Cerita

Roberto D’Aversa: Aktor Dibalik Kesuksesan Parma Naik Kasta

Kemenangan 2-0 yang diperoleh Parma atas Spezia dalam laga lanjutan giornata ke-42 Serie B musim 2017/2018 menjamin tempat mereka aman di posisi dua besar klasemen akhir. Artinya, I Gialloblu pun sukses mengenggam satu tiket promosi otomatis ke Serie A mulai musim depan. Pencapaian itu sendiri dirayakan secara luar biasa oleh Alessandro Lucarelli dan kawan-kawan beserta suporternya yang ikut bertandang ke Stadion Alberto Picco, markas Spezia.

Bagi Parma, keberhasilan mereka naik kasta ke Serie A kali ini adalah torehan ketiga beruntunnya usai didemosi secara paksa ke Serie D medio 2015 lalu akibat pailit. Lewat penampilan heroik, I Gialloblu hanya menghabiskan satu musim saja di Serie D (2015/2016), Lega Pro (2016/2017), dan Serie B (2017/2018) untuk mentas lagi di puncak piramida sepak bola Italia per musim 2018/2019 nanti.

Walau kubu manajemen dan juga jajaran skuat Parma berolah puja-puji dari para suporter, ada satu sosok lain yang tak boleh dilupakan begitu saja. Siapa lagi kalau bukan Roberto D’Aversa, sang pelatih.

Ditunjuk oleh manajemen I Gialloblu di pertengahan musim 2016/2017 guna menggantikan Luigi Apolloni (ketika itu Parma berkompetisi di Lega Pro dan sedang terseok-seok), D’Aversa berhasil menunjukkan kapabilitasnya buat membawa Parma terbang tinggi.

Sadar kalau materi skuat Parma jauh dari kata sempurna, D’Aversa tak coba untuk menonjolkan kemampuan individu para penggawanya. Sosok yang semasa aktif bermain sempat membela Messina, Sampdoria, dan Siena itu lebih suka memakasimalkan kolektivitas tim guna mencari hasil-hasil positif yang bermanfaat untuk kampanye Parma.

Di tangan D’Aversa, Parma sering bermain dengan skema andalan 4-3-3. Secara total, pola 4-3-3 dimainkan I Gialloblu dalam 40 pertandingan sementara formasi 3-4-3 dan 3-4-2-1 masing-masing dicoba lewat satu partai saja di Serie B musim 2017/2018 (serta hanya menghasilkan satu poin).

Menggunakan formasi tersebut, Parma asuhan D’Aversa memang ingin tampil ofensif serta efektif dalam memaksimalkan setiap peluang yang sanggup diciptakan. Tak peduli bahwa mereka acapkali kalah dari sisi penguasaan bola.

Lewat skema itu pula, D’Aversa menjadikan Pierluigi Frattali (kiper), Lucarelli-Riccardo Gagliolo (bek tengah), Jacopo Dezi (gelandang tengah), Antonio Di Gaudio (winger), dan Emanuele Calaio (penyerang) sebagai poros utama permainan timnya. Jangan heran bila menit bermain enam penggawa tersebut tergolong sangat tinggi dibanding sosok-sosok lain di posisinya.

Frattali yang berumur 32 tahun jadi bintang utama di bawah mistar dengan tampil selama 42 pertandingan alias tak pernah sekalipun absen. Hebatnya, ia mampu mempertahankan keperawanan gawangnya di 18 partai dan cuma kebobolan 37 gol, paling sedikit di Serie B musim ini.

Pengalaman dan kekokohan Lucarelli yang dipadukan dengan tenaga besar plus kecepatan yang dimiliki Gagliolo, membuat jantung pertahanan I Gialloblu tidak mudah ditembus para penyerang tim lawan. Selain menjadi bek tengah, nama kedua juga fasih saat berperan sebagai bek kiri.

Sementara Dezi yang memiliki posisi natural sebagai gelandang bertahan, jadi kunci di sektor tengah buat memutus aliran serangan lawan, mengendalikan ritme permainan, sekaligus mendistribusikan bola ke area depan.

Terakhir, Calaio dan Di Gaudio menjadi tumpuan di sektor depan buat menciptakan peluang matang berikut mengeksekusinya secara paripurna untuk mendulang gol demi gol yang mendekatkan Parma kepada raihan angka penuh.

Kendati sempat mengalami turbulensi di awal musim lantaran kalah tiga kali dalam lima giornata perdana, kualitas, ketangguhan dan konsistensi yang D’Aversa inginkan dari skuatnya berhasil mereka tunjukkan setelah itu. Hasil-hasil jeblok berupa kekalahan tak langsung bikin mentalitas penggawa I Gialloblu ambruk sehingga mereka tetap kompetitif dan mampu bersaing dalam perebutan tiket promosi ke Serie A.

Bercermin dari catatan fantastis ini, D’Aversa tentu layak dipertahankan oleh pihak manajemen untuk menukangi Lucarelli dan kolega pada musim depan mengingat kontraknya akan kedaluwarsa pada 30 Juni 2018 mendatang. Walau kemampuan sosok kelahiran Stuttgart, Jerman (tapi berkewarganegaraan Italia), itu belum teruji di level tertinggi, memberinya kesempatan untuk menukangi Parma pada musim depan jelas sebuah apresiasi yang tepat karena jasa-jasanya selama ini.

Bila perpanjangan kontrak D’Aversa, yang saat aktif bermain dahulu pernah tersandung kasus pengaturan skor, sehingga beroleh sanksi larangan bermain selama enam bulan dari asosiasi sepak bola Italia (FIGC) tersebut beres, tugas lanjutan yang kudu pria 42 tahun tersebut lakukan adalah membenahi skuat agar Parma jadi lebih tangguh dan mampu bersaing, setidaknya dengan lolos dari relegasi, di Serie A 2018/2019.