Di antara deretan peristiwa comeback yang terjadi di beberapa partai di kompetisi Eropa pada pekan ini, terselip topik yang juga mendapat banyak perhatian, yaitu kartu merah yang diterima Gianluigi Buffon di laga kedua perempat-final Liga Champions antara Real Madrid dan Juventus, di mana Bianconeri harus tersingkir secara tragis di menit akhir laga.
Diusirnya Superman dari laga itu menjadi noda baginya. Tak hanya untuk laga tersebut, yang sebenarnya ia bermain amat bagus, namun juga untuk karier sepak bolanya. Ya, diusir untuk pertama kalinya sepanjang karier di Liga Champions semakin menambah derita ayah tiga anak itu di musim ini, yang banyak disebut sebagai musim terakhirnya sebagai pesepak bola.
Layaknya setiap pemain, Buffon pasti menginginkan akhir karier yang membahagiakan. Terlebih ia masih bermain di level atas, maka raihan berbagai gelar juara pasti akan menjadi penutup karier yang manis. Namun keinginan kadang memang tak sejalan dengan kenyataan.
Setelah menjuarai Piala Dunia 2006, Buffon menyatakan keinginannya untuk bermain hingga usia 40 tahun, karena ia ingin bermain kembali di Piala Dunia 2018. Mengapa begitu? Selain memang ia merasa kualitasnya masih bagus (dan memang nyatanya seperti itu), mungkin ia melihat adanya sebuah tren sejak 1970, yaitu siklus 12 tahun di mana Italia selalu masuk babak final turnamen. Meskipun semuanya harus diiringi kerja keras, namun hal ini tak mungkin luput dari pandangan Buffon maupun orang Italia lainnya. Namun tren tersebut ternyata hanya sebuah kebetulan saja.
Perlahan-lahan impian itu musnah. Setelah kalah dari Spanyol 3-0 di babak kualifikasi, perlahan-lahan penampilan timnas Italia semakin jauh dari harapan. Mereka memang masuk babak play-off, namun mereka harus merelakan tiket Piala Dunia ke tangan Swedia setelah kalah agregat 1-0. Buffon pun menangis setelah laga usai, meminta maaf karena ia dan rekan-rekannya telah membuat nama baik Gli Azzurri rusak di kancah sepak bola internasional dengan kegagalan itu.
Kekalahan itu membuatnya sempat absen membela Juventus selama satu laga, tepatnya saat Juventus kalah 3-2 dari Sampdoria. Massimiliano Allegri menyebut ia absen karena masih terpukul dari kegagalan Italia mengalahkan Swedia. Buffon pun melanjutkan hidup. Ia sadar masih ada Juventus tempatnya mengejar mimpi meraih treble winners. Namun sial baginya, tak sampai sebulan sejak tragedi Swedia, ia harus kembali menepi akibat cedera otot betis.
Sang deputi, Wojciech Szczesny, datang menggantikannya. Sebanyak 10 laga beruntun di seluruh kompetisi dimainkan oleh kiper timnas Polandia tersebut, dan gawang Bianconeri tak bobol sama sekali, termasuk saat menghadapi Internazionale Milano dan AS Roma. Sebuah penampilan yang membuat manajemen Juventus dan Allegri semakin yakin bahwa ia orang yang tepat untuk menggantikan Buffon musim depan.
Saat-saat itu tentunya amat berat bagi Buffon, namun setelah ia sembuh, nyatanya Allegri tak mengesampingkannya. Ia masih tetap diandalkan dan tetap bermain spektakuler, bahkan berhasil membuat clean sheet yang tak kalah banyak dengan Szczesny. Juventus pun berhasil dibawa kembali ke puncak klasemen Serie A, lolos ke final Coppa Italia, dan masuk ke perempat-final Liga Champions. Melihat hal ini, tampak semua sudah berjalan kembali sesuai rencana.
Sayang, laga melawan Real Madrid menambah daftar deritanya musim ini. Setelah kalah 3-0 di laga pertama, tanpa diduga Juventus berhasil menyamakan agregat menjadi 3-3, sebelum akhirnya insiden antara Medhi Benatia dan Lucas Vazquez yang berujung penalti untuk El Real benar-benar membuatnya hilang kesabaran dan melakukan protes yang teramat keras.
Kartu merah pun didapatnya, membuat ia gagal menentukan nasibnya sendiri menghadapi penalti Cristiano Ronaldo. Keputusan wasit Michael Oliver sudah mutlak, penalti sudah diselesaikan dengan baik, dan Buffon harus melihat lagi mimpinya hancur musim ini.
Baca juga: Kartu Merah Pertama dan Terakhir Gianluigi Buffon
Musim ini mungkin merupakan musim terakhirnya bagi Juventus. Meskipun ia belum pasti pensiun, tapi tak terlihat tanda-tanda manajemen Juventus akan memperpanjang kontraknya. Bila memang demikian kenyataannya, maka perjuangan Buffon meraih trofi Liga Champions mungkin selesai sampai di sini.
Sungguh pedih memang bila melihat perjalanan Buffon di musim ini. Apalagi melihat bagaimana ia berjuang hingga akhir untuk meraih impiannya yang belum tergapai, dan akhirnya tetap gagal. Mungkin ia tak lagi mempunyai waktu yang cukup di tahun-tahun mendatang untuk mengejarnya, namun Buffon pun harus bersyukur karena ia masih memiliki kesempatan meraih gelar di musim ini lewat Serie A dan Coppa Italia.
Lagipula, ia juga harus melihat bahwa tak banyak pemain yang bisa meraih segala pencapaiannya hingga kini, serta kenyataan bahwa hidup seorang manusia memang tak bisa sempurna.