Salah satu kandidat juara dunia tahun ini, Prancis, mengawali petualangannya di Piala Dunia 2018 dengan meladeni tantangan wakil Asia, Australia. Negara asuhan Bert van Marwijk ini sudah sejak tiga edisi sebelumnya terkenal dengan semangat militan dan permainan kolektifnya, dan acapkali memberikan kejutan yang tak terduga kepada tim-tim unggulan, seperti ketika mereka membuat Italia kepayahan di Piala Dunia 2006 lalu.
Sementara Prancis, berangkat ke Rusia masih dengan membawa skuat “Golden Generation” mereka yang tampil prima dua tahun lalu di Piala Eropa 2016, yang kemudian berakhir pahit karena kandas di final oleh Portugal. Paul Pogba, Raphael Varane, N’Golo Kante, Samuel Umtiti, hingga Antoine Griezmann berpadu dengan deretan wonderkids yang baru mekar seperti Ousmane Dembele, Benjamin Pavard, Lucas Hernandez, Correntin Tolisso, hingga sang wonder boy, Kylian Mbappe.
Permasalahan klasiknya, seperti Belgia asuhan Marc Wilmots di Prancis dua tahun lalu, skuat Prancis bersama Didier Deschamps dianggap bukan kombinasi yang pas. Blacklist Deschamps kepada Karim Benzema hingga kualitas taktikalnya yang kurang teruji, membuat potensi skuat ini kerap dipertanyakan mampu memenuhi harapan penggemarnya.
Dan kurang lebih, babak pertama menunjukkan itu semua. Australia yang turun dengan mayoritas penggawa yang berkarier di Eropa, tampil solid dan percaya diri. Mathew Ryan begitu prima dan tenang di bawah mistar. Aaron Mooy dan Mathew Leckie begitu berbahaya di situasi bola mati dan serangan balik, sementara Mile Jedinak, ya, bermain seperti Mile Jedinak. Tangguh, kokoh, dan sangat bisa diandalkan untuk meredam si bocah pamer, Pogba.
Selain peluang bersih Mbappe yang ditepis Ryan dan tendangan bebas Pogba, praktis, skuat penuh talenta Prancis hampir selalu gagal menembus barikade lini tengah dan belakang Australia. Ini agak aneh karena pertama, skuat ini belum lama diasuh oleh van Marwijk karena mereka mengarungi kualifikasi bersama Ange Postecoglou dan tentunya masa adaptasi bersama meneer dari Belanda butuh waktu lebih lama. Tapi nyatanya, di laga perdana Grup C, Negeri Kanguru tampil solid. Seorang Trent Saisbury, bahkan, mampu secara gemilang meredam daya ledak Dembele.
Sorotan lain, tentu saja, Antoine Griezmann. Penyerang yang baru saja selesai menyita perhatian dunia maya lewat serie video tentang keputusannya bertahan di Atletico Madrid untuk musim depan, tampil kurang menggigit. Ia tak menemukan link up play yang nyaman bersama Mbappe dan Dembele, karena, ya, ketiganya sangat jarang sekali bermain bersama di timnas. Dan juga, mungkin, karena ketiganya datang dari tiga klub yang punya gaya taktikal saling bertolak belakang.
Untuk standar negara sekuat Prancis, babak pertama yang berlangsung membosankan tentu terasa memalukan, mengingat begitu banyaknya talenta super di tim Ayam Jantan ini. Selain Kante, Varane, dan Hugo Lloris, saya rasa, tidak ada pemain Prancis yang layak mendapat nilai di atas 7 (dari maksimal nilai 10) pada babak pertama.
Babak kedua, untungnya, berjalan lebih menarik, dan terima kasih kepada dua hal: Antoine Griezmann dan Video Assistant Referee (VAR). Pogba yang mengirim umpan matang ke jalur lari Griezmann, membuat penyerang berusia 27 tahun itu berlari sendirian menuju kotak penalti Australia. Sekian detik kemudian, kaki Josh Risdon terjulur dan terlihat menjatuhkan Griezmann di dalam kotak penalti.
Wasit bergeming, tidak ada pelanggaran. Permainan berlanjut sebelum akhirnya beberapa detik berselang, wasit memutuskan untuk meminta bantuan VAR. Ya, penggunaan pertama VAR di Piala Dunia 2018 resmi terjadi pada laga Prancis melawan Australia di Kazan Arena. Penalti diberikan dan dituntaskan dengan baik oleh Griezmann lewat tendangan keras menghujam sisi kiri gawang Ryan.
Dan kamu tahu, seperti yang sudah-sudah, Piala Dunia kembali menunjukkan magisnya, kali ini untuk Australia. Umpan tendangan bebas Mooy ke kotak penalti Prancis, secara absurd, disambut Samuel Umtiti sembari mengangkat kedua tangannya dan membuat bola yang melayang di atas udara menyentuh tangan bek Barcelona tersebut. Sebuah momen ‘ajaib’ dari salah satu bek muda terbaik yang dimiliki Prancis. Penalti diberikan, dan Mile Jedinak, sosok kapten garang dari Socceroos, menuntaskan tugasnya dengan sempurna untuk membawa Australia menyamakan kedudukan menjadi 1-1.
Setelah tertekan beberapa menit usai Australia menemukan momentum, Prancis merespons keadaan dengan memasukkan Olivier Giroud dan Nabil Fekir untuk mencoba mengubah arah pertandingan. Dan angin berpihak bagi Les Bleus pada menit ke-80.
Paul Pogba, pemain yang hampir tidak tampil sesuai potensinya di laga kali ini, secara tidak sengaja ‘sukses’ mengirim bola lob yang melayang di atas Ryan, membentur mistar gawang, memantul masuk ke gawang, dan terima kasih kepada goal line technology, gol itu menandakan skor resmi menjadi 2-1 untuk Prancis.
Tidak ada kejutan berarti di sisa sepuluh menit terakhir laga. Prancis mencoba mengamankan angka sembari sesekali menjaga momentum serangan, sementara Australia sedikit kehilangan ritme untuk mencoba menyamakan skor dan tidak pernah benar-benar mengancam lagi sejak gol Pogba.
Pada akhirnya, Prancis sangat patut berterima kasih sebanyak mungkin kepada teknologi di sepak bola modern, karena tanpanya, tidak akan ada tiga poin di Kazan untuk Les Bleus.