Dengan wajah tenang, Zinedine Zidane duduk di hadapan media yang telah menunggunya dalam konferensi pers mendadak yang dibuat oleh Real Madrid. Bersama lelaki Prancis itu, duduk pula sang presiden klub, Florentino Perez, yang uniknya, memperlihatkan raut muka yang berbeda jauh dengan Zidane.
Tanpa disangka-sangka, terlebih Madrid baru saja bereuforia dengan merebut titel Liga Champions ke-13 sepanjang sejarah sekaligus ketiga berturut-turut, Zidane memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai entrenador klub dengan kostum kebesaran berwarna putih itu.
Awak media yang hadir di ruang konferensi pers jelas terbelalak begitu mengetahui keputusan Zidane. Kondisi serupa juga terlihat dari suporter fanatik Los Merengues yang selama ini dibuat kagum oleh sentuhan magis Zidane sebagai juru taktik.
Menurut Zidane, keputusannya pergi dari Stadion Santiago Bernabeu tidak didasari oleh tawaran klub lain yang lebih baik dari Madrid. Ia mengaku bahwa hal itu sepenuhnya lahir dari keinginannya untuk beristirahat sebab telah memberikan segala yang ia miliki bagi kejayaan Los Merengues dalam rentang tiga musim pamungkas.
Ia pun mengungkapkan bahwa pergi di saat-saat seperti ini akan terasa jauh lebih baik ketimbang tetap bertahan buat musim mendatang tapi akhirnya gagal membawa Karim Benzema dan kolega mencaplok prestasi yang disasar oleh pihak manajemen.
Dalam rezim kepemimpinan Perez sendiri, Zidane tercatat sebagai satu-satunya pelatih yang angkat kaki dari Stadion Santiago Bernabeu dengan status mengundurkan diri. Sebelumnya, Madrid lebih sering ditinggal pelatihnya akibat diberhentikan oleh sang presiden.
Perginya Zidane dari kubu Los Merengues membuat ingatan publik terbang kepada sosok Vicente del Bosque, figur legendaris yang membesut Madrid di awal tahun 2000-an silam.
Seperti Zidane, del Bosque pun sosok yang berhasil memboyong sejumlah trofi bergengsi untuk Madrid pada era tersebut. Termasuk dua titel La Liga Spanyol dan Liga Champions. Namun ironis, Perez justru enggan memperpanjang kontrak del Bosque di pengujung musim 2002/2003.
Terasa lebih menyedihkan lagi sebab Madrid justru mengalami paceklik titel, utamanya di Liga Champions, usai kepergian del Bosque walau kedatangan figur-figur dengan nama besar semisal Jose Antonio Camacho, Fabio Capello, sampai Vanderlei Luxemburgo guna menduduki jabatan pelatih.
Butuh waktu lebih dari satu dekade hingga Los Merengues kembali mengecup lambang supremasi klub terbaik di Benua Biru itu. Pelatih asal Italia, Carlo Ancelotti, menjadi pemutus dahaga tersebut.
Kini, dengan kepergian Zidane, pertanyaan serupa menyeruak ke permukaan. Bisakah Madrid meneruskan tren apik mereka selama ini dengan tetap tampil superior di Liga Champions bersama pelatih barunya atau mereka justru mengulangi paceklik titel Liga Champions layaknya zaman sesudah del Bosque dilengserkan dahulu?
Sejumlah pendukung setia klub yang berkompetisi di Liga Champions dan jadi rival Madrid begitu antusias menggemakan tanda pagar #2019GantiJuaraLigaChampions sebagai pengharapan bahwa dominasi Benzema dan kolega selesai sudah.
Namun di luar dari itu semua, siapapun yang bakal menjadi suksesor Zidane kelak, ada begitu banyak beban yang bersemayam di pundaknya. Tak sekadar merebut kejayaan di tanah Matador dari tangan sang rival bebuyutan, Barcelona, tapi juga mempertahankan kedigdayaan Madrid saat merumput pada ajang Liga Champions.