Edgar Davids adalah satu-satunya pesepak bola yang pernah saya lihat langsung di publik, bukan ketika sedang beraksi di lapangan. Yang pertama adalah di medio 1990-an, di Amsterdam, Belanda. Kala itu, ia sedang berjalan bersama istrinya. Sang istri memelankan langkahnya untuk menyapa beberapa temannya di toko.
Setiap sang istri berhenti, Davids tetap berjalan dengan kecepatan yang normal, sehingga sang istri harus memburu-burukan langkahnya untuk mengejarnya. Hal ini terus terjadi sampai saya tak melihat lagi pasangan ini. Yang kedua terjadi beberapa tahun lalu, ketika ia baru saja pindah dari AC Milan ke Juventus, dan sedang berada di Karnaval Notting Hill, London.
Sang istri terlihat mewah seperti manusia yang tiba-tiba keluar dari majalah mode, dan Davids berpakaian seperti seorang montir, dengan tracksuit yang terlihat berkilau. Dua kali saya melihat Davids – ia terlihat lebih kecil dari sosoknya di lapangan – ia tetap berjalan dengan kecepatannya sendiri, tak terburu-buru dan percara diri, yang mungkin bisa diterjemahkan sebagai sikap acuh tak acuh.
Saya selalu senang melihat sikap percaya diri yang ditunjukkan Davids, bahkan rasa senang saya ini mungkin sudah sampai ke tahap iri hati. Apa rasanya bisa percaya pada diri Anda sendiri sampai seperti itu? Berapa banyak yang Anda butuhkan untuk bisa seperti itu? Apa ada lagi yang Anda butuhkan?
Saya ingat dalam sebuah wawancara pascalaga di Liga Champions ketika Alessandro Del Piero mencetak hat-trick, dan Davids ditanya pendapatnya mengenai prestasi rekannya tersebut. “Apakah kita sedang membicarakan Del Piero? Atau tentang Edgar Davids?,” begitu jawabnya.
Meskipun sikap Davids memang tak sekedar acuh tak acuh, dapat dibilang bahwa kesuksesannya juga dipengaruhi sikapnya, yang tak kalah dari tekniknya di lapangan yang luar biasa. Ia mungkin tak memiliki fisik yang besar, namun auranya begitu luar biasa terpancar. Ia adalah pemain yang diberkati dengan kemampuan yang langka – seorang gelandang bertahan yang garang dengan kemampuan dribel seperti seorang pemain sayap. Satu fakta yang mengagumkan tentangnya adalah ia menjadi katalis dari kesuksesan Barcelona saat ini, yang sayangnya seringkali dilupakan oleh suporternya.
Periode ketika Davids menjadi penentu bagi Barcelona hanya selama enam bulan. Namun, masa-masa itulah ketika pelatihnya, Frank Rijkaard, benar-benar membutuhkannya. Saat itu, Rijkaard tengah kesulitan, Barcelona menjadi klub yang berada di bawah papan atas, dan masa depan pria Belanda tersebut terlihat gelap.
Dan saat itu, Davids masuk, dengan kecepatannya yang selalu ia tunjukkan. Bedanya, di lapangan, ia tak pernah berjalan pelan seperti ketika saya melihatnya di London dan Amsterdam. Ketika ia masuk ke lapangan, ia terlihat seperti taifun. Kombinasinya dengan Xavi Hernandez membawa Barcelona menang tujuh laga berturut-turut dan finis di posisi dua. Musim berikutnya, mereka berhasil menjuarai La Liga setelah beberapa tahun tak juara.
Begitulah Davids dalam bermain sepak bola. Ia datang seperti badai yang menghancurkan benteng musuh, datang dan pergi dengan senang hati untuk memancarkan auranya. Saya akan menjadi orang yang mengantre paling depan apabila ia menjual kepercayaan diri yang ia miliki.
Penerjemah: Ganesha Arif Lesmana