Tak sulit mengakui sepak bola sebagai cabang olahraga nomor wahid di dunia. Rasanya pun tak berlebihan jika mengatakan sepak bola sebagai cabang olahraga yang paling berdaya menggerakkan massa. Sebab, fakta di lapangan memang tidak mengingkarinya. Sepak bola, dengan daya magisnya, mampu menghipnotis manusia dalam jumlah besar.
Anggapan sepak bola sebagai cabang olahraga yang maskulin—identik dengan kaum laki-laki—perlahan mulai luntur. Sebab, kini tak sedikit perempuan yang mendapatkan posisi di dalam dunia sepak bola. Mulai dari menjadi pemegang jabatan di induk organisasi sepak bola, menjadi pemain di lapangan (karena sepak bola perempuan juga sudah mendapat tempat), hingga menjadi suporter yang bernyanyi lantang di tribun.
Sekilas, bias gender dalam sepak bola pun tak tampak. Keberadaan kaum perempuan dalam sepak bola—meski tak banyak—seolah sudah memberi sinyal bahwa kesetaraan gender sudah terbangun dalam sepak bola.
Akan tetapi, jika kita lebih jeli dalam mengamati, sejatinya bias gender itu masih ada. Diakui atau tidak, anggapan sepak bola sebagai lambang maskulinitas belum terlepas. Sepak bola masih (di)identik(an) dengan kaum laki-laki. Tak terbantahkan!
Contoh paling sederhana, seperti ini: saya perempuan dan saya suka sepak bola. Meski tak selalu, saya cukup sering menyaksikan sepak bola. Mulai dari menonton secara langsung di stadion, hingga nonton bareng (nobar) di warung burjo. Berawal dari sini, saya sering mendapat pertanyaan dari teman-teman, “kamu perempuan, tetapi kok suka sepak bola?”. Sebaliknya, ketika ada laki-laki yang tidak suka sepak bola, dunia di sekitarnya pun menjadi heran. Kemudian, pertanyaan “kamu laki-laki, tetapi kok tidak suka sepak bola?” pun jatuh kepadanya.
Ketika identitas gender masih dibawa-bawa dalam pertanyaan mengenai alasan seseorang menyukai atau tidak menyukai sepak bola, kesetaraan gender dalam sepak bola jelas belum tercapai.
Pertanyaan semacam itu baru menjadi contoh kecil. Bias gender dalam sepak bola masih bisa kita temukan dari sisi lain. Pemberian nama suporter yang berbeda antara suporter laki-laki dan suporter perempuan, misalnya. Dan diakui atau tidak, hampir semua suporter sepak bola di Indonesia memberikan pembeda dalam penamaan penggemar atau suporter laki-laki dengan penggemar atau suporter perempuan. Meskipun, sejatinya penggemar atau kelompok suporter itu berada di bawah payung organisasi yang sama.
Oleh karena sepak bola masih dianggap sebagai olahraga yang maskulin, untuk menunjukkan identitas perempuan—yang cenderung feminim— disematkanlah perbedaan nama. Biasanya ditambahi embel-embel “ta” yang menunjukkan “wanita”, “nona”, “lady”, “girl”, dan lain sebagainya. Tujuannya jelas: untuk mengaskan bahwa penggemar atau kelompok suporter tersebut anggotanya beridentitas gender perempuan.
Lebih jelas, Fajar Junaedi dalam bukunya yang berjudul “Merayakan Sepak Bola: Fans, Identitas, dan Media Edisi 2” menjabarkan identitas penggemar perempuan yang ditandai. Pria yang akrab disapa Fajarjun itu membuka penjabarannya melalui pertanyaan “Jika kata Bonek dan Aremania disebut, apa yang ada di benak Anda tentang identitas gender mereka?” Pertanyaan itu kemudian ia jawab, “tentu mereka adalah laki-laki, tanpa perlu ditandai bahwa mereka laki-laki”.
Tak bisa dimungkiri, kita pun mengamini jawaban itu, bukan?
Sementara itu—seperti yang dituliskan Fajarjun dalam bukunya tersebut—untuk penggemar Persebaya Surabaya yang perempuan, mereka disematkan perbedaan dengan menambahkan kata “wanita” setelah kata “Bonek” dengan peluruhan kata “wa”. Sehingga, muncullah penandaan Bonita kepada suporter Persebaya. Kata “Bonek” memang identik dengan laki-laki tanpa harus menandai laki-laki secara eksplisit dalam kata “Bonek” itu sendiri.
Serupa dengan suporter perempuan Persebaya, suporter perempuan Arema Malang juga harus ditandai dengan penandaan “Aremanita”. Suporter laki-laki klub Arema pun cukup disebut Aremania, tanpa perlu penandaan secara eksplisit untuk memperlihatkan kelelakiannya.
Sejurus dengan suporter di kedua klub, penandaan suporter perempuan juga terjadi di berbagai klub. Sayap terbesar Bobotoh Persib Bandung, Viking, menandai suporter perempuan yang bergabung dalam Viking dengan sebutan Lady Vikers. Sebaliknya, Bobotoh laki-laki yang bergabung dalam Viking tidak harus ditandai dengan sebutan Gentleman Vikers, melainkan cukup Viking saja.
Sementara di Jakarta, suporter Persija Jakarta yang menamakan diri mereka The Jakmania, memberi penandaan pada suporter perempuan dengan kata “Angel” sehingga memunculkan sebutan Jak Angel untuk perempuan yang menjadi suporter klub asal ibu kota ini.
Identitas ke-perempuan-an juga dijumpai pada suporter perempuan yang bergabung dengan Slemania dengan penandaan kata “nona” sehingga mereka disebut “Slemanona”. Ada juga perempuan dianggap sebagai suporter yang molek, sebagaimana yang terjadi di Brajamusti dengan menyebut suporter perempuan mereka sebagai “Brajamolek”. Sisi feminitas perempuan bisa dijumpai pada kata “nona” dan “molek”, yang sekaligus menjadi penandaan bahwa mereka adalah suporter yang masuk gender perempuan.
Selain Bonita, Aremanita, Lady Vikers, Jak Angel, Slemanona, Brajamolek, tentu masih ada penandaan lain di berbagai kelompok suporter di penjuru negeri ini. Srikandi Pasoepati (suporter perempuan Persis Solo), Panser Girl (suporter perempuan PSIS Semarang), misalnya. Hal semacam ini pun sudah dianggap biasa, tak menyimpang. Padahal, sejatinya pembedaan nama itu merupakan indikasi ketidaksetaraan gender.
Tak sampai di situ, indikasi ketidaksetaraan gender dalam sepak bola bisa kita dapati di tribun. Tentu kita tak asing dengan istilah “pemanis tribun” maupun “bidadari tribun”. Kedua istilah itu jamak kita temui, terutama di media sosial. Tentu saja ketika para penggemar sepak bola sedang berbicara soal gadis tribun, yaitu perempuan yang hadir di tribun untuk menyaksikan sepak bola. Biasanya gadis tribun itu sendiri ada yang hanya sekadar datang menyaksikan pertandingan, ada pula yang turut menjadi suporter.
Disadari atau tidak, melalui penyebutan “pemanis tribun” dan “bidadari tribun”, perempuan yang hadir di tribun sejatinya dijadikan sebagai objek visual bagi para suporter beridentitas gender laki-laki. Padahal, posisi perempuan yang hadir di tribun stadion sesungguhnya adalah sebagai subjek. Sama seperti para suporter beridentitas gender laki-laki, perempuan hadir di tribun untuk menikmati sepak bola, bukan untuk ‘dinikmati’ sesama suporter.
Pelabelan “pemanis tribun” maupun “bidadari tribun” ini pun berlanjut pada maraknya berita bernada seksis yang diterbitkan berbagai media. Jelas, yang menjadi objek dalam berita itu adalah—dan hampir selalu—perempuan.
Seperti berita berjudul “PSIS Semarang Dapat Dukungan Semangat dari Suporter Cantik Ini” (Bolasport.com), “Sibuk Kerjaan, Bobotoh Seksi Ini Rela Tak Nonton Persija vs Persib” (Indsport.com), “Bonita Cantik Ini Semangat Dukung Persebaya Lawan Arema FC, Ngaku Tak Bisa Tidur” (Surya.co.id), dan masih banyak lagi. Diksi “cantik” dan “seksi” jelas mempertegas posisi perempuan sebagai objek, bukan sebagai subjek.
Sementara itu, pernahkah kita menjumpai berita yang menjadikan suporter laki-laki sebagai objek dengan menonjolkan ketampanannya? Sejauh ini saya belum menjumpainya. Paling-paling, yang saya temukan hanyalah singgungan kecil mengenai ketampanan pemain sepak bola. Pemberitaannya pun sangat kalah masif dengan pemberitaan mengenai kecantikan dan keseksian perempuan yang menjadi suporter sepak bola.
Alasannya jelas: sepak bola masih dianggap sebagai cabang olahraga yang maskulin. Sehingga, laki-laki—meski ia sangat tampan sekalipun—tidak menjadi begitu istimewa. Berbeda dengan kaum perempuan, yang kehadirannya dalam dunia sepak bola dianggap sebagai pendatang. Sehingga, kaum perempuan dirasa perlu ditandai, dibedakan, untuk kemudian diistimewakan.
Barangkali hal ini terdengar sepele dan tak perlu dipermasalahkan. Terlebih, bagi siapa saja yang hidup dalam budaya patriarki.
Akan tetapi, menganggap sepak bola sebagai olahraga yang maskulin dan memosisikan perempuan sebagai pendatang, saya pikir bukan hal yang tepat. Bagaimanapun, sepak bola sebagai cabang olahraga nomor wahid di dunia harus mampu merangkul siapa saja. Ketidaksetaraan gender seharusnya tidak mendapatkan tempat di dalam sepak bola.