Tribe Ultah

Usia ke-118 Tahun dan Saatnya Ajax Amsterdam Bangun dari Tidur Panjang di Kancah Eropa

Tepat pada tanggal 18 Maret 1900 di sebuah sudut kota Amsterdam, tiga orang sahabat yakni Han Dade, Carel Reeser, dan Floris Stempel, yang memiliki passion tinggi terhadap sepak bola, sepakat untuk mendirikan sebuah klub. Tim itulah yang sekarang kita kenal dengan nama Amsterdamsche Football Club Ajax alias Ajax Amsterdam.

Periode awal klub mulai berjalan sebagai sebuah entitas, ada banyak tantangan yang kudu dilahap Ajax. Mulai dari kesulitan sumber daya pemain, krisis finansial akibat resesi hingga beraneka masalaj yang lain. Namun segala tantangan itu mereka lahap dengan keyakinan tinggi sehingga Ajax bisa bertahan.

Hasilnya memang manis karena keberhasilan mengatasi masalah-masalah di atas membuat Ajax tertempa buat melewati kondisi sesusah apapun. Cita-cita untuk menjadi kesebelasan profesional yang hebat pun terus digalakkan semenjak saat itu.

Di bawah bimbingan pelatih berpaspor Inggris, Jack Reynolds, Ajax meroket sebagai salah satu tim berprestasi di era 1910-an. Berkat tangan dingin Reynolds, Ajax sukses mencaplok tiga gelar juara yang masing-masing berupa dua titel Liga Belanda (saat itu belum dikenal dengan nama Eredivisie) dan satu Piala KNVB.

Lelaki kelahiran Manchester ini juga yang disebut-sebut sebagai peletak dasar sistem Total Football yang melegenda itu (sebelum disempurnakan lagi oleh Rinus Michels).

Bersama Reynolds pula (ia cabut di tahun 1925 sebelum kembali lagi pada tahun 1928 dan melatih sampai 1940), Ajax berhasil menahbiskan diri sebagai klub top Negeri Kincir Angin dengan menggamit lima trofi juara liga.

Ketika Eredivisie diperkenalkan oleh asosiasi sepak bola Belanda (KNVB), taring Ajax justru semakin tajam. Mereka bertransformasi jadi penguasa yang sulit ditaklukkan.

Pencapaian hebat itu bahkan dibawa Ajax ke level yang lebih tinggi yakni Eropa dan dunia. Skuat mentereng yang dihuni nama-nama seperti Johan Cruyff, Piet Keizer, Ruud Krol, dan Johan Neeskens sukses menggamit tiga trofi Piala/Liga Champions secara beruntun yaitu di musim 1970/1971, 1971/1972, dan 1972/1973.

Khusus di musim 1971/1972, gaya Total Football yang kental dengan aroma menyerang ala Ajax saat itu membuat sistem pertahanan gerendel khas Italia bernama Catenaccio yang dikembangkan Internazionale Milano, lawan Ajax di final, luluh lantak. Jangan kaget bila final Piala Champions musim itu dilabeli sebagai kematian Catenaccio.

Selain dikenal sebagai klub yang pandai mengeruk prestasi, De Godenzonen juga kondang dengan status klub penghasil talenta muda berbakat. Selepas era 1970-an, Ajax masih terus memanen titel demi titel walau ranahnya cuma kompetisi domestik.

Namun di periode 1980-an serta 1990-an, semakin banyak bocah ajaib yang diroketkan oleh Ajax seperti Ronald Koeman, Frank Rijkaard, Marco van Basten, Dennis Bergkamp, Edgar Davids, de Boer bersaudara, sampai Patrick Kluivert.

Berbekal skuat sehebat itu, Ajax pun beroleh sembilan gelar Eredivisie, enam Piala KNVB, tiga Johan Cruyff Schaal, dan berjaya lagi di Eropa serta dunia usai mencaplok masing-masing sebiji Liga Champions, Piala UEFA/Liga Europa, Piala Winners (kini sudah tidak diselenggarakan), Piala Super Eropa, dan Piala Interkontinental dalam rentang 1980 sampai 1999.

Lengkapnya trofi antarklub Eropa yang mereka miliki, menjadikan Ajax satu dari lima klub peraih gelar Liga Champions, Liga Europa, dan Piala Winners di sepanjang sejarah. Empat tim lainnya adalah Bayern München, Chelsea, Juventus, dan Manchester United.

Namun seusai beroleh trofi Liga Champions di musim 1994/1995, prestasi Ajax di Benua Biru justru mengalami degradasi. Situasi ini pun dialami oleh klub-klub Belanda yang lain (Feyenoord Rotterdam jadi kesebelasan Negeri Kincir Angin pamungkas yang membawa pulang trofi antarklub Eropa, Piala UEFA 2001/2002).

Sekarang, De Godenzonen tak ubahnya jagoan lokal yang terkencing-kencing begitu mentas di Eropa. Hal ini juga yang membuat pendukung setia Ajax meradang. Kerinduan untuk melihat kesebelasan mereka setangguh dahulu terus menggelegak.

Walau punya rekor gemilang sebagai entitas sepak bola di Eropa bahkan dunia, nama Ajax kini lebih mirip feeder club yang meroketkan produk akademi mereka guna dibeli tim-tim yang lebih mapan.

Perubahan orientasi dari mencetak bintang dan meraih prestasi bersamanya ke mencetak bintang dan beroleh uang transfer darinya seakan mendarah daging di dalam tubuh Ajax saat ini. Meski ini bentuk dari bisnis klub, tapi cara yang dipilih Ajax juga melukai sisi kompetitif mereka di atas lapangan.

Dalam bukunya yang berjudul “I Am Zlatan”, pesepak bola Swedia yang pernah merumput bersama Ajax, Zlatan Ibrahimovic, mengungkapkan bahwa mindset pemain-pemain De Godenzonen masa kini sudah berubah. Mereka hanyalah sekumpulan pemain muda yang bermain untuk diri sendiri dengan harapan agar segera dibeli oleh klub-klub yang lebih besar di Eropa sehingga tak peduli dengan pencapaian Ajax.

Sejak tahun 2000-an lalu, nyaris di setiap musim, Ajax melego satu hingga tiga pemain muda berpotensinya ke klub yang lebih besar. Sebagai contohnya tentulah Zlatan Ibrahimovic, Wesley Sneijder, Luis Suarez, Daley Blind, hingga Jan Vertonghen.

Pemain-pemain bertalenta seperti Frenkie de Jong, Mathijs de Ligt, dan Justin Kluivert yang saat ini acapkali diperbincangkan oleh khalayak, diyakini bakal segera angkat kaki dari Stadion Johan Cruyff Arena.

Jika pola seperti ini masih terus dilakukan oleh Ajax, maka raksasa yang dahulu sempat merajai Belanda, Eropa, dan bahkan dunia masih akan sulit terjaga dari tidur panjangnya. Sebab sisi kompetitif mereka takkan mampu menyaingi nama-nama seperti Barcelona, Bayern, dan Real Madrid.

Sebagai klub yang sarat sejarah, momen di mana mereka kini telah menginjak usia 118 tahun mesti dimanfaatkan untuk membenahi segala aspek yang ada. Sehingga kelak, di masa yang akan datang, nama Ajax takkan dikenal sebagai feeder club semata. Tapi juga tim besar yang rajin membungkus trofi juara di kompetisi domestik ataupun regional seperti dahulu.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional