Mark Milligan dan Trent Sainsbury, bikin Ousmane Dembele, Griezmann dan Mbappe, melempem. Keadaan serupa masih terlihat jelas manakala Deschamps memasukkan Nabil Fekir dan Olivier Giroud sebagai pengganti.
Sang pelatih yang juga salah satu pilar utama saat Prancis beroleh gelar Piala Dunia 1998 terus bereksperimen dengan memercayai Pogba untuk jadi otak permainan sekaligus sumber kreativitas tim. Sayangnya, hal tersebut belum mampu ditunaikan secara brilian oleh gelandang milik Manchester United itu.
Para penikmat sepak bola tentu merasa jemu melihat alur serangan Les Bleus yang senantiasa macet justru saat masuk di area lawan. Baik Kante, Pogba ataupun Tolisso yang saat itu dimainkan, begitu jarang merangsek ke depan guna mengokupansi area kosong di belakang trio Dembele – Griezmann – Mbappe. Padahal, kondisi tersebut amat mereka butuhkan guna merusak koordinasi pertahanan lawan sekaligus membuka celah untuk menciptakan peluang.
Berkaca dari fakta tersebut, Prancis amat butuh pembenahan guna menatap laga-laga selanjutnya di babak penyisihan grup. Apalagi Peru dan Denmark, sepasang lawan yang akan mereka jumpai di dua partai tersisa, menyimpan asa tinggi guna memetik hasil positif demi tiket lolos ke babak gugur.
Deschamps sendiri harus bergegas menemukan solusi atas problem kreativitas yang membelit ruang mesin Prancis andai mau menyaksikan timnya dapat terus melaju. Kalau tidak, mereka akan selalu menjalani laga demi laganya dengan sulit. Lebih-lebih saat berjumpa kubu yang memiliki kualitas satu level di atas para pesaing di Grup C.
Benar jika ugly win acapkali dibutuhkan suatu kesebelasan untuk keluar dari situasi sulit dan tak terduga. Namun demikian, Les Bleus wajib tampil lebih baik sekaligus membuktikan kualitas hebat yang mereka miliki, jika ingin pulang dari Rusia dengan tawa dan prestasi.