Dalam kurun beberapa musim terakhir, gaung Liga Super Cina semakin terdengar di telingan para penikmat sepak bola. Salah satu alasan yang membuat nama ajang ini membahana adalah keberanian klub-klub Cina untuk menggaji pesepak bola top dengan nominal selangit.
Sebagai contoh, Oscar yang dikontrak Shanghai SIPG mendapat bayaran 400 ribu paun setiap pekannya. Sedangkan Axel Witsel yang saat ini mengenakan kostum Tianjin Quanjian beroleh upah 300 ribu paun per minggu. Fantastis? Tentu saja. Pasalnya, jumlah tersebut setara dengan pendapatan beberapa pemain bintang saat merumput di liga-liga top Eropa.
Kendati demikian, keberanian klub-klub Negeri Tirai Bambu untuk mendatangkan pemain bintang dengan nominal selangit juga terus diperhatikan secara seksama oleh otoritas Liga Cina. Mereka merasa bahwa langkah seperti ini lama kelamaan justru membuat klub-klub tersebut semakin terancam mengalami problem finansial yang acapkali jadi momok buat eksistensi sebuah klub sepak bola.
Alhasil, salah satu rencana yang tengah digodok oleh otoritas Liga Cina adalah memperkenalkan penerapan batasan gaji, utamanya di ajang Liga Super Cina (kasta tertinggi) dan China League One (setara divisi dua).
Dilansir oleh chinadaily, federasi sepak bola Cina (CFA) telah duduk di satu meja seraya membahas rencana buat mengontrol nominal gaji dari para pesepak bola yang merumput di sana. Tidak berhenti sampai di situ lantaran salah satu poin yang menjadi fokus adalah batas pengeluaran masing-masing klub yang ada di angka 75 persen dari pendapatan sebuah klub tiap musimnya. Hal ini dilakukan agar klub-klub yang ada tidak menghamburkan-hamburkan uang mereka secara sembrono.
Guangzhou Evergrande Taobao adalah merupakan salah satu contoh paling hakiki tentang penggunaan uang yang tidak terkontrol. Di musim kompetisi 2017 kemarin, mereka mencatat keuntungan sebesar 83 juta dolar Amerika Serikat (AS). Sebuah angka yang begitu masif. Akan tetapi, nilai kerugian yang mereka catatkan di musim itu nyaris dua kali lipat dari keuntungan yang didapat karena menembus angka 155 juta dolar AS.
Pihak CFA khawatir bila skema seperti ini terus diterapkan oleh klub-klub Cina sehingga mereka semakin berpeluang untuk jatuh ke dalam kebangkrutan. Andai benar-benar diterapkan, otoritas Liga Cina sepakat bahwa musim 2021 akan menjadi titik awal penerapan batasan gaji. Selain bermanfaat untuk mematangkan rencana tersebut, implementasi aturan itu baru dilakukan tiga tahun lagi sebab otoritas liga ingin memberi kesempatan kepada setiap tim untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
“Aturan ini penting bagi kompetisi sepak bola di Cina. Investasi terkait gaji pemain sungguh besar (utamanya kepada para penggawa asing) sehingga keadaan itu dapat mengganggu masa depan Liga Super Cina dalam jangka waktu panjang”, papar Yuan Ye, seorang komentator sepak bola.