Sejak tersingkir di tangan Real Madrid di babak 16 besar Liga Champions, posisi manajer Paris Saint-Germain yang saat ini diisi oleh Unai Emery langsung seketika menjadi kursi panas. Media pun berbondong-bondong memberitakan bahwa pria asal Spanyol tersebut tak akan lagi dipertahankan oleh manajemen Les Parisiens musim depan. Meskipun hingga saat ini klub belum memberikan pengumuman resmi, nampaknya hal ini akan menjadi kenyataan.
Meskipun rasanya terlalu terburu-buru, namun hal ini bisa dipahami. Emery memang berhasil menjaga dominasi PSG di kancah domestik, khususnya di Liga Perancis yang sempat dikudeta AS Monaco musim lalu. Namun kita tahu bukan itu tujuan utama Qatar Sports Investments (QSI), selaku pemilik PSG, saat menghabiskan 222 juta euro untuk mendatangkan Neymar ataupun menggaji mahal para pemain bintang PSG, yang mungkin di klub lain tak akan dihargai semahal itu.
Ya, tujuan QSI mengakuisisi PSG pada 2011 lalu adalah menjadikan tim asal ibu kota ini berjaya di kancah Eropa. Bila parameternya adalah trofi Liga Champions, maka PSG masih belum memenuhi tujuannya. Tujuh tahun telah berjalan namun tak sekalipun PSG mampu untuk sekadar menembus babak semifinal. Bahkan selama dua musim ditangani Emery, PSG selalu gagal di 16 besar.
‘Kurangnya kepemilikan DNA Eropa’ ditengarai menjadi salah satu faktor utama, meskipun Emery adalah pelatih yang mengantarkan Sevilla juara Liga Europa 3 kali beruntun. Itu sebabnya, pemberitaan mengenai lengsernya Emery selalu disertai dengan munculnya nama-nama beken untuk menggantikannya, seperti Carlo Ancelotti, Luis Enrique, Antonio Conte, hingga Massimiliano Allegri. Mereka semua dianggap lebih cakap dan tahu bagaimana membawa sebuah tim berjaya di Liga Champions.
Meski begitu, kelihatannya bukan salah satu dari nama tersebut yang akan memimpin PSG musim depan. Menurut pemberitaan jurnalis ESPN yang terpercaya, Julien Laurens, justru Thomas Tuchel, mantan manajer Borussia Dortmund, yang akan mulai bertugas pada Juli 2018 mendatang.
Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat beberapa hari lalu muncul pernyataan dari Presiden Bayern München, Karl-Heinz Rummenigge, yang menyebutkan bahwa Tuchel ‘telah menerima tawaran dari klub lain dan oleh sebab itu ia menolak Bayern’. Jika kita berpikir jernih, Tuchel tentu tak akan menolak tawaran Bayern, kecuali sudah ada klub besar lain yang merekrutnya, dan PSG memenuhi kriteria tersebut.
Namun itu bukanlah persoalan saat ini. Pertanyaan besar yang mencuat saat ini adalah, apakah ia orang yang tepat untuk membawa PSG berjaya di Eropa?
Pilihan pribadi sang Emir Qatar
Melihat profilnya, Tuchel bukanlah kriteria yang pas dengan keinginan klub : memiliki nama besar, sejarah panjang di kompetisi Eropa, deretan trofi pertanda kesuksesan, hingga kemampuan mengontrol ruang ganti yang berisi para pemain dengan ego setinggi langit.
Ya, Tuchel belum benar-benar memiliki semuanya. Ia cukup terkenal, namun belum menjadi legenda. Ia juga baru melakukan debutnya di Liga Champions pada musim lalu bersama Dortmund. Trofi di lemarinya baru sebatas satu gelar DFB-Pokal, dan yang terakhir, ia belum pernah menangani klub yang berisi sederetan pemain bintang. Namun mengapa ia yang dipilih?
Walaupun Presiden PSG, Nasser Al Khelaifi, dikabarkan sudah berbicara dengan perwakilan Antonio Conte dan sang direktur olahraga, Antero Henrique lebih menginginkan Leonardo Jardim (Monaco) atau Paulo Fonseca (Porto) sebagai pengganti Emery, namun keputusan tetaplah di tangan sang Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, selaku pemilik PSG yang menunjuk langsung nama Tuchel. Ya, titah sudah dikeluarkan, yang lain pun hanya perlu menjalankan.
Memiliki kualitas tersendiri
Pemilihan Tuchel tentu bukanlah asal tunjuk seperti memilih menu di restoran. Tuchel sendiri dikenal sebagai seorang yang genius dalam urusan taktik dan permainan. Ia juga memiliki pola latihan yang inovatif, tingkat kedisiplinan tinggi, serta gaya main yang begitu berkarakter. Bahkan ia juga ketat dalam urusan diet para pemain.
Di bawah komandonya, permainan Dortmund yang menurun di akhir era Jürgen Klopp diubah menjadi kembali atraktif dan tajam. Selama dua musim, Dortmund bahkan selalu mampu mencetak lebih dari 100 gol. Satu hal lain, Tuchel pun begitu fasih menguasai bahasa Prancis, sehingga komunikasi di dalam tim terkait taktik dan strategi dipastikan tak akan menjadi masalah.
Satu-satunya masalah yang mungkin dikhawatirkan adalah kemampuan Tuchel memimpin ruang ganti dan membangun hubungan di luar lapangan, mengingat ia bersikap lebih dingin terhadap para pemainnya dibandingkan para pelatih lain, misalnya Klopp, Ancelotti, atau Pep Guardiola. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, Tuchel belum pernah melatih tipe pemain bintang dengan kelakuan tak biasa seperti Neymar, Zlatan Ibrahimovic, ataupun Cristiano Ronaldo. Kasus terbaiknya hanyalah Pierre-Emerick Aubameyang, yang rasanya tak begitu bertingkah di era Tuchel dan tentu kelasnya masih kalah sedikit dibanding tiga nama tersebut.
Jangan lupakan juga sederetan bintang-bintang bergaji mahal yang sudah populer dan berprestasi bersama PSG lebih dahulu, jauh sebelum Tuchel datang. Jika ia tak mampu mengontrol mereka dengan baik, bisa jadi, kariernya di PSG akan berakhir buruk, seperti ia meninggalkan Dortmund karena berselisih dengan Hans-Joachim Watzke, sang manajer tim.
Meskipun begitu, hal terkait kondusivitas ini tentu bisa dipelajari oleh pelatih sekaliber Tuchel. Lagipula, hal-hal seperti ini sulit diprediksi. Ancelotti dan Jose Mourinho saja pernah menjadi korban ketidakharmonisan ruang ganti. Yang jelas, jika kinerjanya mampu membawa PSG berprestasi dan berbicara banyak di Eropa, rasanya ia akan mampu mengendalikan Neymar dan kawan-kawan.
Pada akhirnya, semua ini merupakan salah satu perjudian besar PSG sebagai salah satu klub besar Eropa saat ini. Tuchel harus membuktikan bahwa ia lebih baik dari para pendahulunya dan keputusan PSG merekrutnya tidak salah. Caranya tentu sederhana, walau tidak gampang, yaitu membawa Les Parisiens melaju lebih jauh di Liga Champions dari yang sudah-sudah. Menarik dinanti, apakah perjudian ini membawa PSG menuju kejayaan Eropa, seperti yang diharapkan pada manajer-manajer sebelumnya, atau justru mengulang kekecewaan yang sama.
Author: Adhi Indra Prasetya (@aindraprasetya)
Penggemar Juventus yang merasa dirinya adalah Filippo Inzaghi saat bermain bola