Generasi saat ini lebih mengenal Louis van Gaal karena pekerjaanya sebagai pelatih timnas Belanda, FC Bayern München, dan Manchester United. Di FC Bayern, ia berhasil mengentaskan bakat seorang Thomas Müller. Ketika menangani timnas Belanda, ia berhasil membawa Negeri Kincir Angin ke semifinal Piala Dunia.
Ia juga merupakan sosok yang menghadirkan kembali trofi di United selepas era Sir Alex Ferguson. Tetapi pekerjaan terbaik yang justru kemudian membuatnya dihormati sebenarnya terjadi hampir dua dekade sebelumnya. Itu terjadi di final Liga Champions musim 1994/1995.
Keraguan tetap melingkupi van Gaal meskipun ia berhasil membawa Ajax mendominasi kompetisi domestik di Belanda, dan juga memenangi Piala UEFA pada tahun 1992. Apalagi penjualan Dennis Bergkamp pada musim panas tahun 1993 semakin membuat situasi semakin sulit. Van Gaal yang ditunjuk menjadi pelatih Ajax sebagai suksesor dari Leo Beenhaker ini dianggap bukan sosok yang benar-benar tepat untuk menangani tim.
Akhirnya kemudian tiba kesempatan van Gaal untuk membuktikan diri. Ia berhasil membawa Ajax ke partai final Liga Champions musim 1994/1995. Tetapi lawan yang dihadapi di partai puncak bukan tim sembarangan. De Godenzonen alias tim para putra Tuhan, mesti berhadapan dengan AC Milan, tim bertabur bintang dan kaya pengalaman.
Tim AC Milan yang dihadapi oleh van Gaal saat itu diperkuat nama-nama seperti Franco Baresi, Roberto Donadoni, Zvonimir Boban, dan Paolo Maldini muda yang bakatnya sudah mulai mengilap. Partai final kali ini juga merupakan final ketiga Milan dalam tiga musim terakhir. Wajar apabila lebih banyak yang menjagokan Rossoneri untuk meraih trofi. Di atas kertas, tim berpengalaman dan berkelas Milan terlihat lebih hebat ketimbang tim muda Ajax yang ditangani oleh van Gaal.
Tetapi kemudian yang terjadi adalah diluar perkiraan. Van Gaal berhasil membawa skuat asuhannya yang memiliki rataan usia 23 tahun, dan kebanyakan merupakan produk akademi klub itu, untuk memenangkan pertandingan. Adalah Patrick Kluivert yang masih berusia 18 tahun kemudian menjadi pahlawan tim. Masuk sebagai pemain pengganti, gol Kluivert yang dicetak pada menit ke-85 kemudian membuat Ajax berpesta. Jelas tidak ada satupun pihak yang menyangka bahwa mereka yang akan keluar sebagai juara pada malam itu.
Generasi yang membuat kejutan dan melawan kemustahilan ini kemudian masih dikenang sebagai generasi terbaik yang pernah dicetak oleh Ajax. Selain van Gaal yang merupakan juru latih, di mana kariernya semakin meningkat setelahnya, para pemain Ajax di tim juara Liga Champions 1995 ini juga kemudian memiliki perjalanan karier yang luar biasa.
Kiper Edwin van der Sar kembali memenangkan gelar yang sama di Manchester United pada tahun 2008 dan menjadi legenda di sana. Penyerang sayap energik, Marc Overmars, kemudian menjadi bagian penting ketika Arsenal meraih gelar ganda pada tahun 1998. Gelandang Clarence Seedorf juga memenangkan lagi Liga Champions bersam Real Madrid dan AC Milan.
Gelandang tangguh, Edgar Davids, memenangkan banyak gelar di Juventus, Jari Litmanen menjadi kunci sukses Liverpool ketika memenangkan Piala UEFA pada tahun 2000. Michael Rezieger, dan de Boer (Ronald dan Frank) bersaudara kemudian memiliki karier yang gemilang bersama Barcelona.
Hal serupa juga terjadi kepada dua pemain senior di tim tersebut, Frank Rijkaard dan Danny Blind, sebab keduanya kemudian menjadi pelatih tersohor. Rijkaard sukses bersama Barcelona, sementara Blind sempat ditunjuk sebagai pelatih timnas Belanda.
Bukan hanya di lingkup sepak bola Belanda saja, tetapi generasi Ajax yang memenangkan Liga Champions 1994/1995 ini masih selalu dikenang terkait bagaimana para pemain muda bisa tampil luar biasa, dan melawan kemustahilan.